Kedigjayaan Sultan Agung dalam Menaklukan Wilayah di Nusantara

Minggu, 08 November 2015 - 05:00 WIB
Kedigjayaan Sultan Agung...
Kedigjayaan Sultan Agung dalam Menaklukan Wilayah di Nusantara
A A A
Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan Sultan Agung adalah raja Mataram Islam yang memerintah dari 1613-1645.

Nama aslinya Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang, dia merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati.

Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang. Di bawah panji kekuasaannya Kesultanan Mataram mencapai puncak kejayaannya pada awal abad ke 17.

Kebesaran Sultan Agung terlihat dari luasnya wilayah Mataram, mulai dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Jawa Barat, Palembang hingga Kalimantan di wilayah Sukadana.

Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu Wetan adalah putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).

Sultan Agung dinilai sebagai sosok yang berkharisma hal ini berdasarkan kesaksian saudagar Balthasarvan Eyndhoven ketika datang ke Mataram pada 1614 bersama dengan Van Surck.

Sultan Agung digambarkan berbadan bagus. Sedikit lebih hitam dari rata-rata orang Jawa, hidung kecil dan tidak pesek, mulut datar dan agak lebar, kasar dalam bahasa, lamban dalam berbicara, berwajah tenang, dan tampak cerdas.

Cara memandangnya seperti singa, cermat dan waspada. Kecerdasan Sultan agung tergambar dari sifatnya yang selalu ingin tahu.

Sang Sultan yang memerintah Mataram pada usia 20 tahun ini juga dikenal memiliki kesaktian dan kedigjayaan.

Karena kesaktiannya Sultan Agung memiliki abdi dalem yang juga memiliki kedigjayaan diantaranya Juru Taman namanya.

Konon abdi dalem ini dulunya adalah manusia namun akhirnya berubah wujud menjadi makhluk halus dan mempunyai kesaktian yang istimewa.

Konon untuk menaklukan Kerajaan Banten, Sultan Agung menggunakan Juru Taman abdi dalemnya ini. Sehingga Banten dapat ditaklukannya. (Baca ceritanya di: Kisah Kesaktian Abdi Dalem Sultan Agung (Bagian-1))

Sementara untuk menaklukan Surabaya, Sultan Agung mula-mula mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang pada 1614.

Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa, Bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.

Pada 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang).

Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di Desa Siwalan.

Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan pada 1616. Kemudian pada 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.

Pada 1620 pasukan Mataram mulai mengepung Kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.

Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (Bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624.

Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.

Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada 1625, bukan karena pertempuran.

Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.

Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.

Sementara wilayah luar Jawa yang menjadi daerah bawahan Mataram di Sumatera adalah Palembang yang mengakui kekuasaannya pada 1636 dan Sukadana di Kalimantan pada 1622.

Kebesaran nama Sultan Agung juga terbukti pada kegigihannya menggempur VOC di Batavia sebanyak dua kali pada 1628 dan 1629 meskipun mengalami kegagalan.

Bala tentara Kerajaan Mataram diperintahkan Sultan Agung untuk melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia.

Namun kedua serangan ini gagal disebabkan keadaan medan yang sangat berat yang hanya mengandalkan kekuatan darat.

Sultan Agung kemudian menetapkan daerah Karawang sebagai pusat logistik yang harus mempunyai pemerintahan sendiri dan langsung berada dibawah pengawasan Mataram serta harus dipimpin oleh seorang pemimpin yang cakap dan ahli perang.

Sehingga mampu menggerakkan masyarakat untuk membangun pesawahan guna mendukung pengadaan logistik dalam rencana penyerangan kembali terhadap VOC di Batavia.

Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa dari Galuh dengan membawa 1.000 prajurit dengan keluarganya menuju Karawang.

Tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba yang dianggap gagal.

Tugas yang diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya langsung dilaporkan kepada Sultan Agung.

Atas keberhasilannya Wiraperbangsa oleh Sultan Agung dianugrahi jabatan Wedana (Setingkat Bupati) di Karawang dan diberi gelar Adipati Kertabumi III serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama "Karosinjang".

