Kisah Hukuman Mati di Indonesia

Senin, 01 Agustus 2016 - 05:00 WIB
Kisah Hukuman Mati di Indonesia
Kisah Hukuman Mati di Indonesia
A A A
Empat terpidana mati kasus narkoba Jumat dini hari 29 Juli 2016 telah dieksekusi di Lapangan Tembak Limus Buntu, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Hukuman Mati ini merupakan kali ketiga yang dilakukan di era Presiden Jokowi. Bagaimana cerita mengenai sejarah hukuman mati di Indonesia ini berikut cuplikan kisahnya.

Hukuman mati di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan di Nusantara, misalnya pada masa Majapahit. Pada masa itu kitab undang-undang yang dijadikan acuan hukuman mati disebut Kitab Kutara Manawa.

Hukuman mati atau dikenal dengan istilah Pati pada Zaman Majapahit ini dilakukan terhadap seseorang yang membunuh orang tidak berdosa, seseorang atau siapa saja yang menyuruh membunuh orang tidak berdosa dan barangsiapa melukai orang tidak berdosa.

Hukuman mati juga dijatuhkan kepada seorang pencuri yang tertangkap dalam melakukan aksi jahatnya termasuk musuh raja dan para pemberontak. Eksekusi mati dilakukan dengan cara ditusuk dengan keris atau ditenggelamkan di laut atau sungai dengan pemberat.

Sementara di Kerajaan Aceh hukuman mati dilakukan sesuai syariat Islam dengan cara di rajam, cambuk atau dipancung tergantung kejahatan yang dilakukannya.

Di era Hindia Belanda pada 1621 aturan hukuman mati dimulai pada zaman Joan Maetsuycker menjabat sebagai gubernur jenderal. Undang-undangnya dikenal dengan nama Bataviasche Ordonnanties.

Pada 1808, Gubernur Jenderal Daendels yang dikenal kejam juga mengintrodusir jenis hukuman mati ala Eropa, yaitu dibakar hidup-hidup dengan tubuh diikat di tiang. Melalui sebuah plakat tertanggal 22 April 1808, Daendels juga mengakomodasi sebuah tata cara hukuman mati lokal, yaitu dieksekusi dengan keris.

Salah satu contoh hukuman mati yang dilakukan pada masa ini yaitu saat Raden Trunojoyo dihukum mati oleh Raja Mataram Amangkurat II.

Dalam masa kolonial ini hukuman mati juga dilakukan dengan cara digantung di lapangan terbuka untuk umum atau tubuhnya ditarik dengan beberapa ekor kuda.

Pada masa kolonial ini juga pernah dilakukan hukuman mati dengan diikat di tonggak kayu atau pohon.

Lalu tubuhnya disayat-sayat dengan pisau, dan lukanya diolesi air garam serta asam. Begitu terus sampai mati. Hukuman seperti ini disebut Picis.

Pada masa Gubernur Jenderal Raffles (saat Indonesia dijajah Inggris pada 1811-1816), hukum picis dihapus.

Kemudian pada awal abad ke-20, eksekusi hukuman mati tidak lagi dilakukan di lapangan terbuka, melainkan dilakukan secara tertutup atau bukan di tempat umum.

Pada masa Kemerdekaan di era Presiden Soekarno, hukuman mati diatur di dalam wetboek van strafrecht atau yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Namun hal ini dilakukan terhadap para lawan politik Soekarno. Contohnya saat eksekusi mati terhadap Amir Sjarifuddin maupun pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Baik Amir Sjarifuddin maupun Kartosoewirjo dieksekusi oleh sekelompok regu tembak dan diakhiri komandan regu tembak.

Pada masa Presiden Soeharto, eksekusi mati juga diterapkan bagi lawan politiknya dan para pelaku kejahatan. Salah satu nama pelaku kejahatan yang dieksekusi mati di zaman Soeharto yaitu Kusni Kasdut. Dia dieksekusi pada 16 Februari 1980 didepan regu tembak dekat Kota Gresik, Jawa Timur. Selain itu ada nama Oesin Bestari dan Henky Tupanwael.

Di era Presiden Megawati eksekusi mati dilakukan terhadap gembong narkotika antara lain Ayodhya Prasad Chaubey warga negara India yang dipidana mati atas kasus kepemilikan 12,19 kilogram heroin. Dia dieksekusi di sebuah tempat di kawasan Medan Polonia, Sumut dengan cara ditembak.

Sementara pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tercatat ada beberapa kasus eksekusi mati terhadap gembong teroris Amrozi, Ali Ghufron, Imam Samudera dan Fabianus Tibo. Eksekusi dilakukan di depan regu tembak Brimob.

Sedangkan di era pemerintahan Presiden Jokowi hukuman mati diterapkan terhadap sejumlah gembong narkotika. Terakhir dilakukan terhadap empat terpidana yaitu Freddy Budiman (Indonesia), Michael Titus Igweh (Warga Nigeria) dan Humprey Ejike (Warga Nigeria) dan Seck Osmane (Warga Nigeria berpaspor Senegal).

Sumber:
- labyrinthinmybrain
- wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3641 seconds (0.1#10.140)