Maklumat Mohammad Yamin dan Kudeta Pertama di Indonesia

Minggu, 04 Oktober 2015 - 05:05 WIB
Maklumat Mohammad Yamin...
Maklumat Mohammad Yamin dan Kudeta Pertama di Indonesia
A A A
DALAM Maklumat No 2 yang ditujukan kepada Presiden Soekarno, Mohammad Yamin mendesak agar rakyat dan tentara membela kemerdekaan 100% dan politik antikompromi Tan Malaka.

Tidak hanya itu, Mohammad Yamin juga meminta kepada Presiden Soekarno untuk hari itu juga memberhentikan seluruh kementrian yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Lebih jauh, pada Maklumat No 3, Mohammad Yamin mendesak Presiden Soekarno untuk segera menyerahkan kekuasaannya dan mengganti Panglima Besar Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU) bersama markasnya.

Maklumat itu juga menyatakan agar Presiden Soekarno menyerahkan hal-hal yang berkenaan dengan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik yang akan dibentuk.

Sedangkan pada Maklumat No 4, Mohammad Yamin menulis Presiden Soekarno agar memenuhi Maklumat No 3 dan segera mengangkat 10 orang Dewan Pimpinan Politik yang orang-orangnya telah ditentukan.

Kesepuluh Dewan Pimpinan Politik itu terdiri dari Buntaran Martoatmojo, Budyanrto Martoatmojo, Chaerul Saleh, Gatot Tarunamiharja, Iwa Kusuma Sumantri, Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Sunaryo, Tan Malaka dan Wahid Hasyim.

Pagi hari, tanggal 3 Juli 1946, Panglima Jenderal Sudirman dan Muhamad Saleh memerintahkan kepada Panglima Divisi Laskar Jogjakarta agar mengumpulkan anak buahnya di Alun-alun Lor Jogjakarta.

Di saat bersamaan, para tokoh Persatuan Perjuangan merencanakan dua aksi mengejutkan. Pertama, Jenderal Sudarsono mendatangi Istana Jogyakarta untuk meminta persetujuan dan tandatangan Presiden Soekarno terhadap maklumat Mohammad Yamin.

Kedua, Mayor Abdul Kadir akan menculik Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin. Penahanan kedua pemimpin itu untuk menekan Soekarno agar menyetujui maklumat yang ditulis Yamin.

Rencana kemudian dijalankan. Pasukan Mayor Abdul Kadir yang menumpang truk tiba di depan rumah Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin. Pasukan masuk saat lowong, karena ada pergantian sif penjagaan.

Saat pasukan datang, Amir sedang tertidur pulas di tempat tidurnya. Di bawah todongan senjata, Amir dinaikkan ke atas truk. Saat penangkapan dilakukan, ternyata ada dua tentara penjaga di rumah Amir yang bersembunyi.

Mereka lalu menembak pasukan penculik dan terjadi aksi tembak menembak. Dua penjaga rumah Amir tewas seketika. Namun kesalahan besar dibuat pasukan penculik. Mereka membiarkan Amir bebas alias tak terjaga.

Naluri sebagai pejuang memaksa Amir bertindak cepat. Dia merampas senjata milik sopir dan memaksa sopir agar menjalankan truk menuju Istana Jogyakarta. Akhirnya, Amir selamat dari penculikan.

Di tengah suasana saling serang itu, sebuah mobil dan truk masuk Istana. Jendral Sudarsono, Sunaryo, dan Muhammad Saleh naik mobil. Sedangkan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, dan tokoh Persatuan Perjuangan naik truk tentara.

Kedatangan para tokoh Persatuan Perjuangan itu membuat Istana Jogjakarta mencekam. Apalagi, saat itu Jendral Sudarsono datang membawa senjata lengkap, dan di Istana telah bersiap tentara pendukung pemerintah.

Namun begitu, Presiden Soekarno bisa mengendalikan ketegangan. Dia mempersilakan Jendral Sudarsono masuk ke ruangannya tanpa membawa senjata. Saat ditanya Soekarno maksud kedatangannya, Sudarsono menjawab terus terang.

Dia mengatakan, diperintah Panglima Besar TRI Jendral Sudirman untuk menyerahkan empat lembar maklumat yang dikonsep Mohammad Yamin. Sementara Soekarno ditodong maklumat di dalam ruangannya, di luar istana situasi tampak tegang.

Sejumlah tokoh Persatuan Perjuangan mulai berdatangan. Demikian pula pejabat pemerintah, termasuk PM Sjahrir. Tak lama giliran KSU Jendral Urip Sumohardjo ikut datang.

