Singaperbangsa dan Pantangan Penyembelihan Kambing

Jum'at, 05 Februari 2016 - 05:00 WIB
Singaperbangsa dan Pantangan Penyembelihan Kambing
Singaperbangsa dan Pantangan Penyembelihan Kambing
A A A
Menurut sejarah resmi Kabupaten Karawang, Singaperbangsa adalah putera Wiraperbangsa dari Kerajaan Galuh. Singaperbangsa mempunyai garis keturunan dari Prabu Geusan Ulun, penguasa Kerajaan Sumedang Larang.

Dia adalah putera dari Adipati Kertabumi III yang telah berhasil mengusir Pangeran Nagaragan dari Banten. Nagaragan sebelumnya berusaha menguasai daerah Karawang.

Keberhasilan Adipati Kertabumi III ini membuatnya dianugerahi keris yang diberi nama "Karosinjang" dan perintah untuk tetap memegang kekuasaan di Karawang sebagai wakil dari Sultan Agung dari Mataram.

Namun tugas itu tidak dapat ditunaikan karena Adipati Kertabumi III meninggal dunia pada saat berada di Galuh.

Selanjutnya, melalui Piagam Pelat Kuningan Kandang Sapi Gede, Sultan Agung mengangkat Singaperbangsa sebagai penguasa di Karawang dengan gelar Adipati Kertabumi IV.

Pengangkatan Singaperbangsa ini dipandang sebagai titik awal lahirnya Kabupaten Karawang, dengan Singaperbangsa sebagai bupati pertama.

Ada kisah menarik yang berhubungan erat dengan cerita mengenai Singaperbangsa yaitu
pantangan warga Desa Ciranggon Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang agar tidak memelihara atau menyembelih kambing.

Pantangan tersebut tidak lepas dari keberadaan telaga atau sendang yang berbentuk sumur di desa tersebut, yang oleh warga seputar disebut sebagai Kobak Sumur.

Konon menurut cerita warga setempat, sumur tua inilah yang menjadi sumber dari segala ihwal cerita yang berkaitan dengan pantangan warga memelihara dan menyembelih kambing di daerah tersebut.

Larangan memelihara atau menyembelih kambing itu sejatinya juga berpangkal dari satu peristiwa berdarah yang terjadi di Karawang pada masa lalu.

Peristiwa yang dimaksud yakni mengenai kisah terpenggalnya kepala Singaperbangsa, Bupati Karawang di masa itu.

Dalam cerita yang dikisahkan secara turun temurun disebutkan bahwa pemberontakan Trunajaya berpengaruh besar bagi Karawang.

Hal itu dijadikan kesempatan oleh orang-orang Makasar yang membantu pemberontakan Trunajaya untuk melakukan aksi kriminal seperti merampok, merampas harta benda dan bahkan pembunuhan warga yang tidak berdosa.

Aksi ini pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan rakyat Karawang yang hidup di sekitar Pantai Utara Jawa.

Di saat yang sama, penduduk Karawang yang tinggal di sepanjang sungai Citarum, juga tak luput dari gangguan orang-orang Banten yang dendam karena pangeran Puger Agung dipenggal kepalanya oleh Adipati Kertabumi IV, atau Singaperbangsa III, Bupati Karawang pada masa itu.

Bupati Karawang pada masa itu sebagaimana yang ditetapkan dalam pelat berupa kuningan yang disebut sebagai Kandang Sapi Gede, yang merupakan bukti surat pengangkatan wadana (Bupati) Karawang. Bahwa antara Singaperbangsa dan Aria Wirasaba adalah setingkat.

Tetapi dalam pelaksanaan roda pemerintahan, Aria Wirasaba dianggap bawahan Singaperbangsa, sebagai Bupati Karawang. Sementara Aria Wirasaba hanya mempertahankan dan memerintah Waringin Pitu, Parakan Sapi dan Adiarsa.

Kekurang kompakan mereka sebagai tampuk pimpinan dimanfaatkan oleh dua pimpinan pasukan tentara Trunajaya yaitu Nata Manggala dan Wangsananga.

Maka pendopo Karawang diserang oleh Nata Manggala dan Wangsanga bersama pasukannya.

Singaperbangsa terdesak dan lari ke arah utara. Akan tetapi di daerah Tunggak Jati Tengah, Singaperbangsa berhasil ditangkap dan dipenggal kepalanya.

Sedangkan istri dan keluarga serta Raden Anom Wirasuta, Putra Singaperbangsa, menyelamatkan diri dengan menyebrangi Sungai Citarum.

Rombongan ini dipimpin Singa Derpa Kerta Kumambang. Rombongan ini terus melarikan diri menuju ke selatan.

Hampir bersamaan dengan peristiwa terbunuhnya Singaperbangsa ini, R Suriadipati Putra Rangga Gede dari Sumedanglarang, diangkat menjadi penguasa di Kelapa Dua.

Sementara Indra Manggala Putra Dalem Jaya Manggala dari Sukakerta, Tasikmalaya, juga mendengar Karawang diserang pemberontak.

Dia dan pasukannya segera menuju Karawang. Sampai di suatu tempat Indra Manggala bertemu dengan rombongan keluarga bupati Karawang yang dipimpin Singa Derpa Kerta Kumambang.

Kedua belah pihak kemudian melakukan perjanjian damai. Tempat atau bekas perundingan damai ini kini disebut Kampung Badami (berdamai), yang kini termasuk wilayah Wadas, Teluk Jambe.

