Ketika H. Muthahar Menyelamatkan Bendera Pusaka

Minggu, 16 Agustus 2015 - 05:00 WIB
Ketika H. Muthahar Menyelamatkan...
Ketika H. Muthahar Menyelamatkan Bendera Pusaka
A A A
Menyelamatkan “keberadaan” bendera Sang Saka Merah Putih dari ancaman penjajahan Belanda bukan pekerjaan mudah. Nyawa pun menjadi taruhannya.

Sayyidil Habib Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad Al-Muthahar atau yang dikenal H. Muthahar adalah orang yang menyelamatkan simbol negara tersebut. Dialah sang penyelamat bendera pusaka Sang Saka Merah Putih dari tangan penjajah.

Tanpa jasanya, bangsa Indonesia sekarang mungkin sudah tidak dapat melihat lagi bendera pusaka yang dijahit oleh istri Presiden Soekarno, Ibu Fatmawati.

Saat itu, Presiden Soekarno menugaskan H. Muthahar yang saat itu berpangkat Mayor untuk menjaga dan menyelamatkan bendera pusaka dari tangan penjajahan Belanda, meski harus dengan mengorbankan nyawanya. Amanah menjaga bendera pusaka dengan nyawa ini pun berhasil dilaksanakan H. Muthahar dengan penuh perjuangan.

KH Achmad Chalwani Nawawi, pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan, Gebang, Purworejo, Jawa Tengah, yang juga Mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menuturkan bahwa H. Muthahar yang menyelamatkan bendera pusaka itu merupakan paman dari Habib Umar Muthohar, Semarang.

Bagaimana kisah H. Muthahar dalam menyelamatkan bendera pusaka? Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih adalah sebutan bagi bendera Indonesia yang pertama. Bendera Pusaka dibuat dan dijahit oleh Ibu Fatmawati, istri Presiden Republik Indonesia pertama, Ir. Soekarno.

Bendera pusaka untuk pertama kali berkibar pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur, Nomor 56, Jakarta Pusat, setelah Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Bendera dinaikkan pada tiang bambu oleh Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang dipimpin oleh Kapten Latief Hendraningrat. Setelah dinaikkan, lagu “Indonesia Raya” kemudian dinyanyikan secara bersama-sama. Pada tahun pertama Revolusi Nasional Indonesia, Bendera Pusaka dikibarkan siang dan malam.

Pada 4 Januari 1946, karena aksi teror yang dilakukan Belanda semakin meningkat, presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dengan menggunakan kereta api meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta. Bendera pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno. Selanjutnya, ibukota dipindahkan ke Yogyakarta.

Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya yang kedua yang membuat presiden, wakil presiden, dan beberapa pejabat tinggi Indonesia akhirnya ditawan Belanda.

Di saat-saat genting dimana Istana Presiden Gedung Agung, Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Presiden Soekarno sempat memanggil salah satu ajudannya berpangkat Mayor yang bernama Sayyidil Habib Muhammad Husein Muthahar (H. Mutahar), yang kemudian ditugaskan untuk menyelamatkan bendera pusaka.

Penyelamatan bendera pusaka ini merupakan salah satu bagian “heroik” dari sejarah tetap berkibarnya Sang Saka Merah Putih di persada bumi Indonesia. Saat itu, Soekarno berucap kepada H. Muthahar:

“Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya.”

Di saat bom-bom berjatuhan dan tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota, H. Muthahar terdiam dan memejamkan matanya, berpikir dan berdoa. Amanah ini dirasakannya sebagai tanggungjawabnya yang sungguh berat.

Setelah berpikir, H. Muthahar pun menemukan solusi pemecahan masalahnya. Dia membagi bendera pusaka menjadi dua bagian dengan mencabut benang jahitan yang menyatukan kedua bagian merah dan putih bendera itu.

Dengan bantuan Ibu Perna Dinata, kedua carik kain merah dan putih itu berhasil dipisahkan. Oleh H. Muthahar, kain merah dan putih itu lalu diselipkan di dasar dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Dia hanya bisa pasrah, dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Yang ada di otak H. Muthahar saat itu hanyalah satu, yakni bagaimana agar pihak Belanda tidak mengenali bendera merah-putih itu sebagai bendera, tapi hanya kain biasa, sehingga tidak melakukan penyitaan.

Di mata seluruh bangsa Indonesia, bendera itu adalah sebuah “prasasti” yang mesti diselamatkan dan tidak boleh hilang dari jejak sejarah. Benar, tak lama kemudian Presiden Soekarno ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Prapat (kota kecil di pinggir danau Toba) sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka.

