Gajah Mada Klaim Majapahit Pewaris Kerajaan-kerajaan Besar di Nusantara (Bagian-3)

Minggu, 13 September 2015 - 05:00 WIB
Gajah Mada Klaim Majapahit Pewaris Kerajaan-kerajaan Besar di Nusantara (Bagian-3)
Gajah Mada Klaim Majapahit Pewaris Kerajaan-kerajaan Besar di Nusantara (Bagian-3)
A A A
Karena Raja Jayanegara tidak punya keturunan saat wafat, maka kepemimpinan Majapahit diserahkan kepada Gayatri Rajapatni, istri Raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit. Gayatri adalah putri Raja Kartanegara dari Singosari.

Tapi, karena Gayatri memilih menjadi biksuni, bertapa di pertapaan Dyah Gayatri di Pegunungan Wajak Selatan daerah Tulungangung. Maka, ditunjuklah Tribuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani yang merupakan adik tiri raja Jayanegara yang tewas.

Karena masih lajang, Gajah Mada diperintahkan untuk membuat sayembara mencari jodoh seorang jejaka bagi Ratu Tribuwanatunggadewi.

Menurut Pararaton pemenangnya sayembara adalah Cakradhara yang bergelar Sri Kertawardhana berjuluk Bre Tumapel.

Dari perkawinan itu, Tribuwanatungadewi dikaruniai tiga anak. Sri Hayam Wuruk Raden Tetep, Rajasaduhiteswari dan Bhre Panjang.

Pada 1331 terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Patih Amangkubumi saat itu dijabat Arya Tadah. Patih Arya Tadah yang sedang sakit menghadap raja, mohon mundur dari jabatannya. Tapi, Ratu menolaknya.

Arya Tadah lalu memanggil Gajah Mada yang saat itu sudah menjadi Patih Daha (Kediri) untuk menggantikan dirinya sebagai Amangkubumi.

Namun Gajah Mada menolaknya. "Saya masih segan menjadi patih sekarang. Kalau sudah kembali dari Sadeng saya mau menjadi patih, jika saya diberi maaf karena mendapat kekeliruan nanti, saya mau menerima jabatan itu, " ujar Gajah Mada.

Arya Tadah tak keberatan dan berjanji membantu Gajah Mada jika menemui kesulitan. Mereka berdua menghadap ratu Tribhuwana. Tak lama kemudian Gajah Mada dan pasukannya bersiap berangkat ke Sadeng.

Tapi, seorang petinggi Majapahit bernama Ra Kembar juga mengincar jabatan Amangkubumi Arya Tadah. Maka, Ra Kembar membawa pasukan Majapahit ke Sadeng mendahului Gajah Mada.

Mengetahui itu, Gajah Mada dan Arya Tadah mengirim utusan seorang mantri dan 30 pengawalnya menemui Ra Kembar agar membatalkan niatnya. Namun utusan Gajah Mada dicambuk dan disuruh kembali.

Meski marah, Gajah Mada masih mampu memendamnya karena ada masalah lebih besar yang harus diselesaikan. Gajah Mada segera memerintahkan pasukan Majapahit segera ke Sadeng.

Pemimpin Sadeng bernama Tuhan Waruyu dan Pangeran Pamelekehen mempunyai cemeti sakti hingga pasukan Majapahit enggan menghadapinya.

Akhirnya, Ratu Tribhuwanatunggadewi turun gelanggang menumpas pemberontakan. Berhasil, tapi itu dicatat atas nama Ratu Tribhuwanatunggadewi. Bukan atas kerja Gajah Mada, Arya Tadah maupun Ra Kembar.

Tak lama Gajah Mada diangkat Amangkubumi menggantikan Arya Tadah. Sedangkan Ra Kembar diangkat menjadi koordinator kekuatan bersenjata pemukul musuh.

Setelah menjadi patih atau Amangkubumi Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpah yang amat terkenal yakni, Sumpah Palapa di Balairung Istana Majapahit di hadapan pembesar Majapahit.

Mengenai Amukti Palapa, Mohamad Yamin dalam bukunya Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara menjelaskan sebagai berikut; Sumpah itu bernama Sumpah Palapa, yang bermaksud bahwa Gajah Mada berpantang bersenang-senang memikirkan diri sendiri dan akan berpuasa selama cita-cita negara belum sampai.

Di muka para menteri dan di tengah-tengah paseban, Gajah Mada mengucapkan janji, "Saya baru akan berhenti berpuasa makan buah Palapa jikalau seluruh Nusantara takluk di bawah kekuasaan negara (Majapahit)," (Yamin; 1977;51).

Menurut ucapan Gajah Mada dalam Pararaton terdapat 10 wilayah yang dianggap mewakili Nusantara dan harus mengakui kejayaan Majapahit. Yaitu, Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik.

Gurun yang dimaksud adalah Pulau Lombok sekitarnya. Seram adalah kerajaan di wilayah kepala Burung, Papua, sedangkan Tanjung Pura wilayah Kalimantan.

