DN Aidit dan Proklamasi 17 Agustus 1945

Senin, 15 Agustus 2016 - 05:05 WIB
DN Aidit dan Proklamasi 17 Agustus 1945
DN Aidit dan Proklamasi 17 Agustus 1945
A A A
TIDAK banyak yang mengetahui, bahwa orang pertama yang mengusulkan Ir Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia pertama adalah Dipa Nusantara (DN) Aidit. Fakta ini terungkap dalam buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945.

Buku karangan Sidik Kertapati, tokoh pemuda yang terlibat dalam persiapan proklamasi kemerdekaan, dan perlawanan bawah tanah pada masa pendudukan Jepang, itu merupakan dokumen yang sangat penting mengenai gerakan bawah tanah.

"Pada umumnya, uraian Sidik mengenai gerakan bawah tanah itu adalah paling lengkap dan memuaskan di antara buku-buku yang berbahasa Indonesia," kata Ben Andeson, seperti dikutip dalam bukunya Revoloesi Pemoeda, halaman 70.

Dilanjutkan Sidik, saat mengetahui Jepang kalah, DN Aidit dengan sejumlah pemuda revolusioner menggalang kesatuan aksi pada grup-grup revolusioner yang berada di kawasan Jakarta, Tangerang, Bogor, Bekasi, dan daerah lainnya.

Pada 15 Agustus 1945 sore, Aidit menemui kawan-kawannya di asrama Badan Perwakilan Pelajar Indonesia (Baperpi) di Cikini 71, dan menghubungi Wikana agar mengikuti rapat rahasia, di kebun jarak Institut Bakteriologi Pagangsaan.

Pertemuan rahasia dan tertutup itu dilangsungkan pukul 19.00 Wib, dihadiri oleh perwakilan pemuda dari berbagai grup dan golongan. Hadir dalam pertemuan itu Chairul Saleh, Wikana, Aidit, Djohar Nur, Pardjono, dan lainnya.

Dalam pertemuan inilah, ide proklamasi kemerdekaan Indonesia diputuskan. Putusan itu kemudian disampaikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta, dan meminta agar keduanya memutuskan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang.

"Dalam pertemuan itu, Aidit mengajukan usul yang berpandangan jauh, yaitu agar Bung Karno ditetapkan sebagai Presiden Indonesia yang pertama," kata Sidik, seperti dikutip dalam buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, halaman 77.

Perwakilan pemuda yang diutus untuk menyampaikan hasil rapat tersebut adalah Wikana, Aidit, Subadio, dan Suroto Kunto. Setelah rapat ditutup, mereka ke rumah Bung Karno, di Pegangsaan Timur 56, dan sampai pukul 21.00 Wib.

Dalam pertemuan itu, Wikana yang menjadi juru bicaranya. Dia lalu mendesak Bung Karno agar proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan segera, pada 16 Agustus 1945. Saat itu, Bung Karno menjawab tidak bisa memutuskan sendiri.

Saat para pemuda tengah berbicara dengan Bung Karno, sejumlah tokoh tua lainnya datang. Mereka adalah Bung Hatta,
Mr Subardjo, Mr Iwa Kusumasumanti, Djojopranoto, Mbah Diro, Dr Samsi, Dr Buntaran, dan sejumlah tokoh lainnya.

Bung Hatta yang mengetahui Soekarno tengah didesak oleh pemuda lantas menghampiri. Saat mendengar ide para pemuda, dia mengatakan, pihaknya tidak bisa dipaksa melakukan proklamasi mengikuti pemuda yang kepala dan hatinya panas.

Setelah mendengar keterangan dari Hatta yang mengecewakan, para pemuda itu akhirnya kembali ke markas mereka di Cikini 71. Di sana, sudah ada Chairul Saleh dan rekan-rekannya yang menunggu dan rapat evaluasi pun digelar.

Hasil evaluasi itu, para pemuda tetap dengan keputusan mereka diawal, bahwa proklamasi kemerdekaan harus segera dilakukan, dan tidak boleh mengikuti kemauan Bung Karno dan Bung Hatta yang menunggu janji hadiah kemerdekaan dari Jepang.

Adam Malik dalam bukunya Proklamasi Agustus 1945 menyatakan, para pemuda akhirnya mufakat untuk segera membawa kedua pemimpin rakyat itu ke luar daerah. Aksi ini mendapat dukungan dari Singgih yang mewakili tentara Peta.

