Berburu Wi-Fi di Warung Kopi
A
A
A
Warung kopi (warkop) trotoar Jalan Airlangga tidak berjualan pada suatu malam sekitar dua pekan lalu. Padahal, hasrat ingin menikmati minuman hitam pahit itu sudah tinggi.
Memang tidak ada yang istimewa di warkop trotoar. Kami hanya biasa menikmati kopi dengan alas vinyl bekas poster. Ngobrol bersama kawan membicarakan hal penting dan tidak penting. Juga tertawa terbahak-bahak tanpa khawatir ada orang lain yang terganggu.
Ya sudahlah, kami harus mencari tempat nongkrong yang lain. Setelah blusukan, kami berhenti di Warung Ijo, Jalan Mojo. Pengunjung yang datang tidak terlalu banyak, tetapi juga tidak sepi. Di tempat itu kami bertemu seorang kawan, Kholid namanya. Dia berasal dari Banyuwangi dan tinggal di tempat kos kawasan Jojoran. Segelas kopi dengan aroma khas yang nikmat telah tersaji. Kholid sepertinya juga baru datang karena kopinya masih penuh.
“Lumayan, sejam lalu,” kata Kholid menjawab pertanyaan pembuka kami. Dia hanya menoleh sebentar, kemudian kembali menatap gadget -nya. Dia sibuk sekali. Bahkan, ketika kami sindir bawah warung tempat cangkruk , dia cuek. “Mumpung Wi-Fi gratisan,” ucapnya. Ternyata karena sibuk berinternet ria itu, kopi Kholid masih penuh. Kopi dibiarkan menjadi dingin. Tidak dinikmati lezat pahit dan sensasi kafeinnya.
Minuman-minuman yang tersaji di meja menjadi tujuan kedua seseorang datang ke warung, karena tujuan utamanya (mungkin) mencari free Wi-Fi. Kami jadi canggung untuk mengajaknya ngobrol lagi. Mengisap rokok dalam-dalam dan melepas asanya ke langit-langit warkop. Asap itu membumbung di atas kepala pengunjung warkop. Di atas kepala orang-orang sibuk memanfaatkan koneksi internet gratis yang disediakan warkop.
Mereka sibuk, bukan untuk suatu pekerjaan, melainkan hanya untuk nge-game dan sibuk di media sosial. Memandang sekeliling, hanya beberapa orang yang masih saling bicara. Ngobrol tanpa peduli dengan gadget . Hanya segelintir, sebagian besar lainnya sibuk internetan. Ngobrol hanya menjadi selingan dari kegiatan utama internetan. Kami jadi mati gaya. Berada di antara orang-orang, tapi merasa sendiri.
Seperti lirik lagi Dewa, “Di dalam keramaian aku masih merasa sepi “, tapi tidak dalam konteks jatuh cinta. Fenomena semacam ini memang sedang menjamur di Surabaya, mungkin juga kota lain. Jika suatu warung ingin ramai dikunjungi, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah menyediakan layanan Wi-Fi . Namun, itu tidak mutlak. Buktinya, masih ada (meski tidak banyak) warung atau tempat nongkrong tanpa Wi-Fi , dan tetap banyak pelanggannya.
Salah satunya adalah Ramonez di Jalan Menur. Ramonez hanya kedai biasa, tanpa Wi-Fi . Di tempat itu kebiasaan para pelanggannya pun berbeda. Para pengunjung terlihat dalam obrolan hangat, tentang hal penting maupun tidak penting. Suasana pun memang lebih riuh. Suara-suara saling tindih dengan ledakan tawa renyah. Memang masih ada yang sibuk dengan gadget , tetapi sungguh sedikit.
Gepeng (mungkin biasa dianggap kepala pelayan) hampir akrab dengan seluruh pengunjungnya, termasuk kami. Jika tidak sedang sibuk, dia menghampiri pengunjung yang sedang sendirian. Ketika ditanya apa tidak ingin memasang Wi-Fi , dia hanya berkelakar menjawabnya. “Ga perlu Wi-Fi , begini saja sudah ramai. Warung kan panggon cangkruk hahaha ,” ujar pria asal Bojonegoro tersebut. Di warung tanpa Wi-Fi , pasti masih akan ada obrolan hangat.