Saat disodorkan maklumat itu, Presiden Soekarno meminta waktu untuk dibahas bersama pejabat yang sudah hadir di istana. Kesimpulan mereka sama, bahwa maklumat itu adalah sebuah kudeta terhadap pemerintah yang syah dan tak bisa dibiarkan.

Karena itu, selagi bukti ada di tangan, pelaku ada di depan mata, maka langkah praktis perlu diambil. Lagi pula, pelaku percobaan kudeta sudah tidak bersenjata lagi. Itu menguntungkan pemerintah.

Akhirnya, tanpa perlawanan Jendral Sudarsono dan rombongan, serta pasukan yang mengawal ditangkap. Dengan ditangkapnya Jenderal Sudarsono dan tokoh Persatuan Perjuangan, pada 3 Juli 1946 itu, maka berakhir pulalah kudeta itu.

Dalam sejarah, peristiwa maklumat Mohammad Yamin ini disebut-sebut sebagai kudeta atau perebutan kekuasaan yang pertama terjadi dalam sejarah lahirnya Republik Indonesia.

Terkait keterlibatan Tan Malaka selaku pimpinan Persatuan Perjuangan dalam kudeta lewat maklumat itu, Iwa Kusuma Sumantri menyatakan, "Naskah-naskah itu sekadar petisi yang ditulis Yamin sebagai sebagai pelaksana perintah Jendral Sudirman."

Dia juga mengatakan, bahwa hanya Yamin seorang diri lah yang menyusunnya maklumat itu. Hal ini tampak dari gaya bahasa khas Yamin. Begitupun dengan tokoh-tokoh dalam maklumat, ditunjuk sepihak oleh Mohammad Yamin.

Iwa menegaskan, Tan Malaka tidak mengetahui maklumat itu. Sebab saat itu Tan Malaka masih ditahan di Tawangmangu. Sedangkan dia sendiri tengah dalam perjalanan menuju tempat itu, kala pembuatan surat maklumat dilakukan.

Sedangkan dugaan keterlibatan Jenderal Sudirman dalam rencana kudeta itu, Sudirman membantah dengan membuat pidato yang haru. Dalam pidatonya itu, Sudirman tampak menangis haru, dan membela diri.

"Atas nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maka Pengasih. Sidang pendengar radio yang terhormat. Kawan-kawan seperjuangan dan anak-anaknya tentara sakilan. Merdeka!" demikian Sudirman membuka pidatonya.

Dilanjutkan, "Dikabarkan saya akan merebut kekuasaan pemerintah dan menempatkan diri di singasana sebagai kepala negara. Berhubung desas desus itu, saya katakan kepada khalayak ramai, bahwa saya tidak akan ke jurusan itu," jelasnya.

Ditambahkan dia, "Bahkan saya akan menolak apabila kursi itu disodorkan ke saya. Camkan hal ini dalam hati sanubari saudara masing-masing, supaya Saudara-saudara bebas dari fluistercampagne yang kini merajalela," sambungnya.

Ditegaskan Sudirman, bahwa tentara tidak akan ikut campur dalam lapangan politik. "Kami berdua, Paduka yang Mulia (PYM) Presiden Soekarno dan saya, Panglima Besar Sudirman masing-masing telah bersumpah," tambahnya.

Dengan segala kekuatan yang ada pada mereka berdua, Sudirman menegaskan, bahwa kekuatan itu hanya akan digunakan untuk mempertahankan kemerdekaan 100%. Ucapan Sudirman dibuktikan dengan dipilihnya jalur perang gerilya.

Perang gerilya dilakukan saat pemerintah lumpuh, karena Presiden Soekarno dan Wakilnya Mohammad Hatta ditawan Belanda. Demikian maklumat Mohammad Yamin telah membuat kegemparan dan mengancam keutuhan Republik Indonesia.

Untuk mengusut benar tidaknya rencana kudeta itu, pemerintah langsung melakukan tindakan tegas dengan menangkap 800 tokoh dan simpatisan Persatuan Perjuangan. Dari ratusan orang yang ditangkap, 14 tokoh di antaranya didakwa dan disidangkan.

Mereka yang disidangkan di anataranya adalah Jendral Sudarsono, Muhammad Yuamin, Mr Ahmad Subarjo, Iwa Kusuma Sumantri, R Sundoro Budyaarto Martoatmojo, Dr Buntaran Martoatmojo, Muhamad Ibnu Sayuti atau Sayuti Melik, dan Muhammad Saleh.

