Menanti Metamorfosis Dolly
A
A
A
LOKALISASI Dolly resmi ditutup Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, 18 Juni 2014 lalu. Penutupan ini sempat memantik reaksi dari pekerja seks komersial (PSK), mucikari, dan warga setempat yang tergabung dalam Front Pembela Lokalisasi (FPL). Mereka menolak penutupan tanpa adanya solusi karena tempat tersebut menjadi tumpuan hidup.
Pemkot pun tidak mundur atas desakan penutupan lokalisasi yang berada di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan itu. Pada 27 Juli 2014, pemkot lalu memasang plakat bebas di depan Kelurahan Putat Jaya dan Girilaya.
Pemasangan itu pun memancing emosi warga yang menolak penutupan hingga terjadi bentrok dengan aparat keamanan. Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, terjun langsung ke lokasi. Tapi sayang, karena alasan keamanan, Risma, panggilan Tri Rismaharini, tidak diperbolehkan mendekati area Jalan Jarak yang dikuasai massa. Untuk antisipasi keamanan, polrestabes menerjunkan 400 personel ditambah satu satuan setingkat kompi dari Polda Jatim.
Polisi menindak massa perusak plakat dan dijerat dengan Pasal 170 atau 406 KUHP. Ancaman itu juga tercantum di dalam plakat. ”Plakat itu dipasang di jalan umum, bukan jalan pribadi. Jadi, tidak ada alasan warga menolak. Apa pun risikonya, kami akan tetap pasang papan pengumuman bebas prostitusi itu,” ungkap Risma. Situasi makin memanas hingga kembali terjadi bentrok antarmassa dan aparat keamanan. Dalam peristiwa ini, polisi berhasil menangkap 24 orang.
Setelah disaring dan diperiksa, jumlah tersangka mengerucut menjadi sembilan orang. Mereka di antaranya Sungkono Ari Saputro alias Pokemon, Subekiyanto, Dwi Indarto, Kusnadi, Supari, Jaring Sari, Pardi, Mausul Hadi, dan Darmanto. Pokemon oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dijatuhi hukuman satu tahun penjara karena terbukti mengoordinasi massa untuk melawan petugas kepolisian. Setelah satu tahun berlalu, Dolly berubah drastis.
Wajah yang dulunya hingar-bingar, terutama pada malam hari, kini berubah masam. Tidak ada lagi musik menghentak yang tiap malam menemani pengunjung mencari cinta semalam. Tidak ada lagi tukang parkir menawarkan pengendara tempat mengistirahatkan kendaraannya. Lalu, tidak ada lagi mucikari yang bersahut-sahutan menjajakan ”barang jualan” mereka pada para petualang dunia malam. Kini, yang tampak dari Dolly bukan lagi para wajah perempuan berpakaian seksi menggoda, semua hilang tanpa bekas.
Kini yang terlihat dari bekas kawasan prostitusi terbesar di Indonesia hanya aktivitas warga pada umumnya. Wismawisma yang dulunya menjadi tempat menenggak bir dan sembari ditemani wanita cantik, berubah menjadi tempat usaha lain. Misalnya berjualan pulsa elektronik ataupun bengkel.
Tidak jarang wisma-wisma tersebut dijual. Sebagian dari wismawisma yang dijual itu dibeli pemkot. Wisma Barbara, wisma favorit di gang Dolly, juga dijual dan telah dibeli pemkot seharga Rp5 miliar pada tahun lalu. Tahun ini, Pemkot mengalokasikan anggaran Rp2 miliar untuk pembelian wisma eks lokalisasi. Dana tersebut tidak hanya diperuntukkan untuk wisma di Dolly, tapi juga di sejumlah eks lokalisasi lainnya, seperti Dupak Bangunsari, Sememi, Klakah Rejo, dan Tambak Asri. Anggaran tersebut tidak bersifat multiyears .
Pembelian wisma mengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP). ”Meski tahun ini proses pembebasan wisma belum selesai, kami lanjutkan tahun depan. Dananya tetap menggunakan yang dianggarkan pada tahun ini. Kalau nanti harganya lebih mahal karena tahunnya bertambah, saya kira tidak juga,” kata Kepala Dinas Pengelolaan Tanah dan Bangunan (DPTB) Kota Surabaya, Maria Theresia.
Mantan kepala bagian (kabag) hukum Pemkot Surabaya ini mengungkapkan, sejak ditutup pada Juni tahun lalu hingga sekarang, sudah ada lima wisma di Dolly yang dijual ke Pemkot. Salah satu dari bangunan itu adalah Wisma Barbara. Tahun ini ada 5-10 wisma yang oleh warga setempat ditawarkan ke pemkot. Saat ini masih diproses. Dalam pembelian wisma, pemkot tidak proaktif menyampaikan tawaran ke warga. Sebaliknya, warga yang menawarkan wismanya ke pemkot.