Sedangkan Wakil Presiden Mohammad Hatta langsung dibawa ke Bangka. H. Muthahar dan beberapa staf kepresidenan juga akhirnya tertangkap dan diangkut dengan pesawat Dakota. Mereka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Pada saat menjadi tahanan kota, H. Muthahar berhasil melarikan diri dengan naik kapal laut menuju Jakarta.

Di Jakarta, ia menginap di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang sebelumnya tidak ikut mengungsi ke Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, dia indekost di Jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah Bapak R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala Kepolisian RI yang pertama).

Selama di Jakarta, ia selalu mencari informasi dan cara, bagaimana bisa segera menyerahkan bendera pusaka kepada presiden Soekarno. Pada suatu pagi sekitar pertengahan bulan Juni 1948, akhirnya ia menerima pemberitahuan dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) Jakarta.

Pemberitahuan itu menyebutkan bahwa ada surat dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepadanya. Sore harinya, surat itu diambil oleh H. Muthahar dan ternyata memang benar berasal dari Soekarno pribadi. Isinya sebuah perintah agar ia segera menyerahkan kembali bendera pusaka yang dibawanya dari Yogya kepada Sudjono, agar dapat dibawa ke Bangka.

Soekarno sengaja tidak memerintahkan H. Muthahar sendiri datang ke Bangka dan menyerahkan bendera pusaka itu langsung kepadanya. Dengan cara yang taktis, ia menggunakan Soedjono sebagai perantara untuk menjaga kerahasiaan perjalanan bendera pusaka dari Jakarta ke Bangka.

Ini tidak lain, karena dalam pengasingan, Soekarno hanya boleh dikunjungi oleh anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Na­tions Committee for Indonesia). Sudjono adalah salah satu anggota delegasi itu, sedangkan H. Muthahar bukan.

Setelah mengetahui tanggal keberangkatan Soedjono ke Bangka, H. Muthahar berupaya menyatukan kembali kedua helai kain merah dan putih dengan meminjam mesin jahit tangan milik seorang istri dokter yang ia sendiri lupa namanya.

Bendera pusaka yang tadinya terpisah dijahitnya persis mengikuti lubang bekas jahitan tangan Ibu Fatmawati. Tetapi sayang, meski dilakukan dengan hati-hati, tak urung terjadi juga kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujungnya.

Dengan dibungkus kertas koran agar tidak mencurigakan, selanjutnya bendera pusaka diberikan H. Muthahar kepada Soedjono untuk diserahkan sendiri kepada Presiden Soekarno.

Hal ini sesuai dengan perjanjian Soekarno dengan H. Muthahar sewaktu di Yogyakarta. Dengan diserahkannya bendera pusaka kepada orang yang diperintahkan Soekarno, maka selesailah tugas penyelamatan yang diamanahkan kepada H. Muthahar.

Bagi seorang komponis, setiap inspirasi tidak boleh dibiarkan lewat begitu saja. Dia pun cepat-cepat meminta bantuan Pak Hoegeng Imam Santoso (Kapolri pada 1968 –1971). Saat itu Pak Hoegeng belum menjadi Kapolri. Dia menyuruh Pak Hoegeng untuk mengambilkan kertas dan pulpen.

Berkat bantuan Pak Hoegeng, akhirnya jadilah sebuah lagu yang kemudian diberi judul “Hari Merdeka”. Sebuah lagu yang sangat fenomenal dan sangat terkenal yang banyak dinyanyikan oleh bangsa Indonesia, bahkan anak-anak pun sangat hafal dan pandai menyanyikannya.

Selain “Hari Merdeka”, lagu berikut juga menjadi karya fenomenal beliau. Judulnya “Syukur”. Lagu ini tercipta setelah menyaksikan banyak warga Semarang, kota kelahirannya, bisa bertahan hidup dengan hanya memakan bekicot. Masih banyak lagi karya fenomenal beliau yang lainnya.

H. Muthahar meninggal dunia di Jakarta pada usia hampir 88 tahun, pada 9 Juni 2004 akibat sakit tua. Semestinya beliau berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata dengan upacara kenegaraan sebagaimana penghargaan yang lazim diberikan kepada para pahlawan.

Tetapi, beliau tidak menginginkan itu. Sesuai dengan wasiat beliau, pada 9 Juni 2004 beliau dimakamkan sebagai rakyat biasa di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut Jakarta Selatan dengan tata cara Islam.

Sumber:

http://www.elhooda.net
(Diolah dari berbagai sumber)
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0842 seconds (0.1#10.140)