Misteri Dalang Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998
A
A
A
MEI adalah bulan bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada bulan ini, berbagai peristiwa penting dan besar terjadi. Delapan belas tahun silam, pada 12 Mei 1998, empat orang mahasiswa Trisakti Jakarta tewas ditembak polisi di kampus mereka.
Tidak banyak yang mengingat dan mau peduli terhadap peristiwa berdarah yang memicu terjadinya kerusuhan massal di sejumlah daerah di Indonesia itu. Hingga kini, kasus penembakan tersebut masih menjadi misteri, siapa otak penembakan itu?
Pertanyaan ini terus menggantung dalam benak masyarakat Indonesia, hingga timbullah nama Prabowo Subianto dan Wiranto. Nama ini sering disebut-sebut terlibat kasus penembakan itu. Benarkah demikian? Hanya sejarah yang dapat membuktikannya.
Demo 6.000 mahasiswa Trisakti, di kawasan Grogol, Jakarta Barat, pada 12 Mei 1998, pada awalnya hanya merupakan aksi damai yang tidak hanya diikuti oleh mahasiswa. Tetapi juga oleh dosen, pegawai, serta para alumnus universitas.
Dalam demo itu, pada awalnya massa ingin mendengarkan orasi politik dari Jenderal Besar AH Nasution pada mimbar bebas yang dilaksanakan. Namun sayang, jenderal yang selamat dari penculikan dan pembunuhan Gerakan 30 September (G30S) ini absen.
Alhasil, orasi politik yang berisi kritikan terhadap Pemerintah Orde Baru Soeharto ini hanya di isi oleh para guru besar, dosen, dan mahasiswa Trisakti sendiri. Mimbar bebas itu telah dimulai dari pagi hingga siang, sejak pukul 11.00 Wib.
Selepas azan Zuhur, sekira pukul 13.00 Wib, peserta aksi keluar dari kampus menuju Jalan S Parman, Grogol, yang persis berada di depan kampus dan berencana ke Gedung MPR/DPR di Senayan. Masa itu, mahasiswa dilarang demo ke luar kampus.
Aksi mahasiswa yang berani ini sempat mengejutkan aparat yang berjaga. Namun apa daya, aparat yang berjaga saat itu hanya berjumlah puluhan dan tidak bisa bebuat apa-apa saat ribuan mahasiswa Trisakti meringsek maju keluar kampus mereka.
Barisan mahasiswa yang paling depan adalah para mahasiswi. Dengan membawa beberapa tangkai bunga mawar, mereka membagi bagikannya kepada aparat kepolisian yang berjaga. Beberapa di antaranya bahkan nekat menggoda dan mencium petugas.
Aksi longmarch mahasiswa ini berhasil hingga 300 meter dari gerbang kampus, tepatnya di depan kantor Kantor Wali Kota Jakarta Barat. Setibanya di sana, perwakilan mahasiswa dihadang Komandan Kodim Jakarta Barat Letkol (Inf) A Amril.
Setelah melakukan negosiasi, akhirnya disepakati aksi pada 12 Mei 1998 itu hanya dilakukan sampai tempat itu saja. Mereka kemudian menggelar mimbar bebas dan saling bergantian orasi yang isinya mendesak segera dilakukannya reformasi politik.
Selain itu, mahasiswa juga mendesak adanya perbaikan ekonomi yang kian memburuk, perbaikan sistem hukum di Indonesia, dan menuntut pelaksaan Sidang Umum Istimewa MPR. Tuntutan mahasiswa terakhir ini dianggap mulai menyinggung wibawa Soeharto.
Hingga pukul 17.00 Wib, demo mahasiswa tetap berlangsung tenang dan tidak ada ketegangan. Para mahasiswa terlihat masih bisa bercanda dengan aparat gabungan bersenjata lengkap dari TNI/Polri yang jumlahnya telah mencapai 500 personel.
Para mahasiswa bahkan membagikan minuman kemasan, permen, dan berpoto ria dengan petugas keamanan yang membentuk barikade. Namun, suasana damai tersebut tidak berlangsung lama, hingga akhirnya mahasiswa ditembaki dengan peluru tajam aparat.
Sesuai dengan hasil negosiasi sebelumnya, demo mahasiswa berakhir pada sore pukul 17.00 Wib. Mahasiswa dan aparat sepakat akan membubarkan diri saat jam tersebut. Akhirnya, mahasiswa membubarkan diri dan masuk ke dalam kampus dengan tertib.
