Perkuat NKRI, Pemberian Amnesti Boleh Dilakukan
A
A
A
JAKARTA - Pemberian amnesti pada tokoh separatis bisa saja dilakukan agar semua golongan dapat dirangkul dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, jangan sampai hal itu justru mengundang gerakan separtis lain lantaran pemberian amnesti yang mudah.
"Pemberian amnesti merupakan salah satu kebijakan yang dapat diambil agar tujuan keutuhan Negara NKRI dapat tetap terlaksana tanpa adanya gerakan-gerakan separatis di beberapa daerah," kata Direktur Lembaga Kajian Institut Demokrasi (Indemos) Ivano Mahendra saat seminar 'Grasi, Amnesti Perspektif Rekonsiliasi Anak Bangsa' di Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan (Stebank) Islam di Jakarta.
Menurut Mahendra, kasus kelompok eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pimpinan Nurdin bin Ismail atau Din Minimi perlu disikapi dengan bijak oleh pemerintah, agar gerakan separatis bisa bergabung kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Dia mengatakan, pada masa Presiden Soekarno amnesti diberikan dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari tokoh nasional guna menjaga stabilitas pemerintahan dapat berjalan dengan baik. "Proses hukum harus dilalui dengan benar agar pemberian amnesti ini bisa memperkuat NKRI," katanya.
Sementara, Ketua HMI Stebank Islam, Dani Ramdhani mengatakan, aturan hukum mengenai grasi dan amnesti ada di UUD 1945 dan presiden memiliki kewenangan prerogratif untuk memberi grasi dan amnesti untuk hal tertentu, seperti kelangsungan pembangunan dan persatuan Indonesia.
"Amnesti dan grasi perlu dilakukan agar tujuan efek jera tercapai. Sebagai mahasiswa kita harus meneliti terlebih dahulu kasus amnesti dan grasi apakah sesuai dengan perkembangan atau tidak," katanya.
Untuk kasus Din Minimi pemberian amnesti atau grasi tepat diberikan karena mereka ingin kembali ke NKRI, dan turun gunung sehingga tidak mengganggu ketertiban umum di Aceh lagi.
"Rehabilitasi harus ada pertimbangan hukum, sementara amnesti dan grasi harus ada pertimbangan DPR. Intinya mahasiswa harus kritis bahwa pemberian amnesti dan grasi ada dalam undang-undang di Indonesia," pungkasnya.
PILIHAN:
JPU Ungkap Motif Pembunuhan Angeline
"Pemberian amnesti merupakan salah satu kebijakan yang dapat diambil agar tujuan keutuhan Negara NKRI dapat tetap terlaksana tanpa adanya gerakan-gerakan separatis di beberapa daerah," kata Direktur Lembaga Kajian Institut Demokrasi (Indemos) Ivano Mahendra saat seminar 'Grasi, Amnesti Perspektif Rekonsiliasi Anak Bangsa' di Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan (Stebank) Islam di Jakarta.
Menurut Mahendra, kasus kelompok eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pimpinan Nurdin bin Ismail atau Din Minimi perlu disikapi dengan bijak oleh pemerintah, agar gerakan separatis bisa bergabung kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Dia mengatakan, pada masa Presiden Soekarno amnesti diberikan dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari tokoh nasional guna menjaga stabilitas pemerintahan dapat berjalan dengan baik. "Proses hukum harus dilalui dengan benar agar pemberian amnesti ini bisa memperkuat NKRI," katanya.
Sementara, Ketua HMI Stebank Islam, Dani Ramdhani mengatakan, aturan hukum mengenai grasi dan amnesti ada di UUD 1945 dan presiden memiliki kewenangan prerogratif untuk memberi grasi dan amnesti untuk hal tertentu, seperti kelangsungan pembangunan dan persatuan Indonesia.
"Amnesti dan grasi perlu dilakukan agar tujuan efek jera tercapai. Sebagai mahasiswa kita harus meneliti terlebih dahulu kasus amnesti dan grasi apakah sesuai dengan perkembangan atau tidak," katanya.
Untuk kasus Din Minimi pemberian amnesti atau grasi tepat diberikan karena mereka ingin kembali ke NKRI, dan turun gunung sehingga tidak mengganggu ketertiban umum di Aceh lagi.
"Rehabilitasi harus ada pertimbangan hukum, sementara amnesti dan grasi harus ada pertimbangan DPR. Intinya mahasiswa harus kritis bahwa pemberian amnesti dan grasi ada dalam undang-undang di Indonesia," pungkasnya.
PILIHAN:
JPU Ungkap Motif Pembunuhan Angeline
(mhd)