Setelah pejanjian damai disepakati, Suriadipati dan Indra Manggala segera berupaya menyelamatkan jenazah bupati Singaperbangsa dengan cara menyusup ke wilayah kotaraja.

Meski akhirnya mereka tahu kalau Singaperbangsa telah gugur, namun Suriadipati dan Indra Manggala telah sepakat bahwa apapun yang terjadi, kepala bupati Karawang yang terpisah dari badannya itu harus bisa diselamatkan.

Dikisahkan, selang beberapa waktu kemudian, keduanya dapat memasuki kotaraja Karawang. Bahkan, mereka dapat menyusup ke areal pendopo Karawang yang telah diduduki pemberontak.

Ketika itulah mereka melihat potongan kepala Singaperbangsa dipertontonkan dengan cara ditancapkan dekat pendopo. Maksudnya tak lain agar rakyat Karawang menyerah dan tunduk kepada para pemberontak.

Dengan taktik dan strategi yang jitu, akhirnya Suriadipati dan Indra Manggala dapat menyelamatkan kepala bupati Karawang tersebut.

Mereka kemudian membawanya untuk dipersatukan kembali dengan tubuhnya yang telah dibawa terlebih dahulu oleh para abdi dalem dan rakyat Karawang yang telah mengungsi. Maksudnya tak lain untuk dimakamkan secara layak.

Konon menurut cerita, daerah yang dilalui para abdi dalem dan rakyat Karawang dalam pelariannya disebut Klari. Konon, setelah pemakaman selesai para abdi dalem kembali menemui Singaderpa Kerta Kumambang di Citaman.

Menurut riwayat, sebelum keduanya tiba di daerah Manggung Jaya, lokasi yang direncanakan untuk memakamkan Singaperbangsa, Rangga Suriadipati dan Indra Manggala beristirahat di daerah Ciranggon, tepatnya di kawasan irigasi, dekat sebuah sendang. Nah, sendang inilah yang sekarang disebut Kobak Sumur oleh masyarakat setempat.

Karena merasa prihatin melihat potongan kepala Singaperbangsa yang kotor, meski masih dihantui kejaran pasukan Trunojoyo. Namun keduanya menyempatkan diri untuk membersihkan potongan kepala Singaperbangsa yang berlumur darah kering itu. Tempat mencucinya di Kobak Sumur tersebut.

Konon, akibat perbuatan mereka yang sembrono ini, air sendang yang tadinya jernih, seketika memerah dan berbau anyir.

Apa yang terjadi kemudian sesosok makhluk halus penguasa sendang tersebut hadir di tempat itu.

Dengan kesaktian yang mereka miliki, lantas keduanya melakukan kontak gaib dengan makhluk tersebut.

Dari hasil dialog gaib disimpulkan bahwa siluman tersebut sangat tertarik dengan kepala dan bau anyir potongan kepala Singaperbangsa.

Mereka lalu mencoba mengusir siluman tersebut. Akan tetapi siluman itu ternyata memiliki kesaktian tinggi, sehingga tak mudah menaklukkannya.

Ketika mereka terdesak dan hampir hilang akal, maka ketika itulah mereka melihat beberapa orang sedang menggiring sekumpulan kambing.

Rangga Suriadipati segera tanggap lalu dipanggilnya para penggiring kambing itu. Dia pun menceritakan kesulitan yang tengah dihadapannya, dan meminta agar para penggiring kambing itu sudi menyerahkan salah seekor kambingnya untuk dijadikan tumbal pengganti potongan kepala Singaperbangsa.

Terdorong oleh kecintaan mereka, dan demi menyelamatkan potongan kepala Singaperbangsa, salah seorang penggiring kambing itu menyerahkan seekor kambing jantan miliknya.

Kambing inilah yang kemudian disembelih dan kepalanya dipisah dari badannya. Potongan kepala kambing itu lantas ditancapkan di sekitar sendang Kobak Sumur, menggunakan batang bambu kuning, dengan maksud untuk mengelabui si makhluk halus yang menginginkan potongan kepala Singaperbangsa.

Dengan melakukan ritual sederhana ini akhirnya mereka terlepas dari gangguan siluman. Dengan mata kepala sendiri, mereka menyaksikan wujud sosok siluman itu pergi membawa bangkai kambing tanpa kepala tersebut, sementara kepalanya ditinggalkan menancap di lokasi sendang.

Suriadipati dan Indra Manggala menyakini makhluk halus itu tertarik dengan kepala kambing yang masih basah dengan darah dan yakin siluman itu akan kembali mengambilnya.

Disamping untuk mengelabui siluman, penancapan kepala kambing itu dimaksudkan juga sebagai tanda isyarat bagi pengikut Singaperbangsa, bahwa kepala junjungannya telah berhasil diselamatkan. Lalu Rangga Suriadipati dan Indra Manggala segera meneruskan perjalanannya ke Manggung.

Konon dari peristiwa itulah, tercipta kenapa di daerah Ciranggon orang tabu untuk memelihara apalagi menyembelih kambing, termasuk untuk berkurban.

Namun cerita ini masih diperdebatkan oleh sebagian warga Karawang karena mereka menilai sang adipati tidak mungkin dengan mudahnya ditaklukan oleh pengikut Trunojoyo. Karena Adipati Singaperbangsa dikenal dengan kesaktiannya.

Sumber :
-majalah-misteri.net
-wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4136 seconds (0.1#10.140)
pixels