Pemberontakan PKI di Banten dan Silungkang 1926-1927 (2-habis)

Sabtu, 28 November 2015 - 05:09 WIB
Pemberontakan PKI di...
Pemberontakan PKI di Banten dan Silungkang 1926-1927 (2-habis)
A A A
SETELAH beberapa bulan tidak ada kabar dari Alimin, Tan Malaka akhirnya menyusul ke Singapura. Dia sampai di Kota Singa itu pada 6 Mei 1926. Namun beberapa hari sebelumnya Alimin dan Muso sudah pergi ke Moskow.

Setibanya di Moskow, mereka menjelaskan rencana pemberontakan itu kepada Stalin dan meminta bantuan senjata untuk pemberontakan yang akan dilaksanakan. Permintaan itu ditolak Stalin, karena dinilai sangat membahayakan PKI.

Keduanya lalu disekolahkan selama tiga bulan oleh Stalin untuk mengikuti reindoktrinasi teori perjuangan revolusioner. Setelah proses reindoktrinasi selesai, mereka kembali menemui Stalin dan meminta bantuan senjata.

Untuk kedua kalinya, Stalin menolak memberikan bantuan senjata kepada PKI dan meminta rencana pemberontakan dibatalkan. Mereka kemudian diminta pulang ke Indonesia dan segera menyampaikan keputusan itu kepada Seksi-Seksi PKI.

Namun Alimin dan Muso mengabaikan semua putusan itu. Mereka tidak melanjutkan pesan Stalin kepada Seksi-Seksi PKI yang sedang melakukan persiapan menuju pemberontakan dan tetap melaksanakan Putusan Prambanan.

Sementara itu, Tan Malaka berhasil menemui Subakat wakil PKI di Singapura. Tan Malaka lalu menanyakan surat yang dikirimkan Alimin tentang putusan para pimpinan PKI dalam menanggapi tesis yang diberikannya kepada Alimin.

Dalam surat itu, Alimin menulis bahwa tesis-tesis Tan Malaka ditolak. Subakat terkejut saat mendengar adanya tesis tersebut. Sebab Alimin tidak pernah menyampaikannya dalam pertemuan pimpinan PKI di Singapura.

Ternyata tesis-tesis Tan Malaka masih berada di lapisan dalam tas Alimin dan tidak pernah dikeluarkan. Tesis itu sengaja disimpan rapat-rapat dan tidak disampaikan agar Putusan Prambanan dapat terus dilaksanakan oleh Seksi-Seksi PKI.

Tan Malaka kemudian memanggil pimpinan PKI ke Singapura. Pada akhir Juni 1926, salah seorang pimpinan PKI Suprodjo tiba di Singapura. Mereka bertiga kemudian membicarakan putusan yang telah diambil pada bulan Desember 1925.

Hasil pertemuan adalah menolak Putusan Prambanan dan menghubungi Seksi-Seksi PKI di daerag agar menghentikan persiapan pemberontakan karena akan membawa bencana yang sangat besar. Tan Malaka lalu melengkapi tesis Manila.

Pada awal Juli 1926, Suprodjo kembali ke Indonesia dan menyampaikan hasil diskusinya dengan Tan Malaka dan Subakat. Namun Sardjono yang memimpin rapat di Prambanan menolak semua putusan itu dan tetap dengan putusan semula.

Pemberontakan akhirnya pecah di Jawa Barat, pada 12-13 November 1926. Di Banten, pemberontakan dipimpin oleh Kiai Haji (KH) Tubagus (Tb) Achmad Chatib, seorang ulama yang memimpin PKI cabang Caringin.

Dalam suatu rapat, Haji Chatib mengatakan kepada pemimpin PKI bahwa pemberontakan yang akan dilakukan adalah tugas suci umat Muslim dalam melawan pemerintah kafir. Tampak jelas, Haji Chatib membawa semangat jihad dan mati syahid.

"Kita harus membela PKI dengan segala kemungkinan apapun. Layaknya pakaian kotor, ia harus dicuci dengan sabun. Begitupun dengan dunia yang ternoda, ia musti dicuci dengan darah," katanya berapi-api.

Selain Haji Chatib, ulama yang memiliki peran penting dalam pemberontakan di Banten adalah Haji Hasan, Kiai Moestapha, Haji Saleh, Entol Enoh, Kiai Moekri, Kiai Ilyas, dan Haji Entjeh.