Untuk masuk ke dalam kampus, mahasiswa harus antre dan tampak berjubelan di depan gerbang. Tiba-tiba, terdengar beberapa kali suara letusan tembakan aparat dari arah belakang. Suasana yang tadinya tertib pun akhirnya berubah menjadi panik.
Mahasiswa yang telah berada di dalam dan luar kampus tampak berlarian menyelamatkan diri. Bahkan, sejumlah mahasiswa yang ada di barisan belakang tampak telah dipukuli aparat. Tidak hanya mahasiswa, wartawan juga menjadi sasaran pemukulan.
Para penyerang berasal dari Pasukan Huru Hara (PHH) Brimob, dan Tim Gegana bersepeda motor yang bersiaga di atas jembatan ikut-ikutan menembak ke arah demonstran yang berlarian mencari perlindungan. Korban jiwa dan luka pun akhirnya berjatuhan.
Setelah aksi penembakan itu, tersiar kabar enam mahasiswa tewas ditembak. Namun setelah dicek kebenarannya di RS Sumber Waras, jumlah mahasiswa yang tewas hanya empat. Selain korban tewas, sejumlah mahasiswa lain juga terluka kena tembak.
Keempat martir itu adalah Elang Mulia Lesmana dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur, Hafidhin Royan dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Teknik Sipil, dan Hery Hartanto dari Fakultas Teknologi Industri.
Sedang seorang lagi adalah Hendriawan Sie dari Fakultas Ekonomi. Berdasarkan hasil autopsi, keempat korban memiliki luka tembak yang sangat mematikan, terletak pada dahi yang tembus hingga ke belakang kepala, leher, punggung, dan dada.
Saat terjadi penembakan, Elang Mulya Lesmana dan Hendriawan Sie berada di dalam kampus. Mereka sedang berusaha masuk ke ruangan rektorat Dr Syarif Thayeb. Mereka ditembak oleh para penembak jitu aparat yang berada di atap gedung terdekat.
Begitupun dengan Heri Hartanto dan Hafidin Royan. Saat terjadi penembakan mereka sedang berada di dalam kampus. Penembakan baru berhenti malam hari pukul 20.00 Wib. Baru kemudian, pihak kampus membawa para korban luka dan tewas ke rumah sakit.
Banyak kalangan yang berpendapat, penembakan itu dilakukan oleh Kesatuan Militer Kopassus, karena penembakan itu hanya bisa dilakukan dengan keterampilan tinggi. Kesatuan Kopassus sendiri saat itu dipimpin Letjen TNI Prabowo Subianto.
Lima hari setelah penembakan, Prabowo mengunjungi rumah korban tewas Hery Hartanto. Di hadapan orangtua Hery, Prabowo mengangkat Alquran dan meletakkannya di atas kepalanya, dan bersumpah demi Allah dia tidak memerintahkan penembakan itu.
Penembakan mahasiswa Trisakti memicu kerusuhan besar di Jakarta dan sejumlah daerah lain di Indonesia. Kerusuhan terjadi sehari setelah penembakan, mulai 13-15 Mei 1998. Dalam kerusuhan ini, etnis Cina yang dijadikan kambing hitamnya.
Massa yang tidak diketahui identitasnya, orang-orang berbadan kekar tiba-tiba datang menggunakan truk di titik-titik yang telah ditentukan. Mereka kemudian berteriak-teriak memprovokasi warga agar toko-toko milik orang-orang Cina dibakar.
Ketika puncak peristiwa itu terjadi, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo, Mesir, menghadiri pertemuan G-15 pada 13-14 Mei 1998. Selama Soeharto ke luar negeri, tanggung jawab dalam negeri diserahkan kepada Wakil Presiden BJ Habibie.
Menurut keterangan Gubernur DKI Jaya Sutiyoso, dalam peristiwa kerusuhan itu sebanyak 4.939 bangunan rusak dibakar, 1.119 mobil pribadi hangus dibakar, angkutan umum 66 buah, dan 821 motor hangus dibakar. Rumah warga yang dibakar 1.026 buah.
Jumlah bank yang dirusak massa sebanyak 64, terdiri dari 313 kantor cabang, 178 kantor cabang pembantu, dan 26 kantor kas. Total kerugian fisik bangunan akibat kerusuhan itu mencapai angka Rp2,5 triliun lebih, belum termasuk dengan isinya.