Haru masuk wilayah Pantai Timur Sumatera, Pahang masuk wilayah semanjung Melayu yang kini masuk Malaysia. Dompu masuk Sumbawa, dan Sunda di Jabar, Palembang di Sumsel dan Tumasik kini masuk Singapura.

Semua wilayah itu menurut obsesi Gajah Mada harus tunduk dan dibawah panji kekuasaan Majapahit. Gajah Mada tidak asal bidik 10 wilayah tadi yang harus masuk dalam kekuasaan Majapahit.

Sebab, ke 10 wilayah itu dulunya bekas kerajaan besar yang mempunyai sejarah lebih tua dari Kerajaan Majapahit sendiri.

Di Pulau Bali misalnya, dulu pernah berdiri Kerajaan Balidwipamandala milik dinasti Warmadewa (abad 8-10). Di Sunda pernah berdiri kerajaan tertua di Pulau Jawa yakni, Tarumanegara (abad 4 sampai 6).

Menyusul Tanjung Pura di Kalimantan dengan Kerajaan Kutai dengan rajanya Mulawarman (abad 4-5). Di Palembang pernah berdiri Kerajaan Sriwijaya yang berkembang abad 7 sampai 12.

Gajah Mada seakan-akan hendak mencari tuah kekuatan sakti dari kerajaan–kerajaan yang mendahului Majapahit. Gajah Mada sepertinya hendak meneguhkan Majapahit sebagai pewaris dari kerajaan-kerajaan terdahulu (tua) di Nusantara.

Sedangkan Pahang dan Tumasik harus dibawah panji Majapahit karena wilayah strategis untuk perhubungan laut untuk ke Asia sekaligus untuk menetralisir kekuatan China yang saat itu hendak ekspansi ke Asia Tenggara.

Haru di Sumatera bagian utara memudahkan Majapahit berhubungan dengan negara India atau Jambhudwipa. Ada pun Dompo dikenal penghasil kayu cendana bermutu tinggi.

Begitu juga Seram daerah kepala burung Papua atau sekitar Maluku merupakan daerah penghasil rempah yang bernilai ekonoimis tinggi karena dibutuhkan masyarakat Eropa.

Jadi, Gajah mengucapkan Sumpah Palapa tidak asal bicara tapi, berdasarkan pengkajian mendalam agar Kerajaan Majapahit menguasai sepuluh wilayah penting tadi di bawah panji Nusantara.

Ironisnya, Sumpah Palapa yang digelorakan Gajah Mada yang ingin menyatukan wilayah Nusantara dibawah panji Majapahit justru mendapat tentangan hebat di kalangan pembesar Kerajaan Majapahit sendiri.

Mantan patih Arya Tadah yang semula mendukung Gajah Mada menggantikan dirinya sebagai Amangkubumi tak mempercayai sumpah Gajah Mada dan memperoloknya.

Begitu juga Jabung Terewes, Lembu Peteng dan Ra Kembar dan Warak menertawakannya. Maka, keluarlah Gajah Mada ke halaman Istana dan menantang Ra Kembar yang terlalu congkak. Maka, perang tanding terjadi lalu Ra Kembar berhasil dibunuhnya. Begitu juga Warak dalam perkelahian dibunuhnya.

Selain itu juga Lembu Peteng dan Jabung Terewes. Semua berhasil dikalahkannya. Dengan demikian melalui sumpahnya Gajah Mada berhasil membuka jalan untuk mempersatukan Nusantara.

Lalu pada tahun 1343, tentara Majapahit dipimpin Gajah Mada dan Mpu Aditya (Adityawarman) seorang kerabat Tribhuawanatunggadewi berdarah Melayu mampu menundukan Bali walau tidak diperintah secara langsung.

Pada jaman Majapahit dibawa Raja Hayam Wuruk, Majapahit sekali lagi menyerang dan menundukkan Pulau Dewata. Berturut-turut Dompu, Sumbawa juga ditaklukan tentara Majapahit.

Berangsur-angsur Gajah Mada berhasil memimpikan ambisinya menyatukan Nusantara dibawah panji Majapahit.

Kelak sebelum dan setelah proklamasi, ada pertentangan pandangan antara Bung Karno dan Bung Hatta terkait wilayah teritorial Indonesia.

Bung Karno memasukan wilayah seluruh Indonesia seperti sekarang ini ditambah Singapura, Malaysia termasuk seluruh Kalimantan seperti diklaim dalam wilayah Majapahit impian Gajah Mada.

Sebaliknya, Mohamad Hatta lebih realistis bahwa wilayah teritorial Indonesia ya bekas jajahan Hindia Belanda seperti yang sekarang bernama Republik Indonesia.

Bagaimana akhir kiprah Gajah Mada sebagai Mahapatih Majapahit dalam mempersatukan nusantara, tunggu kisahnya dalam cerita pagi besok dengan judul Termakan Ambisi dalam Perang Bubat.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5828 seconds (0.1#10.140)