Hari-hari sebelum pemberontakan diwarnai dengan penangkapan para pemimpin PKI yang menjadi inti gerakan. Pertama-tama yang ditangkap adalah para pimpinan pusat PKI. Dimulai dengan penangkapan dan pembuangan Darsono pada 1925.

Menyusul kemudian Ali Archam dibuang ke Irian Jaya. Penangkapan selanjutnya menyasar Haji Misbach. Dia dibuang ke Manokwari dan meninggal di sana. Sasaran kemudian adalah Alimin. Namun dia berhasil meloloskan diri ke luar negeri.

Pada Januari 1926, tiga pemimpin PKI lainnya mengikuti jejak Alimin. Mereka adalah Muso, Boedisoetjitro, dan Soegono. Mereka kabur ke Singapura untuk mengindari penangkapan. Di sana mereka bertamu Alimin, Sanusi, Winata.

Hilangnya sejumlah pimpinan inti PKI memiliki dampak sangat buruk pada gerakan. Tidak adanya tenaga ahli dalam revolusi membuat gerakan dengan mudah dipatahkan. Hal itu diperparah dengan aksi penangkapan para pemimpin PKI Seksi Banten.

Pemimpin PKI Seksi Banten yang pertama menghilang adalah Puradisastra. Dia kabur ke Garut untuk menghindari penangkapan. Begitupun dengan Achmad Bassaif yang pergi dari Banten dan bergabung dengan PKI Seksi Jakarta.

Posisi kedua tokoh itu kemudian di isi oleh Hasanuddin. Namun pada Juli 1926, polisi kolonial berhasil menangkap Hasanuddin dan menjebloskannya ke penjara. PKI Seksi Banten sangat terpukul dengan penangkapan ini.

Selain melakukan penangkapan-penangkapan, polisi kolonial juga melakukan penggeledahan-penggeledehan. Gudang senjata yang dipersiapkan PKI Seksi Banten untuk melakukan pemberontakan berhasil dibongkar polisi.

Sebanyak enam pucuk pistol revolver yang disimpan di balik tembok rumah Haji Mohamme Arif, di Desa Dalung, berhasil ditemukan. Begitupun dengan 800 bilah golok di Desa Ciruas yang akan dibagi-bagikan berhasil disita.

Polisi juga berhasil menemukan pistol jenis Mauser, senapan Beaumot, dan kain putih di Desa Pabuaran dan Pancur (Di Kabupaten Serang). Uang tunai senilai 10.000 gulden yang dikumpulkan untuk membeli senapan juga ikut disita.

Gelombang penahanan dan penyitaan senjata milik PKI Seksi Banten membuat rencana berantakan. Apalagi tokoh kunci PKI Seksi Banten Tb Hilman dan Ishak berhasil ditangkap pada akhir September 1926 setelah dikhianati kawannya Oesadiningrat.

Penangkapan Tb Hilman dan Ishak diikuti dengan penangkapan tokoh kunci PKI Seksi Banten lainnya. Puradisastra yang kabur ke Garut akhirnya tertangkap oleh polisi Garut dan dibawa ke Kabupaten Serang untuk diinterogasi.

Begitupun dengan tokoh kunci PKI yang ada di Rangkasbitung dan Kabupaten Lebak, semuanya berhasil ditangkap. Mereka adalah Tju Tong Hin, Tjondroseputro, Atjim, dan Salihun. Peran ketiga pemimpin sangat penting di wilayah itu.

Hingga akhir September 1926, sudah ada 200 kali penangkapan anggota PKI Seksi Banten. Semuanya berada di Kabupaten Serang.

Banyaknya para pemimpin PKI yang ditangkap membuat Pemerintah Kolonial Hindia Belanda merasa yakin pemberontakan tidak akan dilaksanakan. Namun perkiraan itu meleset. Mereka tidak memperhitungkan Haji Chatib dan Bassaif yang masih bebas.

Degan tangkas, kedua pimpinan PKI itu menyusun kembali sel-sel PKI yang kosong karena telah ditangkap. Rencana melakukan aksi pemberontakan di Banten pun kembali disusun dengan rapi, sesuai dengan perkembangan yang terjadi saat itu.

