Gatot Subroto dan Keberpihakannya kepada Kaum Tertindas
A
A
A
Di antara tokoh militer Indonesia, tersebutlah nama Gatot Subroto atau Gatot Soebroto. Dia lahir di Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah, 10 Oktober 1907, sebagai anak tertua dari Sayid Yudoyuwono. Adik-adiknya ada tujuh orang.
Gatot Subroto mulai sekolah di Europesche Lagere School (ELS), setingkat Sekolah Dasar, yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak Belanda atau anak-anak Indonesia dari keluarga terpandang.
Sebenarnya, Gatot Subroto tidak berhak memasuki sekolah tersebut, tetapi bupati Banyumas membantu hingga ia dapat diterima di ELS.
Gatot Subroto tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di ELS. Ia dikeluarkan gara-gara berkelahi dengan seorang anak Belanda. Beruntung, ada anggota keluarganya yang menjadi guru di HIS (Hollandsch Inlandsche School, setingkat SD) Cilacap.
Guru tersebut bersedia memberikan bantuan dan Gatot Subroto dapat pindah dari Banyumas ke Cilacap, bersekolah di HIS.
Setelah menamatkan HIS, Gatot Subroto bekerja sebagai pegawai negeri. Namun, pekerjaan seperti itu tidak cocok dengan jiwanya. Karena itu, ia minta berhenti.
Tak lama kemudian, pada tahun 1923, dia memasuki sekolah militer KNIL di Magelang. Sempat menjadi sersan kelas II saat dikirim ke Padang Panjang selama lima tahun, Gatot Subroto kemudian dikirim ke Sukabumi untuk mengikuti pendidikan lanjutan, pendidikan marsose.
Gatot Subroto yang bertubuh kekar dan sejak kecil memperlihatkan sifat berani, dengan mudah menyelesaikan pendidikan marsose. Dia lalu ditempatkan di Bekasi dan Cikarang, Jawa Barat.
Daerah tersebut pada saat itu sering dilanda kerusuhan yang bersumber pada kekejaman para lintah darat memeras rakyat. Pemerasan itu membuat rakyat menderita. Pencurian dan penggarongan terjadi setiap hari.
Sersan Marsose Gatot Subroto harus mengamankan daerah itu. Yang bersalah ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Seringkali ia harus melakukan tindakan itu terhadap rakyat kecil yang jelas melanggar hukum, khususnya yang mengganggu keamanan.
Batinnya tertekan, tetapi bagaimanapun hukum harus ditegakkan dan itu adalah tugasnya. Suara hatinya mengatakan bahwa gangguan keamanan itu terjadi karena rakyat sangat menderita.
Dengan pertimbangan itu, selain bertindak tegas, dia pun mempunyai cara lain untuk menolong mereka. Tapi, itu tak mudah. Sebab, seorang anggota KNIL, terlebih lagi pasukan marsose, terikat peraturan cukup ketat.
Mereka dilarang bergaul dengan rakyat. Hal itu disengaja pemerintah kolonial agar mereka tidak berpihak kepada bangsanya. Namun, bagi Gatot, larangan itu tidak sepenuhnya ditaati.
Gatot Subroto berusaha membantu keluarga orang-orang yang terpaksa ditangkap dan dihukumnya. Baginya, pelaksanaan tugas dan perasaan kemanusiaan adalah dua hal berbeda.
Sebagian dari gajinya diberikan kepada keluarga para korban, sebagai modal agar mereka dapat berdagang kecil-kecilan. Dengan demikian, kehidupan anak-anak mereka tertolong. Cara-cara yang dilakukan Gatot, ternyata diketahui komandannya.
Karena itu, ia sering mendapat teguran. Di depan komandannya ia patuh, tetapi di belakang ia tetap melanjutkan bantuannya kepada rakyat kecil walaupun berakibat sebagian biaya sekolah adiknya yang ia tanggung harus dikurangi.
Setelah Jepang menduduki Indonesia, Gatot Subroto mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA), organisasi militer Jepang yang merekrut tentara pribumi untuk berperang, di Bogor.
Di sanalah karier Gatot Subroto merangkak naik. Selepas lulus dari pendidikan PETA, ia diangkat menjadi komandan kompi di Banyumas, sebelum ditunjuk menjadi komandan batalion.
Setelah kemerdekaan, Gatot Subroto memilih masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kariernya berlanjut hingga dipercaya menjadi Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, serta Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya.
Selama menjabat sebagai komandan kompi dan komandan batalion, Gatot Subroto dinilai sering memihak kepada rakyat pribumi. Hal itulah yang seringkali membuat ia ditegur oleh atasannya.
Meski sering mendapat teguran dari atasan, Gatot Subroto tidak kapok. Hal itu justru membuat Gatot Subroto mendapatkan angin segar untuk sekadar 'menakuti' pihak Jepang.
Saat itu, ia mengancam mengundurkan diri sebagai komandan kompi dengan melemparkan atribut senjata perangnya.