"Putusan terhadap Bung Karno dan Bung Hatta, mereka harus dibawa menyingkir keluar kota, di daerah di mana rakyat dan tentara siap untuk menghadapi segala kemungkinan.. jika proklamasi sudah dinyatakan," katanya, di halaman 46.

Akhirnya, saat itu juga Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke luar kota. Perjalanan dilakukan pagi hari, ke daerah Rengasdengklok. Bung Karno diangkut beserta istrinya Fatmawati dan anaknya Guntur yang usianya baru sembilan bulan.

Sedangkan Hatta, diangkut dengan mobil lain bersama Sukarni. Rombongan para pemimpin ini mendapat pengawalan ketat tentara Peta yang langsung dipimpin oleh Singgih. Sementara Chairul Saleh membubarkan kawan-kawannya di Cikini 71.

Setelah bubar, para pemuda revolusioner ini kembali ke masing-masing pos rahasia mereka. Rombongan Bung Karno dan Bung Hatta sampai di Rengasdengklok pagi hari, pukul 06.00 Wib. Kedatangan mereka disambut pekik "merdeka!"

Sementara itu, situasi Rengasdengklok dan wilayah sekitarnya berlangsung panas dan diselimuti ketegangan. Bupati Pandu dan Patih Djuarsa ditangkap para pemuda. Senjata tentara Jepang mulai dilucuti, dan rakyat angkat senjata.

Para tentara Jepang, pangreh praja, dan wedana yang diamankan terlihat kecut ketakutan. Rakyat berkumpul dengan membawa senjata tajam, dan bambu runcing, meminta mereka yang ditahan dibebaskan dan diserahkan kepada mereka.

Hilangnya Bung Karno dan Bung Hatta pada pagi hari itu langsung membuat gempar Jakarta dan langsung tersebar secara berantai. Kemungkinan terburuk yang akan terjadi pun telah disiapkan para pemuda dengan bekerja tanpa henti.

Tokoh-tokoh pemuda revolusioner seperti Aidit, MH Lukman, Sjamsudin, Suko, Pradjono, Darwis, Armunanto, Cornel Simanjuntak, Armansyah, AM Hanafi, Djohar Nur, Sidik Kertapati, dan lainnya terus mengorganisir massa rakyat.

Saat itu, para pemuda telah sampai pada kesimpulan jika Bung Karno dan Bung Hatta di Rengasdengklok tetap menolak memproklamasikan kemerdekaan Indonesia seperti keinginan pemuda, maka akan dibentuk suatu Presidium Revolusi.

Setibanya di Rengasdengklok, Bung Karno dan keluarganya dipindahkan ke rumah yang lebih layak, yakni milik seorang China berusia lanjut bernama I Siong. Para pemuda lalu menjelaskan situasi yang terjadi kepada Soekarno-Hatta.

Usai mendengarkan paparan pemuda, Bung Karno dan Bung Hatta tampak mengerti. Namun, mereka masih enggan menyetujui keinginan pemuda untuk melakukan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Alhasil, keputusan pun tidak diambil pagi itu.

Sore 16 Agustus 1945, sekira pukul 16.00 Wib, dibuat pertemuan kembali antara perwakilan pemuda dan Soekarno-Hatta. Terdiri dari Mr Subarjo dan rombongannya yang datang untuk menjemput Soekarno-Hatta, Sukarni, dan Sutardjo.

Pertemuan sore itu membuahkan hasil kesepakatan, setelah kedua pemimpin rakyat itu mendengar persiapan pemuda untuk melakukan aksi revolusi. Hasilnya, proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan pada malam hari itu juga.

Dengan diterimanya usul para pemuda ini, berarti menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hadiah dari Jepang. Kemudian, Bung Karno dan Bung Hatta kembali dibawa ke Jakarta dengan pengawalan super ketat dari tentara Peta.

Kesan Bung Karno atas peristiwa di Rengasdengklok itu terekam dalam buku Cindy Adams yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Dalam paparannya kepada Cindy Adams, Bung Karno menyatakan kesan yang negatif.

Dia bahkan mengkambing hitamkan Sutan Syahrir atas peristiwa itu. "Dialah orang yang harus bertanggung jawab atas hasutan untuk menentangku dan atas segala peristiwa yang kemudian terjadi pada malam itu," kata Bung Karno.