Kerugian ini lebih buruk dari kerusuhan Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) di Jakarta yang hanya merusak 144 bangunan atau dibandingkan kasus 27 Juli 1966 yang menghancurkan puluhan bangunan dan kendaraan dengan kerugian Rp100 miliar.
Dari segi korban jiwa dan luka juga dampak kerusuhan ini jauh lebih besar. Bahkan konon disebut yang terbesar, setelah terjadinya peristiwa pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1966.
Di Jakarta, korban-korban kerusuhan mulai berjatuhan. Pemerintah Daerah Tangerang mencatat, lebih dari seratus orang tewas terbakar dalam aksi penjarahan di sebuah kompleks pertokoan. Pemda Bekasi juga menemukan puluhan orang tewas terbakar.
Pusat Penerangan ABRI melaporkan, jumlah korban jiwa mencapai 500 orang. Belum termasuk jumlah korban tewas yang berada di Surakarta, Jawa Tengah, Makassar, Medan, Surabaya, Jawa Timur, dan sejumlah daerah lainnya yang ada di Indonesia.
Hingga kini, tidak ada jumlah pasti berapa total korban tewas akibat tragedi Mei 1998 tersebut. Untuk wilayah Jakarta saja, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh pemerintah menemukan variasi angka yang berbeda-beda.
Data Tim Relawan menyebutkan, korban tewas dalam peristiwa itu mencapai angka 1.190 atau 1.339 orang akibat terbakar atau dibakar, 27 orang akibat senjata tajam atau dibunuh, dan 91 orang lainnya mengalami luka-luka karena berbagai sebab.
Sedangkan data Polda Metro Jaya menyatakan, 451 orang meninggal dunia, dan korban luka tidak tercatat. Data Kodam masih lebih besar, yakni 463 orang meninggal, termasuk di antaranya aparat keamanan, dan 69 orang lainnya luka-luka.
Data terakhir adalah yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta yang menyatakan korban meninggal mencapai angka 288 orang dan 101 orang lainnya mengalami luka-luka. Kebenaran angka-angka tersebut hingga kini masih belum menemui kesepakatan.
Sementara korban pelecehan seksual dan pemerkosaan dari etis Cina hingga kini masih gelap, tidak ada angka yang pasti. Ada yang menyebut wanita yang menjadi korban pemerkosaan di Jakarta berjumlah 92 orang, namun membuka peluang lebih.
Apalagi dalam peristiwa itu aparat terkesan membiarkan orang-orang berbadan tegap dan berambut cepak melakukan provokasi kepada warga untuk melakukan pembakaran dan penjarahan terhadap toko-toko milik etnis Cina di sejumlah daerah.
Kerusuhan yang terkesan diciptakan sejak 12 hingga 15 Mei 1998 ini pun seharusnya sudah diperkirakan oleh pihak intelijen, tetapi pertanyaannya kenapa tentara baru digerakkan pada 15 Mei 1998, setelah kerusuhan di sejumlah daerah mulai mereda?
Pada 15 Mei 1999, terjadi pergerakan besar-besaran oleh satuan-satuan militer. Satuan-satuan tentara itu didaratkan dengan menggunakan helikopter di mana-mana untuk pengamanan. Namun, semua sudah terlambat, korban jiwa telah berjatuhan.
Hal ini merupakan blunder terburuk dalam sejarah kegagalan penanganan keamanan oleh ABRI sejak tahun 1945. Jenderal TNI Wiranto yang saat itu menjabat Menteri Hankam/Panglima ABRI harus memikul tanggung jawab atas kegagalan tersebut.
Sumber Tulisan
* Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, THC Mandiri, Cetakan Kedua, September 2006.
* A Pambudi, Sintong dan Prabowo, Dari Kudeta LB Moerdani Sampai Kudeta Prabowo, Medpress, Cetakan Ketiga, 2009.
* A Malik Haramain, Gus Dur, Militer, dan Politik, Penerbit LKiS Yogyakarta, Cetakan I, Februari 2004.
* Letnan Jenderal (Purn) TNI Djadja Suparman, Jejak Kudeta (1997-2005), Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Cetakan Pertama, Januari 2003.
* Hendro Subroto, Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Penerbit Buku Kompas, Cetakan Ketiga, Maret 2009.
* Nur Muhammad Wahyu Kuncoro, 68 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia, Penerbit Raih Asa Sukses, Cetakan I, Jakarta 2012.
* Beni Bevly, Aku Orang Cina? Narasi Pemikiran Politik Plus dari Seorang Tionghoa, Overseas Think Tank for Indonesia, Cetakan Pertama, Mei 2008.