”Kalau untuk bangunan di eks lokalisasi lain seperti Dupak Bangunsari, Klakah Rejo dan Tambakasri, belum ada warga yang menawarkan ke kami. Tapi tidak masalah. Yang penting bangunan itu tidak digunakan untuk kegiatan prostitusi,” paparnya. Mengantisipasi munculnya kegiatan prostitusi di Dolly, Risma melarang keras wisma digunakan untuk usaha karaoke.
Dikhawatirkan, keberadaan rumah hiburan itu akan mengganggu ketenteraman dan kenyamanan warga. Mantan kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya itu mengakui, perekonomian warga setelah Dolly ditutup mengalami kolaps. Banyak warga yang pendapatannya berkurang. Namun, pihaknya berharap warga mencari sumber-sumber pendapatan baru tanpa harus menggantungkan dari geliat prostitusi. ”Salah satunya membuka usaha seperti kerajinan, laundry , membuat kue, atau jenis usaha lain,” ucap Risma.
Sementara Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya, Supomo, menambahkan, Pemkot Surabaya tetap berupaya memulihkan perekonomian warga. Pihaknya mengaku sudah banyak berbuat agar warga terdampak bisa membangun usaha baru. Selain memberi pelatihan keterampilan, Dinsos juga memberikan bantuan permodalan. Saat ini, sudah banyak pengajuan proposal usaha yang diajukan warga. Tapi sayang, tidak semua proposal yang diajukan bisa disetujui.
Semua harus ada seleksi yang ketat. Sebab, bantuan permodalan ini menggunakan uang negara. Jadi, pertanggungjawaban harus jelas. ”Kami juga menggandeng sejumlah perusahaan swasta melalui program CSR (corporate social responsibility) mereka. Perusahaan ini memberi pelatihan keterampilan pada warga,” ujarnya.
Konsep Revitalisasi Harus Dari Warga
Sementara itu, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, beberapa waktu lalu berencana mengubah Dolly menjadi sentra akik. Orang nomor satu di Surabaya itu menilai, pasar akik sangat potensial mengingat saat ini warga gemar mengoleksi ataupun memakai batu alam itu. Belum terealisasi rencana itu, Risma kini berencana menjadikan Dolly sebagai pusat perhiasan.
Pihaknya bahkan sudah mempersiapkan pelatihan pembuatan perhiasan pada warga setempat. Mantan kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya itu menilai, di kawasan Kelurahan Putat Jaya Kecamatan Sawahan, banyak terdapat seniman yang cukup berbakat. Dengan kemampuan itu, bisa dijadikan bekal untuk berkreasi, terutama mendesain emas perhiasan.
”Awalnya kami memang berencana menjadikan eks Dolly dan Jarak sebagai sentra akik. Tapi kerajinan akik hanya bisa bertahan saat booming saja. Berbeda dengan perhiasan yang akan menjadi kebutuhan masyarakat sampai kapan pun,” katanya usai menghadiri rapat paripurna di DPRD Kota Surabaya, kemarin. Rencana pemkot menjadikan Dolly sebagai sentra perhiasan mendapat apresiasi dari DPRD Kota Surabaya. Namun, sebelum rencana itu direalisasikan, wakil rakyat ini meminta pemkot menyosialisasikan ke warga setempat.
”Rencana menjadikan Gang Dolly sebagai pusat bermacam perhiasan, sangat bagus. Hanya saja pemkot harus menyiapkannya dengan matang. Tidak mudah mengubah mindset warga setempat yang selama ini profesinya bermacam-macam. Seperti para PKL, kalau kemudian menjual perhiasan, atau diberi keterampilan membuat perhiasan atau menjahit, itu tidak mudah. Semua butuh waktu, tidak bisa grusa-grusu ,” kata anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya, Sukadar.
Ketua Fraksi PDIP di DPRD Kota Surabaya ini menyebutkan, konsep penataan kawasan lokalisasi Dolly pascapenutupan, belum jelas. Kini, yang lebih dibutuhkan adalah pendekatan intens untuk memberi pengertian pada warga setempat bahwa pemkot akan merencanakan suatu program di kawasan itu. Minimal mengundang pengurus RT dan RW untuk menjelaskan rencana itu. ”Jadi, bukan bersifat top down . Semua harus ada kesiapan dari warga dan dari usulan warga,” katanya.
Sementara anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya, Vinsensius, menilai, Risma sedang kebingungan mencari konsep rehabilitasi setelah Dolly dan Jarak ditutup. Mantan kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya itu sedang mencoba-coba segala kemungkinan. Termasuk menjadikan eks Dolly sebagai pusat kerajinan akik dan pusat perhiasan. ”Kan blue print dari pembangunan Dolly dan Jarak belum ada sampai sekarang. Nah , karena belum ada konsep, maka yang ada dan terlintas di pikiran, ya itu yang dikatakan,” katanya.