Juga pasti ada satu eksemplar koran yang distaples per kopel. Koran itu pindah dari meja satu ke meja yang lain karena dibaca bergantian oleh para pengunjung. Warung yang sebenarnya warung, salah satu tempat interaksi sosial yang hangat.
Wi-Fi Mengambil Alih Kopi
Kehadiran Wi-Fi di suatu tempat berkumpulnya individu juga membentuk pola komunikasi baru, yaitu individu yang lebih memilih berinteraksi dengan gadget-gadget mereka. Gadget diartikan sebagai pengganti komunikan dalam menjalankan fungsi sosial, gadget seolah-olah menjadi manusia digital yang menenggelamkan individu ke interaksi virtual yang semu.
Kondisi ini telah diungkap Brook dan Boal dalam In Resisting the Virtual Life: The Cultural Politics of Information. “Teknologi virtual bersifat merusak tatkala hubungan simulakranya mengambil alih interaksi tatap muka”. Fenomena membeli kopi di warung, kedai, atau sejenisnya yang menyediakan free Wi-Fi , juga erat kaitan dengan pergeseran konsep status of object , sebagaimana diungkap Jean Baudrillard, yaitu hilangnya nilai fungsi kopi yang sebenarnya.
Kopi tidak lagi dibeli sebagai minuman penghilang kantuk belaka, tetapi ada nilai-nilai simbolik yang melekat dan harus dibayar mahal untuk mendapatkannya. Kemudian, Baudrillard memiliki konsep bernama simulakra. Simulakra yaitu duplikasi yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi kabur.
Dalam konteks, konsumerisme di mana tindakan membeli sebuah produk berdasarkan nilai fungsinya tertindih oleh fungsi-fungsi sosial lain. Mungkin suatu saat kita harus memesan segelas Wi-Fi pahit.
Zaki zubaidi
Memang tidak ada yang istimewa di warkop trotoar. Kami hanya biasa menikmati kopi dengan alas vinyl bekas poster. Ngobrol bersama kawan membicarakan hal penting dan tidak penting. Juga tertawa terbahak-bahak tanpa khawatir ada orang lain yang terganggu.
Ya sudahlah, kami harus mencari tempat nongkrong yang lain. Setelah blusukan, kami berhenti di Warung Ijo, Jalan Mojo. Pengunjung yang datang tidak terlalu banyak, tetapi juga tidak sepi. Di tempat itu kami bertemu seorang kawan, Kholid namanya. Dia berasal dari Banyuwangi dan tinggal di tempat kos kawasan Jojoran. Segelas kopi dengan aroma khas yang nikmat telah tersaji. Kholid sepertinya juga baru datang karena kopinya masih penuh.
“Lumayan, sejam lalu,” kata Kholid menjawab pertanyaan pembuka kami. Dia hanya menoleh sebentar, kemudian kembali menatap gadget -nya. Dia sibuk sekali. Bahkan, ketika kami sindir bawah warung tempat cangkruk , dia cuek. “Mumpung Wi-Fi gratisan,” ucapnya. Ternyata karena sibuk berinternet ria itu, kopi Kholid masih penuh. Kopi dibiarkan menjadi dingin. Tidak dinikmati lezat pahit dan sensasi kafeinnya.
Minuman-minuman yang tersaji di meja menjadi tujuan kedua seseorang datang ke warung, karena tujuan utamanya (mungkin) mencari free Wi-Fi. Kami jadi canggung untuk mengajaknya ngobrol lagi. Mengisap rokok dalam-dalam dan melepas asanya ke langit-langit warkop. Asap itu membumbung di atas kepala pengunjung warkop. Di atas kepala orang-orang sibuk memanfaatkan koneksi internet gratis yang disediakan warkop.