* Mimin Dwi Hartono, 18 Tahun Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei, dikutip dalam http://www.komnasham.go.id.
Tidak banyak yang mengingat dan mau peduli terhadap peristiwa berdarah yang memicu terjadinya kerusuhan massal di sejumlah daerah di Indonesia itu. Hingga kini, kasus penembakan tersebut masih menjadi misteri, siapa otak penembakan itu?
Pertanyaan ini terus menggantung dalam benak masyarakat Indonesia, hingga timbullah nama Prabowo Subianto dan Wiranto. Nama ini sering disebut-sebut terlibat kasus penembakan itu. Benarkah demikian? Hanya sejarah yang dapat membuktikannya.
Demo 6.000 mahasiswa Trisakti, di kawasan Grogol, Jakarta Barat, pada 12 Mei 1998, pada awalnya hanya merupakan aksi damai yang tidak hanya diikuti oleh mahasiswa. Tetapi juga oleh dosen, pegawai, serta para alumnus universitas.
Dalam demo itu, pada awalnya massa ingin mendengarkan orasi politik dari Jenderal Besar AH Nasution pada mimbar bebas yang dilaksanakan. Namun sayang, jenderal yang selamat dari penculikan dan pembunuhan Gerakan 30 September (G30S) ini absen.
Alhasil, orasi politik yang berisi kritikan terhadap Pemerintah Orde Baru Soeharto ini hanya di isi oleh para guru besar, dosen, dan mahasiswa Trisakti sendiri. Mimbar bebas itu telah dimulai dari pagi hingga siang, sejak pukul 11.00 Wib.
Selepas azan Zuhur, sekira pukul 13.00 Wib, peserta aksi keluar dari kampus menuju Jalan S Parman, Grogol, yang persis berada di depan kampus dan berencana ke Gedung MPR/DPR di Senayan. Masa itu, mahasiswa dilarang demo ke luar kampus.
Aksi mahasiswa yang berani ini sempat mengejutkan aparat yang berjaga. Namun apa daya, aparat yang berjaga saat itu hanya berjumlah puluhan dan tidak bisa bebuat apa-apa saat ribuan mahasiswa Trisakti meringsek maju keluar kampus mereka.
Barisan mahasiswa yang paling depan adalah para mahasiswi. Dengan membawa beberapa tangkai bunga mawar, mereka membagi bagikannya kepada aparat kepolisian yang berjaga. Beberapa di antaranya bahkan nekat menggoda dan mencium petugas.
Aksi longmarch mahasiswa ini berhasil hingga 300 meter dari gerbang kampus, tepatnya di depan kantor Kantor Wali Kota Jakarta Barat. Setibanya di sana, perwakilan mahasiswa dihadang Komandan Kodim Jakarta Barat Letkol (Inf) A Amril.
Setelah melakukan negosiasi, akhirnya disepakati aksi pada 12 Mei 1998 itu hanya dilakukan sampai tempat itu saja. Mereka kemudian menggelar mimbar bebas dan saling bergantian orasi yang isinya mendesak segera dilakukannya reformasi politik.
Selain itu, mahasiswa juga mendesak adanya perbaikan ekonomi yang kian memburuk, perbaikan sistem hukum di Indonesia, dan menuntut pelaksaan Sidang Umum Istimewa MPR. Tuntutan mahasiswa terakhir ini dianggap mulai menyinggung wibawa Soeharto.
Hingga pukul 17.00 Wib, demo mahasiswa tetap berlangsung tenang dan tidak ada ketegangan. Para mahasiswa terlihat masih bisa bercanda dengan aparat gabungan bersenjata lengkap dari TNI/Polri yang jumlahnya telah mencapai 500 personel.
Para mahasiswa bahkan membagikan minuman kemasan, permen, dan berpoto ria dengan petugas keamanan yang membentuk barikade. Namun, suasana damai tersebut tidak berlangsung lama, hingga akhirnya mahasiswa ditembaki dengan peluru tajam aparat.
Sesuai dengan hasil negosiasi sebelumnya, demo mahasiswa berakhir pada sore pukul 17.00 Wib. Mahasiswa dan aparat sepakat akan membubarkan diri saat jam tersebut. Akhirnya, mahasiswa membubarkan diri dan masuk ke dalam kampus dengan tertib.
Untuk masuk ke dalam kampus, mahasiswa harus antre dan tampak berjubelan di depan gerbang. Tiba-tiba, terdengar beberapa kali suara letusan tembakan aparat dari arah belakang. Suasana yang tadinya tertib pun akhirnya berubah menjadi panik.