Hal yang ditakutkan pemerintah kolonial akhirnya kejadian. Pemberontakan PKI pecah. Pada 12 November 1926 malam, ratusan petani yang dipimpin Kiai Moekri dan Kiai Ilyas berkumpul di Desa Bama. Mereka membagi-bagikan senjata.

Setelah pasukan terkumpul, mereka salat jihad dan bergerak ke Labuan. Sementara di Desa Pasar Lama, Caringin, sebanyak 700 pasukan Kiai Moestapha telah berkumpul dengan persenjataan lengkap dan melakukan penyerangan ke rumah Wedana Cening.

Sedangkan di Menes, pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Haji Hasan telah berkumpul. Berbeda dengan wilayah lain, PKI Seksi Banten di wilayah ini mendapat dukungan dari semua desa dan tidak terpengaruh dengan penangkapan-penangkapan.

Persiapan paling lemah berada di Kabupaten Serang dan Pandeglang. Hal ini terjadi karena hampir seluruh pemimpin PKI yang ada di wilayah itu telah ditangkap oleh polisi. Namun rencana aksi di kawasan ini tetap berjalan.

Di Labuan, serangan pemberontak terjadi lewat tengah malam dengan sasaran utama rumah Asisten Wedana. Dalam serangan itu, Asisten Wedana Mas Wiriadikoesomo dan keluarganya berhasil ditawan dan dibawa ke Caringin oleh pemberontak.

Sementara tiga orang polisi pengawalnya berhasil dilumpuhkan. Seorang polisi terbunuh dalam pertempuran, dan dua lainnya mengalami luka serius. Pasukan pemberontak lalu melanjutkan aksinya dengan menyerang kediaman Haji Ramal.

Rumah Haji Ramal dijaga oleh tiga orang polisi. Dalam serangan itu, Djaimoen dan Haji Entjeh tewas dan seorang lagi terluka. Para pemberontak lalu menyerang rumah Mas Mohammed Dahlan, pegawai pemerintah yang membocorkan rencana PKI.

Para pemberontak juga bergerak di Menes. Sasaran mereka yang pertama di daerah ini adalah Wedana Raden Partadiningrat. Serangan di rumah wedana ini dimulai jam satu malam. Sebanyak 400 orang dikerahkan dalam serangan itu.

Serangan ini mendapatkan perlawanan sengit dari wedana dan polisi penjaga. Beberapa pemberontak tewas tertembak. Begitupun dengan Partadiningrat dan petugas polisi yang berjaga, semuanya tewas dibunuh pemberontak.

Selesai membereskan Partadiningrat, para pemberontak menyerang rumah Pengawas Kereta Api Benyamins. Dalam serangan itu, Benyamins dan dua orang polisi penjaga tewas. Mayat Benyamins dikabarkan dipotong-potong lalu dibuang.

Sedang di Cening, massa menyerang rumah Asisten Wedana. Dalam serangan ini, Asisten Wedana mengalami luka serius dan seorang polisi yang berjaga tewas dibunuh oleh para pemberontak.

Setelah berhasil melumpuhkan kelompok sipil pegawai pemerintah, sasaran pemberontak selanjutnya adalah pihak militer Belanda yang berada di Labun. Serangan ini rencananya dilakukan pada 14 November 1926, namun gagal.

Saat akan melakukan penyerangan, para pemberontak bertemu Brigade Belanda dan terjadi pertempuran. Dalam pertempuran itu massa pemberontak berhasil dipukul mundur. Pertempuran dengan militer Belanda itu berlangsung sore hari.

Malamnya, massa pemberontak kembali menyusun kekuatan hendak menyerang balik pos militer Belanda. Sebelum memulai serangan, mereka merusak jembatan Sungai Bama, memutus kabel telepon menuju Labuan, dan memblokade jalur kereta api.

Di luar dugaan, massa pemberontak malah dikepung oleh patroli yang dipimpin Kapten Becking. Dengan menggunakan pakaian serba putih, para pemberontak akhirnya dilumpuhkan. Dalam serangan ini, banyak pemberontak yang tewas.

Dengan lumpuhnya pemberontakan di Labuan, maka berakhir pula pemberontakan di Banten. Sejak itu, giliran para pemberontak yang menjadi buruan militer kolonial Belanda. Perburuan dipimpin langsung oleh Gubernur Jawa Barat WP Hillen.