Tuduhan Bung Karno ini tidak sepenuhnya salah. Sebab, dari semua kelompok pemuda yang terlibat dalam perencanaan proklamasi kemerdekaan itu juga terdapat orang-orang Sutan Syahrir, seperti Sudarsono, Sugra, dan lainnya.

Namun, kerja-kerja kelompok Syahrir tidak pernah terlihat nyata dan hanya menyokong kelompok Sukarni. Bahkan bisa dikatakan, Syahrir memiliki sikap yang sama dengan Bung Karno dan Hatta yang ragu tentang kesikapan para pemuda.

"Apakah sunguh-sungguh siap organisasi kita bersama mengatur penyambutan proklamasi itu? Dan sampai di manakah tenaga dan atau kekuatan rakyat menyambut proklamasi itu," ungkap Syahrir, dalam buku Adam Malik, halaman 32.

Pada 16 Agutus 1945 malam, saat para pemuda berkumpul di rumah Sukarni dan Maruto Nitimihardjo, Sutan Syahrir yang diundang tidak datang. Dalam situasi yang sedang kritis itu Syahrir menghilang dan tidak berada di tengah pemuda.

Sementara itu, Bung Karno yang telah pulang ke rumahnya untuk mengantar Fatmawati dan Guntur langsung menuju rumah Laksamana Maeda, Miyakodori, di Jalan Imam Bonjol I. Di sana juga telah berkumpul sejumlah pemimpin tua lainnya.

Chariul Saleh yang mewakili pemuda, menolak menerima pertemuan itu sebagai rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan, karena menganggap badan itu sangat berbau Jepang. Usul Chairul Saleh, ini akhirnya diterima oleh Bung Karno.

"Rapat ini bukanlah rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan, rapat ini adalah rapat wakil-wakil bangsa Indonesia," terang Bung Karno, seperti dikutip dalam buku Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, di halaman 94.

Pada awalnya, proklamasi kemerdekaan Indonesia akan diumumkan pada pukul 00.00 Wib hari itu juga. Namun, setelah melewati perdebatan panjang mengenai konsep proklamasi, pembacaan proklamasi akhirnya dilakukan pukul 05.00 Wib.

Lokasi pembacaan proklamasi dipilih di lapangan Ikada, tetapi rencana ini telah bocor, dan akhirnya dipindahkan ke halaman muka Pengangsaan Timur 56. Baru pukul 10.00 Wib, proklamasi kemerdekaan Indonesia akhirnya bisa dilakukan.

Pembacaan proklamasi kemerdekaan berlangsung selama 15 menit, termasuk pidato pembukaan dan penutupan oleh Bung Karno. Demikian kemerdekaan Indonesia akhirnya terwujud, bukan karena mengemis hadiah dan janji dari Jepang.

Sehari setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan, pada 18 Agustus 1945, dilangsungkan rapat oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan, di sebuah gedung Pejambon No 1. Dalam rapat ini, kelompok pemuda diwakili Wikana, Chairul Saleh, dan Sukarni.

Dalam rapat itu, Bung Karno dan Bung Hatta terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama secara aklamasi. Usul DN Aidit pada rapat di Institut Bakteriologi Pagangsaan pun akhirnya terwujud.

Sebenarnya, pemilihan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pertama itu bukanlah semata-mata karena usul Aidit. Apalagi saat itu memang tidak diadakan calon saingan menurut tata cara demokrasi.

Pemilihan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pertama dilakukan atas usul dari Oto Iskandar Dinata. Menurut Tan Malaka, usul ini sesuai dengan kehendak dari Jenderal Terauchi, di Saigon.

Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi tentang DN Aidit Pengusul Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia pertama diakhiri, dalam menyambut hari kemerdekaan Indonesia ke-71. Semoga mencerahkan dan bermanfaat bagi para pembaca.

Sumber Tulisan
*Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Edisi Revisi, Yayasan Bung Karno, Cetakan Kedua, 2011.
*Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara Bagian Tiga, Teplok Press, Cetakan Kedua, Juli 2000.
*Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Penerbit Pustaka Pena, Juli 2000.
*Adam Malik, Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Penerbit Widjayaa Jakarta, Cetakan Ketujuh, 1982.
*Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Pustaka Sinar Harapan, Cetakan Pertama, 1988.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3845 seconds (0.1#10.140)