Setelah penganugrahan gelar tersebut yang dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa bermaksud akan segera kembali ke Karawang.

Namun sebelumnya singgah dahulu ke Galuh untuk menjenguk keluarganya. Atas takdir IIlahi Wiraperbangsa kemudian wafat saat berada di Galuh sebelum sempat menyerang Batavia.

Sultan Agung juga dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan keras, terutama dalam menegakkan hukum. Sebagai contoh ketika putera mahkota berbuat serong dengan istri Tumenggung Wiraguna seorang panglima perang Mataram, Sultan Agung menghukum putranya dengan mengusirnya keluar keraton.

Sultan juga menerapkan hukuman yang keras kepada para tahanan dan siapapun yang dianggap bersalah. Sehingga Sultan Agung menimbulkan rasa takut bagi rakyatnya, meskipun menurut dia pengawasan yang keras lebih baik daripada menimbulkan rasa takut.

Bahkan dia menerapkan dua pilihan hukuman bagi tawanan Belanda, dibunuh atau disunat. Sunat/khitan merupakan hal yang sangat asing bagi orang Belanda sehingga tampak mengerikan. Meskipun demikian, Sultan Agung tidak segan-segan memberikan maaf jika terbukti tidak bersalah.

Sebagai seorang muslim, Sultan Agung adalah sosok seorang raja yang saleh dalam pandangan pejabat kerajaan maupun rakyatnya bahkan orang-orang Belanda.

Berbeda dengan para priyayi kebanyakan pada waktu itu yang melekatkan agama hanya untuk kepentingan politik.

Sultan Agung secara rutin pergi ke masjid yang diikuti oleh para pembesar kerajaan. Ketika hari Jum’at, Sultan mewajibkan seluruh rakyatnya yang laki-laki untuk berduyun-duyun pergi ke masjid.

Sejak pukul 09.00 WIB pagi, Sultan sudah berangkat dan selalu menanyakan siapa saja yang tidak hadir beserta alasan ketidakhadirannya.

Sultan juga merayakan hari-hari besar Islam, Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi, yang kemudian memunculkan budaya gerebeg dan sekaten.

Seorang raja (pemimpin) menjadi sangat berwibawa dan berkharisma tidak hanya karena kekuasaannya tetapi keteladanannya.

Dia memberikan contoh nyata bagi rakyatnya tidak hanya sekedar memerintah. Sultan dikenal sebagai sosok yang sangat taat pada aturan-aturan Islam jauh sebelum pemberlakuan tarikh Islam.

Bahkan semakin taat seiring dengan pertambahan usianya dan ketaatannya ini juga diberlakukan bagi orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Hukum yang diterapkan pun disesuaikan dengan hukum Islam, meskipun sultan juga tetap menghormati hukum adat. Sehingga perpaduan antara keduanya melahirkan undang-undang baru yang lebih dikenal dengan Surya Alam.

Kebesaran Sultan Agung juga ditunjukkan pada perhatiannya yang besar terhadap kesenian dan kebudayaan. Pada masanya, seni sastra mengalami perkembangan yang pesat. Banyak buku-buku sastra yang dihasilkan pada waktu itu, seperti Nitisruti, Nitipraja, dan Sastragending. Seni bangunan juga mengalami perkembangan.

Sultan Agung juga berjasa dalam pembuatan tahun Saka yang merupakan perpaduan antara tahun Jawa dan tarikh Islam.

Sultan Agung wafat pada 1645 setelah berhasil membawa Mataram ke puncak kejayaan. Hingga akhir hayatnya, dia tetap tidak mau berdamai dengan VOC meskipun ada tawaran untuk itu. (Baca juga: Kisah Sultan Agung, Imogiri, dan Segenggam Tanah dari Mekkah). Jenazahnya dimakamkan di pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, sebelah selatan Yogyakarta.

Sumber:
-duniapusaka.com
-tokohindonesia.com
-wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1277 seconds (0.1#10.140)