Sejak 13 November 1926, polisi kolonial telah melakukan 64 kali penangkapan di Banten. Dalam periode 13 November sampai 8 Desember 1926 tercatat ada 916 orang yang berhasil ditangkap. Jumlah itu tidak termasuk mereka yang hanya diinterogasi.

Selain di Banten, diwaktu bersamaan pemberontakan juga terjadi di Bandung, Kediri, Banyumas, Pekalongan, Kedu, dan Jakarta. Dari semua tempat itu, perlawanan paling sengit berada di Banten.

Pemberontakan paling terakhir terjadi di Silungkang, Sumatera Barat, pada 1 Januari 1927. Sama dengan pemberontakan di Banten, yang menjadi sasaran pemberontakan di Silungkang adalah para priyai kaki tangan kolonial Belanda.

Jika di Banten para pemberontak menggunakan pakaian putih-putih, di Silungkang para pemberontak memakai seragam selempang merah. Senjata yang digunakannya juga lebih lengkap dari yang di Banten.

Para pemberontak di Silungkang juga berhasil menarik sejumlah anggota militer garnizum Sawah Lunto ke dalam barisan mereka dan memimpin pemberontakan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberontakan di Silungkang lebih matang.

Dalam aksinya, para pemberontak membagi kelompok ke dalam dua barisan. Barisan pertama adalah barisan inti dan barisan kedua adalah cadangan. Barisan inti terdiri dari anggota militer yang dibantu ratusan ribu barisan cadangan.

Jumlah barisan inti jumlah 27 orang, dipimpin oleh Sersan Mayor Pontoh yang dipecat dari ketentaraan Belanda karena bersimpati dengan komunis dan Sersan Ramuat yang bernasib sama dengan Pontoh. Keduanya merupakan orang Manado.

Sasaran serangan barisan inti adalah kantor-kantor pemerintahan dan membunuh para pegawainya, gedung societiet, perusahaan tambang batu bara dan membunuh sejumlah pejabat tinggi di sana, serta menyerang penjara dan membebaskan tahanan.

Pemberontakan di Silungkang pecah pada 31 Desember 1926 saat peringatan malam Tahun Baru 1927. Mulai pukul 23.00 WIB, para pemberontak sudah mulai bergerak melakukan serangan-serangan mematikan.

Sasaran pertama para pemberontak adalah membunuh Kepala Nagari Silungkang Muhammad Djamil gelar Rang Kajo Nang Gadang. Pemimpin pemberontakan di rumah Muhammad Djamil adalah keponakannya sendiri Salim Emek.

Sasaran kemudian adalah tiga orang guru, terdiri dari Guru Mahmud, Djumin, dan Ramhman. Ketiganya dibunuh di rumahnya tanpa perlawanan. Para pemberontak lalu menyasar tukang mas Kari Sutan dan Menek yang berasal dari Bukittinggi.

Kari Sutan dan Menek dibunuh bersama anaknya yang masih kecil. Setelah selesai melakukan pembunuhan keji di malam itu, pasukan pemberontak kembali ke markas mereka di rumah tinggi untuk beristirahat.

Setelah melepas lelah, pasukan pemberontak kembali bergerak dengan sasaran Kepala Stasiun Kereta Api Silungkang. Namun sebelum pasukan pemberontak tiba di lokasi, kepala stasiun sudah melarikan diri dan selamat dari pembunuhan.

Para pemberontak lalu meledakkan rumah kepala stasiun dengan dinamit. Sasaran selanjutnya adalah rumah petugas karcis kereta api Hamid gelar Sutan Pemuncak. Karena berusaha melawan, Hamid dan anaknya yang masih kecil dibunuh.

Selain meledakkan rumah, para pemberontak juga mengahcurkan stasiun kereta, memutus sambungan telepon, dan merusak kawat penghubung kereta api yang menghubungkan Padang Panjang dan Sawah Lunto.

Dari stasiun, para pemberontak menyerang Kepala BOW (Departemen Pekerjaan Umum) Tuan Boentjit Leurs. Lagi-lagi, pembunuhan sangat keji dilakukan oleh para pemberontak. Leurs dibunuh dengan brutal di depan istri dan anaknya.

