Kisah Gajah Mada, Tokoh Kontroversi Pemersatu Nusantara (Bagian-1)

Jum'at, 11 September 2015 - 05:00 WIB
Kisah Gajah Mada, Tokoh Kontroversi Pemersatu Nusantara (Bagian-1)
Kisah Gajah Mada, Tokoh Kontroversi Pemersatu Nusantara (Bagian-1)
A A A
Hingga saat ini tidak ada sumber yang memastikan siapa sebenarnya Gajah Mada, tokoh pemersatu Nusantara yang terkenal dengan Sumpah Palapa saat menjadi mahapatih Kerajaan Majapahit. Anak siapa, lahir dimana dan bagaimana meninggalnya. Semua masih serba misterius.

Namun, menurut Muhammad Yamin, dalam bukunya Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara (1977) bahwa Gajah Mada lahir di Bali.

Itu sesuai pernyataan naskah Usanah Jawa yang digubah di Bali bahwa Gajah Mada dilahirkan di Pulau Bali. Lalu ketika remaja merantau ke Jawa dan mengabdi di Kerajaan Mahapahit.

Bahkan konon dalam suatu cerita dikatakan Gajah Mada lahir dengan cara memancar dari buah kelapa sebagai penjelmaan Sang Hyang Narayana (Visnu). Jadi, Gajah Mada lahir tanpa ayah ibu alias lahir karena kehendak dewa-dewi.

Tapi, dalam karya sastra Bali berjudul Babad Gajah Mada diceritakan, alkisah seorang pendeta muda bernama Mpu Sura Dharma Yogi seorang murid dari Mpu Raga Gunting berjuluk Mpu Sura Dharma Wiyasa.

Mereka menetap di pertapaan Lembah Tulis, di wilayah selatan Majapahit. Mpu Sura Dharma Yogi bersama istrinya Patni Nari Ratih.

Sura Dharna Yogi saat itu sedang membuat huma (ladang) di lembah gunung selatan Lembah Tulis. Hanya sesekali istrinya Nari Ratih menengok suaminya yang baru membuka huma.

Dikisahkan tiba-tiba Dewa Brahma jatuh cinta kepada Nari Ratih yang dikarunia wajah cantik rupawan. Maka suatu ketika Nari Ratih diperkosa Dewa Brahma di gubuk ladang yang sepi.

Saat itu suaminya Sura Dharma Yogi sedang mengambil air di mata air yang cukup jauh dari huma. Kesempatan itu digunakan Dewa Brahma memperkosa Nari Ratih.

Setelah itu, Nari Ratih menceritakan musibah yang dialaminya. Lalu pasutri tersebut memutuskan meninggalkan huma dan mengembara berbulan-bulan lamanya menelusuri hutan belantara.

Ketika bayi yang dikandung Nari Ratih saatnya melahirkan mereka tiba di Desa Mada yang terletak di kaki Gunung Semeru.

Tak lama lahirnya sang jabang bayi Gajah Mada diiringi peristiwa alami sebagai tanda-tanda kebesaran seorang calon tokoh besar.

Bayi diasuh Kepala Desa Mada. Sedangkan orangtua Gajah Mada memilih bertapa di puncak Gunung Plambang guna memohon keselamatan dan kejayaan si bayi. Rupanya dewata mengabulkan dengan mengatakan, kelak si bayi akan menjadi orang besar dan dikenal di Nusantara.

Singkat cerita datanglah salah seorang Mahapatih Majapahit ke Desa Mada dan mengajak pemuda Gajah Mada bergabung ke Majapahit untuk mengabdi kepada raja.

Mahapatih tadi lalu menikahkan dengan putrinya Ken Bebed dan menyokong Gajah Mada untuk menggantikan dirinya sebagai mahapatih.

Kelak dengan kedudukannya sebagai Amangkubumi Majapahit, Gajah Mada berhasil mengembangkan kekuasaan Majapahit. Banyak rakyat di luar Jawa mengaku tunduk dengan Majapahit.

Versi lain dalam buku Gajah Mada Biografi Politik yang ditulis Agus Aris Munandar yang mengutip kitab Pararaton menuturkan, Gajah Mada adalah anak seorang tokoh pengikut Raden Wijaya yang kelak melakukan babat alas tanah tarik sebagai cikal bakal Kerajaan Majapahit.

Pengikut setia Raden Wijaya antara lain, Lembusora, Nambi, Ranggalawe, Gajah Pagon, Pedang Dangdi dan lainnya. Dalam kitab Babad Arung Bondan dinyatakan bahwa Gajah Mada adalah anak Gajah Pagon.

