Pulau Babo, Tempat Penyebaran Islam dan Basis Pertahanan Jepang
A
A
A
Pulau Babo, salah satu daerah di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, menyimpan banyak cerita. Misal, tentang penyebaran agama Islam hingga menjadi basis pertahanan terakhir tentara Jepang saat Perang Dunia II.
Pulau Babo adalah sebuah distrik atau kecamatan di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Luas wilayahnya 687,43 km persegi. Jumlah penduduknya, 2.500 kepala keluarga.
Perjalanan menuju Pulau Babo dapat ditempuh dalam waktu satu malam dengan menggunakan kapal perintis dan satu jam dengan menggunakan pesawat udara dari Kota Sorong.
Saat tiba di Pulau Babo, kita akan disambut dengan ramah oleh warga setempat. Warga di Pulau Babo terdiri dari empat suku yang hidup berdampingan. Warga asli di Pulau Babo berasal dari Suku Irarutu. Selain itu, ada juga warga yang berasal dari Jawa, Buton, dan Toraja.
Mayoritas warga di Pulau Babo memeluk agama Islam. Namun, seiring perkembangannya, pulau tersebut juga didiami oleh umat Kristen.
Menurut salah satu tokoh masyarakat setempat, Jumaat Manuama, ajaran Islam di pulau terpencil di Kabupaten Teluk Bintuni ini dibawa oleh para ulama dari Kesultanan Tidore pada tahun 1867. Hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah masjid agung tertua di Pulau Babo yang hingga kini masih berdiri kokoh. Masjid itu bernama Masjid Miftahul Jannah.
Saat MNC Media berkunjung ke sana pada Ramadhan lalu, sedang ada pembangunan ruangan tambahan di masjid itu. Mereka yang non-muslim pun ikut membantu pembangunan masjid itu.
Ya, walaupun merupakan kota dengan penduduk mayoritas beragama Islam, Pulau Babo juga didiami oleh umat Kristen. Sejumlah bangunan gereja terlihat di Pulau Babo.
Toleransi umat beragama di Pulau Babo sangat tinggi. Hubungan kekerabatan membuat tali persaudaraan antara masyarakat setempat yang Muslim dan Kristen selalu terjaga baik.
Menurut Jumaat, selain menjadi tempat penyebaran agama Islam, Pulau Babo juga merupakan daerah basis pertahanan terakhir tentara Jepang saat melawan Sekutu pada Perang Dunia II tahun 1942. Hal ini dapat dilihat dengan adanya sebuah bandara, yang merupakan bandara pertahanan tentara Jepang sebelum dibombardir oleh Sekutu.
Salah satu aset peninggalan penjajah yang saat ini masih utuh dan telah direnovasi, menurut Jumaat, adalah Bandar Udara Babo. Bandara peninggalan penjajah saat itu direnovasi oleh perusahaan gas raksasa LNG Tangguh. Selain itu, masih juga terlihat puing-puing pesawat tentara Jepang yang hancur akibat dibombardir oleh Sekutu.
Rumah-rumah warga yang saat ini ditempati pun masih merupakan rumah peninggalan penjajah saat itu dan masih berdiri kokoh. Hanya sebagian yang telah dipugar oleh warga setempat.
Ada pula sebuah bak penampungan air peninggalan Belanda yang hingga kini masih utuh walaupun telah dikelilingi rumput ilalang yang cukup tinggi. Bak air ini merupakan penyuplai air bagi warga setempat pada saat itu.
Kehidupan masyarakat setempat lebih banyak menjadi nelayan dan komoditi utama masyarakat nelayan setempat adalah kepiting. Namun, warga setempat belum dapat memasarkan kepiting secara baik dan benar hingga luar daerah.
Sayangnya seiring perkembangan zaman, masyarakat Pulau Babo masih terlihat hidup miskin di atas tanah kaya yang menghasilkan gas terbesar di Indonesia.
Keberadaan LNG Tangguh, perusahaan penghasil gas alam terbesar di wilayah Papua Barat, tepatnya di Distrik Babo, Kabupaten Teluk Bintuni yang telah beroperasi selama 11 tahun, belum mengangkat kesejahteraan masyarakat setempat.
APBD Kabupaten Teluk Bintuni yang didapat dari sumber pendapatan gas, perusahaan kayu, dan lainnya sebesar Rp2 triliun per tahun juga belum dapat membantu mengangkat kesejahteraan masyarakat Babo dan Kabupaten Teluk Bintuni pada umumnya.