Para malam tahun baru itu, para pemberontak berhasil melakukan pembunuhan terhadap tujuh orang pegawai pemerintah kolonial Belanda, menghancurkan fasilitas umum, dan melakukan berbagai perampasan harta korban-korbannya.

Pada 1 Januari 1927, aksi pemberontak telah diketahui pihak kepolisian kolonial. Aksi pengejaran dan perang terbuka antara kelompok pemberontak dengan aparat kepolisian pun mulai terjadi saat itu.

Sebanyak 49 pemberontak berhasil ditangkap pada hari itu. Beberapa orang pemberontak tewas dalam pertempuran, dan sebagian lainnya mengalami luka-luka. Jumlah mereka yang ditangkap dan tewas dalam pertempuran terus bertambah.

Namun begitu, aksi pemberontak dalam melakukan pembunuhan-pembunuhan masih terjadi. Di Padang Sibusuk, para pemberontak membunuh Kepala Nagari Datuk Sutan Nan Gadang dan mengangkat Kupiah gelar Datuk Bandaro sebagai penggantinya.

Pada 2 Januari 1927, ratusan orang berkumpul di pasar Padang Sibusuk. Beberapa orang yang dianggap tidak loyal kepada revolusi ditangkap para pemberontak dan dihukum pancung. Peristiwa itu juga terjadi di Silungkang.

Pada 3 Januari, dua Brigade Militer Belanda dikirim ke Padang Sibusuk untuk mematahkan pemberontakan dengan melakukan penangkapan-penangkapan. Aksi ini cukup berhasil. Para pemberontak berhasil dipukul mundur untuk sementara waktu.

Selama minggu pertama pemberontakan, gerakan revolusi hanya terjadi dibeberapa wilayah seperti Silungkang, Muara Kelaban, Padang Sibusuk, dan Tanjung Ampalu. Namun begitu, semangat revolusi ini berhasil membakar rakyat Sumatera Barat.

Hingga 12 Januari 1927, militer kolonial Belanda telah menangkap sebanyak 1.300 orang. Rata-rata usia mereka yang ditangkap 17-30 tahun. Pada Februari 1927, jumlah mereka yang ditangkap dan ditahan telah mencapai 4000 orang.

Pemberontakan baru benar-benar dipadamkan pada 28 Februari 1927. Lamanya perlawanan rakyat di Sumatera Barat menunjukkan bahwa gerakan itu cukup terorganisir dibanding di Banten meski terdapat banyak kelemahan-kelemahan.

A Muluk Nasution, salah seorang tokoh pemberontakan rakyat Silungkang 1926-1927 membenarkan adanya pembunuhan-pembunuhan sadis yang dilakukan para pemberontak selama di Silungkang.

Jumlah anggota PKI di Indonesia yang ditangkap karena terlibat pemberontakan tahun 1926 mencapai 13.000 orang. Paling banyak dari Banten mencapai 13.000 orang atau 10% dari total korban. Sedangkan dari Silungkang hanya 4000 orang.

Pemberontakan PKI tahun 1926-1927 akhirnya ditetapkan sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui PP No 39/1958, PP No 20/1960 dan PP No 5/1964. Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi ditutup. Semoga memberikan manfaat.

Sumber Tulisan
Helen Jarvis, Tan Malaka Pejuang Revolusioner atau Murtad? Penerbit Cermin, Cetakan Pertama, November 2000.
Soe Hok Gie, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Penerbit Bentang, Cetakan Kedua, Juni 2004.
A Muluk Nasution, Pemberontakan Rakyat Silungkang Sumatera Barat 1926-1927, Penerbit Mutiara Jakarta, 1981.
Mestika Zed, Pemberontakan Komunis Silungkang 1927, Penerbit Syarikat Indonesia, Cetakan Pertama, 2004.
Harry A Poeze, Pergulatan Menuju Republik, Tan Malaka 1925-1945, Grafiti, Cetakan Pertama 1999.
Michael C Williams, Arit dan Bulan Sabit, Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, Syarikat, Cetakan Pertama 2003.
Nina H Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, LP3ES, Cetakan Pertama, Januari 2004.

Baca Juga: Pemberontakan PKI di Banten dan Silungkang 1926-1927 (1)
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4147 seconds (0.1#10.140)