Mahasiswa yang telah berada di dalam dan luar kampus tampak berlarian menyelamatkan diri. Bahkan, sejumlah mahasiswa yang ada di barisan belakang tampak telah dipukuli aparat. Tidak hanya mahasiswa, wartawan juga menjadi sasaran pemukulan.
Para penyerang berasal dari Pasukan Huru Hara (PHH) Brimob, dan Tim Gegana bersepeda motor yang bersiaga di atas jembatan ikut-ikutan menembak ke arah demonstran yang berlarian mencari perlindungan. Korban jiwa dan luka pun akhirnya berjatuhan.
Setelah aksi penembakan itu, tersiar kabar enam mahasiswa tewas ditembak. Namun setelah dicek kebenarannya di RS Sumber Waras, jumlah mahasiswa yang tewas hanya empat. Selain korban tewas, sejumlah mahasiswa lain juga terluka kena tembak.
Keempat martir itu adalah Elang Mulia Lesmana dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur, Hafidhin Royan dari Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Teknik Sipil, dan Hery Hartanto dari Fakultas Teknologi Industri.
Sedang seorang lagi adalah Hendriawan Sie dari Fakultas Ekonomi. Berdasarkan hasil autopsi, keempat korban memiliki luka tembak yang sangat mematikan, terletak pada dahi yang tembus hingga ke belakang kepala, leher, punggung, dan dada.
Saat terjadi penembakan, Elang Mulya Lesmana dan Hendriawan Sie berada di dalam kampus. Mereka sedang berusaha masuk ke ruangan rektorat Dr Syarif Thayeb. Mereka ditembak oleh para penembak jitu aparat yang berada di atap gedung terdekat.
Begitupun dengan Heri Hartanto dan Hafidin Royan. Saat terjadi penembakan mereka sedang berada di dalam kampus. Penembakan baru berhenti malam hari pukul 20.00 Wib. Baru kemudian, pihak kampus membawa para korban luka dan tewas ke rumah sakit.
Banyak kalangan yang berpendapat, penembakan itu dilakukan oleh Kesatuan Militer Kopassus, karena penembakan itu hanya bisa dilakukan dengan keterampilan tinggi. Kesatuan Kopassus sendiri saat itu dipimpin Letjen TNI Prabowo Subianto.
Lima hari setelah penembakan, Prabowo mengunjungi rumah korban tewas Hery Hartanto. Di hadapan orangtua Hery, Prabowo mengangkat Alquran dan meletakkannya di atas kepalanya, dan bersumpah demi Allah dia tidak memerintahkan penembakan itu.
Penembakan mahasiswa Trisakti memicu kerusuhan besar di Jakarta dan sejumlah daerah lain di Indonesia. Kerusuhan terjadi sehari setelah penembakan, mulai 13-15 Mei 1998. Dalam kerusuhan ini, etnis Cina yang dijadikan kambing hitamnya.
Massa yang tidak diketahui identitasnya, orang-orang berbadan kekar tiba-tiba datang menggunakan truk di titik-titik yang telah ditentukan. Mereka kemudian berteriak-teriak memprovokasi warga agar toko-toko milik orang-orang Cina dibakar.
Ketika puncak peristiwa itu terjadi, Presiden Soeharto sedang berada di Kairo, Mesir, menghadiri pertemuan G-15 pada 13-14 Mei 1998. Selama Soeharto ke luar negeri, tanggung jawab dalam negeri diserahkan kepada Wakil Presiden BJ Habibie.
Menurut keterangan Gubernur DKI Jaya Sutiyoso, dalam peristiwa kerusuhan itu sebanyak 4.939 bangunan rusak dibakar, 1.119 mobil pribadi hangus dibakar, angkutan umum 66 buah, dan 821 motor hangus dibakar. Rumah warga yang dibakar 1.026 buah.
Jumlah bank yang dirusak massa sebanyak 64, terdiri dari 313 kantor cabang, 178 kantor cabang pembantu, dan 26 kantor kas. Total kerugian fisik bangunan akibat kerusuhan itu mencapai angka Rp2,5 triliun lebih, belum termasuk dengan isinya.
Kerugian ini lebih buruk dari kerusuhan Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) di Jakarta yang hanya merusak 144 bangunan atau dibandingkan kasus 27 Juli 1966 yang menghancurkan puluhan bangunan dan kendaraan dengan kerugian Rp100 miliar.