Hal itu dikuatkan juga dalam kitab Pararaton. Dikisahkan, dalam pertempuran melawan pengikut raja Jayakatwang dari Kediri, Gajah Pagon terkena tombak di pahanya.

Meski luka parah, Gajah Pagon masih mampu memberi perlawanan kepada pengikut Jayakatwang yang mengejar rombongan Raden Wijaya.

Mereka akhirnya berhasil menahan serangan pengikut Jayakatwang. Saat itu mereka memasuki hutan Talaga Pagar.

Di hutan itu Raden Wijaya dan rombongan memutuskan mengungsi ke Madura untuk minta pertolongan kepada Raja Madura Arya Wiraraja. Sesampai di Desa Pandakan (Pandaan) rombongan diterima kepala desa bernama Macan Kuping.

Raden Wijaya disuguhi buah kelapa, setelah dibuka ternyata berisi nasi putih. Peristiwa bersifat supranatural itu menujukkan kekuatan kodrati berpihak ke Raden Wijaya.

Sebab, nasi putih yang dimakan Raden Wijaya simbol Dewi Sri, dewi penjaga kesejahteraan, keamanan dan kebahagian dunia. Kelak Raden Wijaya berhasil membangun Kerajaan Majapahit serta mengembalikan keadaan kacau menjadi sejahtera.

Sebelum ke Madura, Raden Wijaya terpaksa meninggalkan Gajah Pagon yang terluka dan menitipkan kepada Kepala Desa Pandakan Macan Kuping.

Setelah sembuh, Gajah Pagon menikahi putri Macan Kuping yang kelak melahirkan Gajah Mada. Oleh ayahandanya Gajah Pagon, Gajah Mada mendapat beragam ilmu kewiraan.

Seiring keberhasilan Raden Wijaya yang berhasil membangun Kerajaan Majapahit dengan membuka hutan Tarik, maka banyak sahabat dan orang dekat Raden Wijaya yang turut menemami berjuang mendapat posisi penting penting di kerajaan. Sedangkan Gajah Pagon menjadi Kepala Desa Pandakan.

Dikisahkan, dalam era masa Majapahit antara abad 14 sampai 15 berkembang pusat pendidikan dan keagamaan yang dinamakan mandala, karsyan dan kedewaguruan. Lokasinya biasanya di tempat terpencil, jauh dari keramaian.

Di tenggara Trowulan, situs ibukota Majapahit terdapat gugusan Pegunungan Welirang, Arjuna, Penanggungan dan Anjasmoro.

Di sekitarnya banyak peninggalan bangunan suci Hindu berupa punden berundak, pe-thir-taan, goa pertapaan, dan altar persajian Gunung Penanggungan yang nama lamanya adalah Pawitra. Lokasi Pawitra yang terpencil dan diapit empat gunung dikenal merupakan tempat pendidikan keagamaan Majapahit.

Dalam Hinduisme, tahapan seseorang yang berguru dan menuntut ilmu dengan cara tinggal bersama para brahmana dikenal bramacarin.

Dalam usia 10 sampai 12 tahun seorang anak biasanya dititipakan orangtunya kepada kaum bramana untuk berguru selama 12 tahun lamanya.

Demikian juga Gajah Mada oleh ayahnya Gajah Pagon dititipkan ke karsyan di Gunung Pawitra. Di sini Gajah Mada muda mendapat gemblengan beragam ilmu pengetahuan.

Mulai ilmu kegamaman, yoga, mitologi dewa. Juga ilmu duniawi seperti ilmu pemerintahan, hukum, politik kerajaan, strategi perang dan geografis Nusantara. Gajah Mada mendapat tepaan mental dan fisik yang mumpuni di karsyan pawitra.

Setelah lulus Gajah Mada disarankan ayahnya Gajah Pagon mengabdi ke Kerajaan Majapahit yang saat itu dijabat Jayanegara (1309-1329) anak dari Jayawardhana (Raden Wijaya).

Tanpa kesulitan berarti, Gajah Mada muda diterima menjadi pasukan pengawal raja atau disebut Bhayangkara.

Dari pasukan Bhayangkara, sikap kepemimpinan Gajah Mada mulai menonjol. Gajah Mada dan pasukannya mendapat peran yang penting dalam menaklukan daerah–daerah yang memberontak.

Ingin tahu kelanjutan kisah Gajah Mada, baca Cerita Pagi besok dengan judul Goda Istri Orang, Raja Jayanegara Dibunuh Tabib.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.2440 seconds (0.1#10.140)