Mereka sibuk, bukan untuk suatu pekerjaan, melainkan hanya untuk nge-game dan sibuk di media sosial. Memandang sekeliling, hanya beberapa orang yang masih saling bicara. Ngobrol tanpa peduli dengan gadget . Hanya segelintir, sebagian besar lainnya sibuk internetan. Ngobrol hanya menjadi selingan dari kegiatan utama internetan. Kami jadi mati gaya. Berada di antara orang-orang, tapi merasa sendiri.
Seperti lirik lagi Dewa, “Di dalam keramaian aku masih merasa sepi “, tapi tidak dalam konteks jatuh cinta. Fenomena semacam ini memang sedang menjamur di Surabaya, mungkin juga kota lain. Jika suatu warung ingin ramai dikunjungi, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah menyediakan layanan Wi-Fi . Namun, itu tidak mutlak. Buktinya, masih ada (meski tidak banyak) warung atau tempat nongkrong tanpa Wi-Fi , dan tetap banyak pelanggannya.
Salah satunya adalah Ramonez di Jalan Menur. Ramonez hanya kedai biasa, tanpa Wi-Fi . Di tempat itu kebiasaan para pelanggannya pun berbeda. Para pengunjung terlihat dalam obrolan hangat, tentang hal penting maupun tidak penting. Suasana pun memang lebih riuh. Suara-suara saling tindih dengan ledakan tawa renyah. Memang masih ada yang sibuk dengan gadget , tetapi sungguh sedikit.
Gepeng (mungkin biasa dianggap kepala pelayan) hampir akrab dengan seluruh pengunjungnya, termasuk kami. Jika tidak sedang sibuk, dia menghampiri pengunjung yang sedang sendirian. Ketika ditanya apa tidak ingin memasang Wi-Fi , dia hanya berkelakar menjawabnya. “Ga perlu Wi-Fi , begini saja sudah ramai. Warung kan panggon cangkruk hahaha ,” ujar pria asal Bojonegoro tersebut. Di warung tanpa Wi-Fi , pasti masih akan ada obrolan hangat.
Juga pasti ada satu eksemplar koran yang distaples per kopel. Koran itu pindah dari meja satu ke meja yang lain karena dibaca bergantian oleh para pengunjung. Warung yang sebenarnya warung, salah satu tempat interaksi sosial yang hangat.
Wi-Fi Mengambil Alih Kopi
Kehadiran Wi-Fi di suatu tempat berkumpulnya individu juga membentuk pola komunikasi baru, yaitu individu yang lebih memilih berinteraksi dengan gadget-gadget mereka. Gadget diartikan sebagai pengganti komunikan dalam menjalankan fungsi sosial, gadget seolah-olah menjadi manusia digital yang menenggelamkan individu ke interaksi virtual yang semu.
Kondisi ini telah diungkap Brook dan Boal dalam In Resisting the Virtual Life: The Cultural Politics of Information. “Teknologi virtual bersifat merusak tatkala hubungan simulakranya mengambil alih interaksi tatap muka”. Fenomena membeli kopi di warung, kedai, atau sejenisnya yang menyediakan free Wi-Fi , juga erat kaitan dengan pergeseran konsep status of object , sebagaimana diungkap Jean Baudrillard, yaitu hilangnya nilai fungsi kopi yang sebenarnya.
Kopi tidak lagi dibeli sebagai minuman penghilang kantuk belaka, tetapi ada nilai-nilai simbolik yang melekat dan harus dibayar mahal untuk mendapatkannya. Kemudian, Baudrillard memiliki konsep bernama simulakra. Simulakra yaitu duplikasi yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi kabur.
Dalam konteks, konsumerisme di mana tindakan membeli sebuah produk berdasarkan nilai fungsinya tertindih oleh fungsi-fungsi sosial lain. Mungkin suatu saat kita harus memesan segelas Wi-Fi pahit.
Zaki zubaidi
(ars)