Malah, Kabupaten Teluk Bintuni masuk dalam kategori kabupaten termisikin kedua di wilayah Papua Barat. Kini, Jumaat dan juga warga lainnya di Pulau Babo berharap, pemerintah pusat dapat mengangkat kesejahteraan mereka. Semoga...
Pulau Babo adalah sebuah distrik atau kecamatan di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Luas wilayahnya 687,43 km persegi. Jumlah penduduknya, 2.500 kepala keluarga.
Perjalanan menuju Pulau Babo dapat ditempuh dalam waktu satu malam dengan menggunakan kapal perintis dan satu jam dengan menggunakan pesawat udara dari Kota Sorong.
Saat tiba di Pulau Babo, kita akan disambut dengan ramah oleh warga setempat. Warga di Pulau Babo terdiri dari empat suku yang hidup berdampingan. Warga asli di Pulau Babo berasal dari Suku Irarutu. Selain itu, ada juga warga yang berasal dari Jawa, Buton, dan Toraja.
Mayoritas warga di Pulau Babo memeluk agama Islam. Namun, seiring perkembangannya, pulau tersebut juga didiami oleh umat Kristen.
Menurut salah satu tokoh masyarakat setempat, Jumaat Manuama, ajaran Islam di pulau terpencil di Kabupaten Teluk Bintuni ini dibawa oleh para ulama dari Kesultanan Tidore pada tahun 1867. Hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah masjid agung tertua di Pulau Babo yang hingga kini masih berdiri kokoh. Masjid itu bernama Masjid Miftahul Jannah.
Saat MNC Media berkunjung ke sana pada Ramadhan lalu, sedang ada pembangunan ruangan tambahan di masjid itu. Mereka yang non-muslim pun ikut membantu pembangunan masjid itu.
Ya, walaupun merupakan kota dengan penduduk mayoritas beragama Islam, Pulau Babo juga didiami oleh umat Kristen. Sejumlah bangunan gereja terlihat di Pulau Babo.
Toleransi umat beragama di Pulau Babo sangat tinggi. Hubungan kekerabatan membuat tali persaudaraan antara masyarakat setempat yang Muslim dan Kristen selalu terjaga baik.
Menurut Jumaat, selain menjadi tempat penyebaran agama Islam, Pulau Babo juga merupakan daerah basis pertahanan terakhir tentara Jepang saat melawan Sekutu pada Perang Dunia II tahun 1942. Hal ini dapat dilihat dengan adanya sebuah bandara, yang merupakan bandara pertahanan tentara Jepang sebelum dibombardir oleh Sekutu.
Salah satu aset peninggalan penjajah yang saat ini masih utuh dan telah direnovasi, menurut Jumaat, adalah Bandar Udara Babo. Bandara peninggalan penjajah saat itu direnovasi oleh perusahaan gas raksasa LNG Tangguh. Selain itu, masih juga terlihat puing-puing pesawat tentara Jepang yang hancur akibat dibombardir oleh Sekutu.
Rumah-rumah warga yang saat ini ditempati pun masih merupakan rumah peninggalan penjajah saat itu dan masih berdiri kokoh. Hanya sebagian yang telah dipugar oleh warga setempat.
Ada pula sebuah bak penampungan air peninggalan Belanda yang hingga kini masih utuh walaupun telah dikelilingi rumput ilalang yang cukup tinggi. Bak air ini merupakan penyuplai air bagi warga setempat pada saat itu.
Kehidupan masyarakat setempat lebih banyak menjadi nelayan dan komoditi utama masyarakat nelayan setempat adalah kepiting. Namun, warga setempat belum dapat memasarkan kepiting secara baik dan benar hingga luar daerah.
Sayangnya seiring perkembangan zaman, masyarakat Pulau Babo masih terlihat hidup miskin di atas tanah kaya yang menghasilkan gas terbesar di Indonesia.
Keberadaan LNG Tangguh, perusahaan penghasil gas alam terbesar di wilayah Papua Barat, tepatnya di Distrik Babo, Kabupaten Teluk Bintuni yang telah beroperasi selama 11 tahun, belum mengangkat kesejahteraan masyarakat setempat.
APBD Kabupaten Teluk Bintuni yang didapat dari sumber pendapatan gas, perusahaan kayu, dan lainnya sebesar Rp2 triliun per tahun juga belum dapat membantu mengangkat kesejahteraan masyarakat Babo dan Kabupaten Teluk Bintuni pada umumnya.
Malah, Kabupaten Teluk Bintuni masuk dalam kategori kabupaten termisikin kedua di wilayah Papua Barat. Kini, Jumaat dan juga warga lainnya di Pulau Babo berharap, pemerintah pusat dapat mengangkat kesejahteraan mereka. Semoga...
(zik)