Polisi Pertama di Asia Penyandang Gelar Doktor Forensik

Selasa, 22 Maret 2016 - 22:27 WIB
Polisi Pertama di Asia...
Polisi Pertama di Asia Penyandang Gelar Doktor Forensik
A A A
SEMARANG - Penelitian DNA berbagai populasi di Indonesia mengantarkan Kepala Sub Bidang Kedokteran Kepolisian (Dokpol) Bidang Kedokteran Kesehatan (Dokkes) Polda Jawa Tengah AKBP Sumy Hastry Purwanti sebagai polisi pertama di Asia yang menyandang gelar doktor spesialisasi forensik.

Tak hanya itu, hasil penelitiannya punya sumbangsih besar terhadap kecepatan identifikasi korban maupun tersangka dari suatu tindak pidana atau bencana.

Hastry lulus dalam sidang terbuka di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Kamis 10 Maret 2016. Perjuangannya pun tak mudah, selain tentu saja saat penelitian, saat sidang disertasi dia harus menghadapi 10 penyanggah yang semuanya profesor dan 15 penguji akademis. Hastry lulus sempurna, dengan IPK 3,89.

Polisi Pertama di Asia Penyandang Gelar Doktor Forensik


Program Studi Ilmu Kedokteran Jenjang Doktor (S3) itu ditempuh 3 tahun 10 bulan. Judul disertasinya; Variasi Genetika Pada Populasi Batak, Jawa, Dayak, Toraja dan Trunyan dengan Pemeriksaan D-Loop Mitokondria DNA untuk Kepentingan Identifikasi Forensik.

Perwira polisi yang sebentar lagi menginjak usia 46 tahun itu meneliti DNA Mitokondria atas lima populasi masyarakat di Indonesia, masing-masing; Batak (Sumatera), Dayak (Kalimantan), Toraja (Sulawesi), Trunyan (Bali), dan Jawa (Pulau Jawa).

"Lima suku itu mewakili lima pulau besar di Indonesia, sesuai dengan teori migrasi di Indonesia. Kelima suku itu juga punya budaya hampir sama soal penguburan jenazah. Semuanya diletakkan di atas tanah," kata Hastry.

Dia meneliti belulang manusia dari berbagai populasi itu. Ada 70 sampel yang diambil, namun hanya 50 dapat terbaca DNA-nya. Salah satu kesulitannya, di Trunyan, Bali. Jenazah yang menjadi belulang diletakkan di bawah pohon, tentu terpapar sinar matahari dan terpengaruh kelembaban udara. Namun, akhirnya sampel DNA dapat juga diambil.

"Rata-rata tidak dikubur. Seperti di Batak, disimpan di sebuah tugu di Samosir. Dayak di pedalaman Kalimantan Tengah, jenazah (belulang) disimpan di tempat dari batu. Keluarga Toraja juga dalam gua. Untuk Jawa, saya ambil sampel dari beberapa temuan mayat yang ternyata rata-rata diletakkan di atas tanah kemudian ditinggal. Ini juga budaya," lanjutnya.

Untuk pengambilan sampel juga tidak mudah. Rata-rata, Hastry harus melakukan ritual adat sesuai petunjuk tetua adat setempat. Sebab, mereka mempercayai upacara harus dilakukan agar tidak terjadi malapetaka.

"Misalnya di Batak, harus nyanyi-nyanyi pakai ulos. Di Kalimantan, potong babi dan makan daun sirih. Para tetua adat mengatakan, pengambilan sampel seperti ini pertama kali dilakukan. Awalnya sempat susah, tapi karena untuk kepentingan ilmu pengetahuan, akhirnya diizinkan," sambungnya.

Belulang yang diteliti, rata-rata sudah berusia 10 hingga 50 tahun. Penelitian yang dilakukannya akhirnya selesai dengan karya ilmiah. Ada kesimpulan yang diambil Hastry; masyarakat Batak, Dayak dan Jawa mempunyai kemiripan DNA. Yang berbeda, Toraja dan Trunyan.

Namun, tentu saja masing-masing punya ciri khas tersendiri. Artinya, tidak ada DNA yang sama. DNA mitokondria diambil, karena melihat pola pewarisan dari ibu. Genetika ini perbandingannya 1:33 generasi masih sama.

Selanjutnya, hasil penelitiannya itu akan dimasukkan dalam data base DNA suku-suku di Indonesia. Ini adalah sebuah rintisan. Di tingkat Asia, sebut Hastry, sudah ada data base DNA. Namun, lima suku ini belum ada. Sehingga ini jadi sumbangsih besar bagi ilmu pengetahuan.

Tak hanya itu, sesuai profesinya sebagai polisi, hasil penelitian tersebut amatlah berguna. Bisa lebih cepat dalam identifikasi korban maupun tersangka, membantu penyidik.

"Jadi sebelum data ante mortem (data saat korban hidup) didapat, sudah bisa dipetakan. Misalnya, ternyata tersangka punya DNA orang Batak. Maka, penyidik tinggal mengerucutkan lagi TO (target operasi) orang Batak. Untuk Densus (Detasemen Khusus 88 Antiteror) juga bisa lebih cepat lagi (saat identifikasi)," paparnya.

Bagi korban, apalagi dengan kondisi tubuh yang hancur, data base DNA ini juga sangat berguna bagi cepatnya proses identifikasi.

Dia juga mengemukakan alasannya, kenapa mengambil sampel DNA dari orang yang sudah mati. "Saya ingin membuktikan, walaupun kondisinya sudah hancur, tetapi masih bisa dilihat DNA-nya. Selain itu, biasanya pada beberapa kasus, petugas kebingungan mencari pembandingnya," pungkas Hastry.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1203 seconds (0.1#10.140)