Melihat tindakan berani Gatot Subroto, atasannya kemudian meluluskan apa yang dikerjakan Gatot Subroto, yakni memihak pribumi, terlebih rakyat kecil. Ia juga menentang Jepang jika berbuat semena-mena dan kasar terhadap anak buahnya.
Suatu kali pada tahun 1944, Kompi Gatot mengadakan latihan penjagaan pantai. Gatot melihat anak buahnya keletihan. Ia meminta kepada pelatih supaya latihan itu dihentikan, tetapi hal itu tidak digubris.
Gatot tak dapat menahan marahnya. Ia melepaskan pedang dan atributnya. Sambil meninggalkan tempat latihan, ia berkata dengan lantang,"Buat apa saya jadi cudanco!"
Tindakan itu cukup mencemaskan para pelatih. Bila Gatot Subroto mengadukan peristiwa itu kepada atasan mereka, para pelatih akan menerima hukuman. Karena itu, latihan segera dihentikan. Pedang Gatot diambil dan dikembalikan kepadanya. Para pelatih minta maaf dan sekaligus memohon agar peristiwa itu dianggap selesai.
Setelah Indonesia merdeka, Gatot Subroto membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal nama Tentara Nasional Indonesia yang ada kini.
Selama memimpin, Gatot Subroto dikenal sebagai pemimpin yang disiplin, tegas, berani, dan membela kaum tertindas. Pada tahun 1953, ketika terjadi kerusuhan di Istana Negara akibat tuntutan rakyat atas pembubaran parlemen ditolak, Gatot Subroto yang dituduh sebagai dalang kerusuhan, langsung mengundurkan diri dari jabatannya sekaligus dari dinas militer.
Gatot Subroto pun mengundurkan diri dari dinas militer. Namun, tiga tahun kemudian diaktifkan kembali sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad).
Gatot Subroto mencapai pangkat terakhir sebagai Letnan Jenderal. Dia meninggal dunia tanggal 11 Juni 1962 akibat serangan jantung. Sebenarnya, pemerintah merencanakan jabatan baru bagi Gatot Subroto yakni sebagai Penasihat Militer Presiden, jika masa jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat sudah berakhir.
Jenazah Gatot Subroto dimakamkan di Ungaran, Jawa Tengah, sesuai dengan amanatnya. Pria yang memiliki 17 bintang jasa ini mendapatkan kenaikan pangkat menjadi jenderal anumerta.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 222 Tahun 1962, tanggal 18 Juni 1962, Gatot Subroto dianugerahi gelar Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Sumber: id.wikipedia.org dan www.pahlawancenter.com.
Gatot Subroto mulai sekolah di Europesche Lagere School (ELS), setingkat Sekolah Dasar, yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak Belanda atau anak-anak Indonesia dari keluarga terpandang.
Sebenarnya, Gatot Subroto tidak berhak memasuki sekolah tersebut, tetapi bupati Banyumas membantu hingga ia dapat diterima di ELS.
Gatot Subroto tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di ELS. Ia dikeluarkan gara-gara berkelahi dengan seorang anak Belanda. Beruntung, ada anggota keluarganya yang menjadi guru di HIS (Hollandsch Inlandsche School, setingkat SD) Cilacap.
Guru tersebut bersedia memberikan bantuan dan Gatot Subroto dapat pindah dari Banyumas ke Cilacap, bersekolah di HIS.
Setelah menamatkan HIS, Gatot Subroto bekerja sebagai pegawai negeri. Namun, pekerjaan seperti itu tidak cocok dengan jiwanya. Karena itu, ia minta berhenti.
Tak lama kemudian, pada tahun 1923, dia memasuki sekolah militer KNIL di Magelang. Sempat menjadi sersan kelas II saat dikirim ke Padang Panjang selama lima tahun, Gatot Subroto kemudian dikirim ke Sukabumi untuk mengikuti pendidikan lanjutan, pendidikan marsose.
Gatot Subroto yang bertubuh kekar dan sejak kecil memperlihatkan sifat berani, dengan mudah menyelesaikan pendidikan marsose. Dia lalu ditempatkan di Bekasi dan Cikarang, Jawa Barat.
Daerah tersebut pada saat itu sering dilanda kerusuhan yang bersumber pada kekejaman para lintah darat memeras rakyat. Pemerasan itu membuat rakyat menderita. Pencurian dan penggarongan terjadi setiap hari.
Sersan Marsose Gatot Subroto harus mengamankan daerah itu. Yang bersalah ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Seringkali ia harus melakukan tindakan itu terhadap rakyat kecil yang jelas melanggar hukum, khususnya yang mengganggu keamanan.
Batinnya tertekan, tetapi bagaimanapun hukum harus ditegakkan dan itu adalah tugasnya. Suara hatinya mengatakan bahwa gangguan keamanan itu terjadi karena rakyat sangat menderita.