Dari hasil sidang diketahui, tidak semua pelaku berhasil dibawa ke meja hijau. Pandu Kartawiguna, Adam Malik, dan Chaerul Saleh, tidak tertangkap hingga tidak bisa diajukan ke persidangan.

Mohamad Yamin sebagai konseptor maklumat yang dianggap melakukan kudeta dalam sidangnya menolak semua tuduhan kudeta.
Yamin beralasan negara Indonesia adalah negara demokrasi dimana hak petisi diakui dalam konstitusi.

Karena itu, menurutnya maklumat itu harus dilihat sebagai petisi layaknya didengar dan dipertimbangkan. Bukan sebaliknya, pelaku dan pendukung petisi di penjarakan. Menurutnya, hal itu melanggar UUD 1945 Pasal 28 tentang Kebebasan Berserikat.

Tokoh kunci kedua yang terlibat langsung kudeta Jendral Sudarsono. Dalam sidangnya, dia mengakui, tindakan yang diambil berdasarkan perintah dari Jenderal Sudirman.

Namun, Jenderal Sudirman yang dihadirkan dalam sidang membantah semua kesaksian Sudarsono. Sudarsono jelas terpojok karena tidak bisa menunjukkan surat perintah atau bukti tertulis yang menunjukkan persetujuan atau perintah Sudirman.

Para terdakwa lain yang disidangkan mengatakan, mereka sama-sama berkeyakinan bahwa Sudirman terlibat Kudeta 3 Juli 1946. Kendati demikian, Sudirman tetap dinyatakan tidak bersalah.

Kesaksian Sudirman dan bagaimana perbantahan atasnya agaknya menjadi salah satu fokus persidangan 3 Juli 1946. Sewaktu testimoni Sudirman didengarkan, dia bersaksi tidak terlibat peristiwa 3 Juli 1946.

Iwa Kusuma Sumantri, tokoh Persatuan Perjuangan yang ikut disidang mengaku kecewa dengan kesaksian Jenderal Sudirman. Namun, Iwa paham dan mengerti, kedudukan Sudirman dilematis, terutama karena Sudirman Panglima tertinggi TRI.

"Bagaimanapun juga harus diakui, bahwa dalam segala sikap dan bicaranya, Jenderal Sudirman pada waktu itu sangat gigih dan bersemangat menentang penjajahan. Dia seorang panglima gagah berani dan percaya pada kekuatan tentaranya," katanya.

Ditambahkan, "Jelas pula dia tidak menyetujui tidakan Kebinet Sjahrir yang mengarah perundingan dengan Belanda. Sudirman setuju mempertahankan kemerdekaan sampai titik darah penghabisan," sambung Iwa.

Sejarah mencatat, posisi Sudirman diselamatkan. Hal ini sangat diperhitungkan oleh Pemerintah Soekarno-Hatta. Menurut mereka, mengganti Sudirman bisa mengakibatkan pembangkangan dan sangat merugikan pemerintah.

Dengan alasan itu, maka dosa Sudirman sebagai penentang pemerintah yang bersama Persatuan Perjuangan menolak politik diplomasi dan lembek Pemerintah Soekarno-Hatta, akhirnya diputihkan dan posisinya tetap dipertahankan.

Akhirnya, dari tujuh tokoh yang seret ke persidangan, Jendral Sudarsono dijatuhi penjara empat tahun penjara, Muhammad Yamin empat tahun, Ahmad Subarjo tiga tahun, Iwa Kusuma Sumantri tiga tahun, dan R Sundoro Budyarto Martoatmojo 3,6 tahun.

Sedangkan R Buntaran Martoatmojo divonis dua tahun, dan Muhammad Saleh 2,6 bulan. Dengan divonisnya para pemimpin Persatuan Perjuangan ini, maka berakhirlah oposisi terhadap Pemerintah Soekarno-Hatta.

Kebijakan politik diplomasi pemerintah yang dinilai lembek akhirnya dengan mulus dijalankan. Hasilnya, daya tawar pemerintah dimata dunia menjadi jauh menurun, dan kerugian sangat besar dialami pemerintah dan seluruh rakyat.

Bersambung...

Ulasan Sebelumnya
Saling Culik Tan Malaka dan Sutan Sjahrir
Tan Malaka Duri dalam Daging Perundingan Indonesia-Belanda

Baca Juga
Jalan Sunyi Sutan Sjahrir
Amir Syarifuddin dalam Bingkai Sejarah
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1172 seconds (0.1#10.140)