Dari segi korban jiwa dan luka juga dampak kerusuhan ini jauh lebih besar. Bahkan konon disebut yang terbesar, setelah terjadinya peristiwa pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1966.
Di Jakarta, korban-korban kerusuhan mulai berjatuhan. Pemerintah Daerah Tangerang mencatat, lebih dari seratus orang tewas terbakar dalam aksi penjarahan di sebuah kompleks pertokoan. Pemda Bekasi juga menemukan puluhan orang tewas terbakar.
Pusat Penerangan ABRI melaporkan, jumlah korban jiwa mencapai 500 orang. Belum termasuk jumlah korban tewas yang berada di Surakarta, Jawa Tengah, Makassar, Medan, Surabaya, Jawa Timur, dan sejumlah daerah lainnya yang ada di Indonesia.
Hingga kini, tidak ada jumlah pasti berapa total korban tewas akibat tragedi Mei 1998 tersebut. Untuk wilayah Jakarta saja, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh pemerintah menemukan variasi angka yang berbeda-beda.
Data Tim Relawan menyebutkan, korban tewas dalam peristiwa itu mencapai angka 1.190 atau 1.339 orang akibat terbakar atau dibakar, 27 orang akibat senjata tajam atau dibunuh, dan 91 orang lainnya mengalami luka-luka karena berbagai sebab.
Sedangkan data Polda Metro Jaya menyatakan, 451 orang meninggal dunia, dan korban luka tidak tercatat. Data Kodam masih lebih besar, yakni 463 orang meninggal, termasuk di antaranya aparat keamanan, dan 69 orang lainnya luka-luka.
Data terakhir adalah yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta yang menyatakan korban meninggal mencapai angka 288 orang dan 101 orang lainnya mengalami luka-luka. Kebenaran angka-angka tersebut hingga kini masih belum menemui kesepakatan.
Sementara korban pelecehan seksual dan pemerkosaan dari etis Cina hingga kini masih gelap, tidak ada angka yang pasti. Ada yang menyebut wanita yang menjadi korban pemerkosaan di Jakarta berjumlah 92 orang, namun membuka peluang lebih.
Apalagi dalam peristiwa itu aparat terkesan membiarkan orang-orang berbadan tegap dan berambut cepak melakukan provokasi kepada warga untuk melakukan pembakaran dan penjarahan terhadap toko-toko milik etnis Cina di sejumlah daerah.
Kerusuhan yang terkesan diciptakan sejak 12 hingga 15 Mei 1998 ini pun seharusnya sudah diperkirakan oleh pihak intelijen, tetapi pertanyaannya kenapa tentara baru digerakkan pada 15 Mei 1998, setelah kerusuhan di sejumlah daerah mulai mereda?
Pada 15 Mei 1999, terjadi pergerakan besar-besaran oleh satuan-satuan militer. Satuan-satuan tentara itu didaratkan dengan menggunakan helikopter di mana-mana untuk pengamanan. Namun, semua sudah terlambat, korban jiwa telah berjatuhan.
Hal ini merupakan blunder terburuk dalam sejarah kegagalan penanganan keamanan oleh ABRI sejak tahun 1945. Jenderal TNI Wiranto yang saat itu menjabat Menteri Hankam/Panglima ABRI harus memikul tanggung jawab atas kegagalan tersebut.
Sumber Tulisan
* Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, THC Mandiri, Cetakan Kedua, September 2006.
* A Pambudi, Sintong dan Prabowo, Dari Kudeta LB Moerdani Sampai Kudeta Prabowo, Medpress, Cetakan Ketiga, 2009.
* A Malik Haramain, Gus Dur, Militer, dan Politik, Penerbit LKiS Yogyakarta, Cetakan I, Februari 2004.
* Letnan Jenderal (Purn) TNI Djadja Suparman, Jejak Kudeta (1997-2005), Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Cetakan Pertama, Januari 2003.
* Hendro Subroto, Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, Penerbit Buku Kompas, Cetakan Ketiga, Maret 2009.
* Nur Muhammad Wahyu Kuncoro, 68 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia, Penerbit Raih Asa Sukses, Cetakan I, Jakarta 2012.
* Beni Bevly, Aku Orang Cina? Narasi Pemikiran Politik Plus dari Seorang Tionghoa, Overseas Think Tank for Indonesia, Cetakan Pertama, Mei 2008.
* Mimin Dwi Hartono, 18 Tahun Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei, dikutip dalam http://www.komnasham.go.id.
(san)