Dengan pertimbangan itu, selain bertindak tegas, dia pun mempunyai cara lain untuk menolong mereka. Tapi, itu tak mudah. Sebab, seorang anggota KNIL, terlebih lagi pasukan marsose, terikat peraturan cukup ketat.
Mereka dilarang bergaul dengan rakyat. Hal itu disengaja pemerintah kolonial agar mereka tidak berpihak kepada bangsanya. Namun, bagi Gatot, larangan itu tidak sepenuhnya ditaati.
Gatot Subroto berusaha membantu keluarga orang-orang yang terpaksa ditangkap dan dihukumnya. Baginya, pelaksanaan tugas dan perasaan kemanusiaan adalah dua hal berbeda.
Sebagian dari gajinya diberikan kepada keluarga para korban, sebagai modal agar mereka dapat berdagang kecil-kecilan. Dengan demikian, kehidupan anak-anak mereka tertolong. Cara-cara yang dilakukan Gatot, ternyata diketahui komandannya.
Karena itu, ia sering mendapat teguran. Di depan komandannya ia patuh, tetapi di belakang ia tetap melanjutkan bantuannya kepada rakyat kecil walaupun berakibat sebagian biaya sekolah adiknya yang ia tanggung harus dikurangi.
Setelah Jepang menduduki Indonesia, Gatot Subroto mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA), organisasi militer Jepang yang merekrut tentara pribumi untuk berperang, di Bogor.
Di sanalah karier Gatot Subroto merangkak naik. Selepas lulus dari pendidikan PETA, ia diangkat menjadi komandan kompi di Banyumas, sebelum ditunjuk menjadi komandan batalion.
Setelah kemerdekaan, Gatot Subroto memilih masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kariernya berlanjut hingga dipercaya menjadi Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, serta Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya.
Selama menjabat sebagai komandan kompi dan komandan batalion, Gatot Subroto dinilai sering memihak kepada rakyat pribumi. Hal itulah yang seringkali membuat ia ditegur oleh atasannya.
Meski sering mendapat teguran dari atasan, Gatot Subroto tidak kapok. Hal itu justru membuat Gatot Subroto mendapatkan angin segar untuk sekadar 'menakuti' pihak Jepang.
Saat itu, ia mengancam mengundurkan diri sebagai komandan kompi dengan melemparkan atribut senjata perangnya.
Melihat tindakan berani Gatot Subroto, atasannya kemudian meluluskan apa yang dikerjakan Gatot Subroto, yakni memihak pribumi, terlebih rakyat kecil. Ia juga menentang Jepang jika berbuat semena-mena dan kasar terhadap anak buahnya.
Suatu kali pada tahun 1944, Kompi Gatot mengadakan latihan penjagaan pantai. Gatot melihat anak buahnya keletihan. Ia meminta kepada pelatih supaya latihan itu dihentikan, tetapi hal itu tidak digubris.
Gatot tak dapat menahan marahnya. Ia melepaskan pedang dan atributnya. Sambil meninggalkan tempat latihan, ia berkata dengan lantang,"Buat apa saya jadi cudanco!"
Tindakan itu cukup mencemaskan para pelatih. Bila Gatot Subroto mengadukan peristiwa itu kepada atasan mereka, para pelatih akan menerima hukuman. Karena itu, latihan segera dihentikan. Pedang Gatot diambil dan dikembalikan kepadanya. Para pelatih minta maaf dan sekaligus memohon agar peristiwa itu dianggap selesai.
Setelah Indonesia merdeka, Gatot Subroto membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal nama Tentara Nasional Indonesia yang ada kini.
Selama memimpin, Gatot Subroto dikenal sebagai pemimpin yang disiplin, tegas, berani, dan membela kaum tertindas. Pada tahun 1953, ketika terjadi kerusuhan di Istana Negara akibat tuntutan rakyat atas pembubaran parlemen ditolak, Gatot Subroto yang dituduh sebagai dalang kerusuhan, langsung mengundurkan diri dari jabatannya sekaligus dari dinas militer.
Gatot Subroto pun mengundurkan diri dari dinas militer. Namun, tiga tahun kemudian diaktifkan kembali sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad).
Gatot Subroto mencapai pangkat terakhir sebagai Letnan Jenderal. Dia meninggal dunia tanggal 11 Juni 1962 akibat serangan jantung. Sebenarnya, pemerintah merencanakan jabatan baru bagi Gatot Subroto yakni sebagai Penasihat Militer Presiden, jika masa jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat sudah berakhir.
Jenazah Gatot Subroto dimakamkan di Ungaran, Jawa Tengah, sesuai dengan amanatnya. Pria yang memiliki 17 bintang jasa ini mendapatkan kenaikan pangkat menjadi jenderal anumerta.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 222 Tahun 1962, tanggal 18 Juni 1962, Gatot Subroto dianugerahi gelar Tokoh Nasional/Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Sumber: id.wikipedia.org dan www.pahlawancenter.com.
(zik)