Politikus Partai NasDem ini menuding, penutupan eks lokalisasi terbesar di Indonesia itu merupakan upaya Tri Rismaharini mendongkrak citra dan popularitasnya di tengah-tengah masyarakat Surabaya. Meski tidak ada konsep yang jelas, pihaknya meminta pemkot merealisasikan semua program, seperti pusat akik dan perhiasan. Jika eks Dolly dan Jarak akan dijadikan sentra kerajinan usaha kecil menengah (UKM), pemkot harus memikirkan distribusi produk hasil produksi masyarakat setempat.
”Entah mau dijadikan apa pun Dolly itu, sebaiknya pemkot jangan hanya berwacana saja. Lebih baik sekarang rencana sentra akik dan perhiasan segera diwujudkan,” ujarnya.
Lukman hakim
Pemkot pun tidak mundur atas desakan penutupan lokalisasi yang berada di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan itu. Pada 27 Juli 2014, pemkot lalu memasang plakat bebas di depan Kelurahan Putat Jaya dan Girilaya.
Pemasangan itu pun memancing emosi warga yang menolak penutupan hingga terjadi bentrok dengan aparat keamanan. Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, terjun langsung ke lokasi. Tapi sayang, karena alasan keamanan, Risma, panggilan Tri Rismaharini, tidak diperbolehkan mendekati area Jalan Jarak yang dikuasai massa. Untuk antisipasi keamanan, polrestabes menerjunkan 400 personel ditambah satu satuan setingkat kompi dari Polda Jatim.
Polisi menindak massa perusak plakat dan dijerat dengan Pasal 170 atau 406 KUHP. Ancaman itu juga tercantum di dalam plakat. ”Plakat itu dipasang di jalan umum, bukan jalan pribadi. Jadi, tidak ada alasan warga menolak. Apa pun risikonya, kami akan tetap pasang papan pengumuman bebas prostitusi itu,” ungkap Risma. Situasi makin memanas hingga kembali terjadi bentrok antarmassa dan aparat keamanan. Dalam peristiwa ini, polisi berhasil menangkap 24 orang.
Setelah disaring dan diperiksa, jumlah tersangka mengerucut menjadi sembilan orang. Mereka di antaranya Sungkono Ari Saputro alias Pokemon, Subekiyanto, Dwi Indarto, Kusnadi, Supari, Jaring Sari, Pardi, Mausul Hadi, dan Darmanto. Pokemon oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dijatuhi hukuman satu tahun penjara karena terbukti mengoordinasi massa untuk melawan petugas kepolisian. Setelah satu tahun berlalu, Dolly berubah drastis.
Wajah yang dulunya hingar-bingar, terutama pada malam hari, kini berubah masam. Tidak ada lagi musik menghentak yang tiap malam menemani pengunjung mencari cinta semalam. Tidak ada lagi tukang parkir menawarkan pengendara tempat mengistirahatkan kendaraannya. Lalu, tidak ada lagi mucikari yang bersahut-sahutan menjajakan ”barang jualan” mereka pada para petualang dunia malam. Kini, yang tampak dari Dolly bukan lagi para wajah perempuan berpakaian seksi menggoda, semua hilang tanpa bekas.
Kini yang terlihat dari bekas kawasan prostitusi terbesar di Indonesia hanya aktivitas warga pada umumnya. Wismawisma yang dulunya menjadi tempat menenggak bir dan sembari ditemani wanita cantik, berubah menjadi tempat usaha lain. Misalnya berjualan pulsa elektronik ataupun bengkel.
Tidak jarang wisma-wisma tersebut dijual. Sebagian dari wismawisma yang dijual itu dibeli pemkot. Wisma Barbara, wisma favorit di gang Dolly, juga dijual dan telah dibeli pemkot seharga Rp5 miliar pada tahun lalu. Tahun ini, Pemkot mengalokasikan anggaran Rp2 miliar untuk pembelian wisma eks lokalisasi. Dana tersebut tidak hanya diperuntukkan untuk wisma di Dolly, tapi juga di sejumlah eks lokalisasi lainnya, seperti Dupak Bangunsari, Sememi, Klakah Rejo, dan Tambak Asri. Anggaran tersebut tidak bersifat multiyears .
Pembelian wisma mengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP). ”Meski tahun ini proses pembebasan wisma belum selesai, kami lanjutkan tahun depan. Dananya tetap menggunakan yang dianggarkan pada tahun ini. Kalau nanti harganya lebih mahal karena tahunnya bertambah, saya kira tidak juga,” kata Kepala Dinas Pengelolaan Tanah dan Bangunan (DPTB) Kota Surabaya, Maria Theresia.
Mantan kepala bagian (kabag) hukum Pemkot Surabaya ini mengungkapkan, sejak ditutup pada Juni tahun lalu hingga sekarang, sudah ada lima wisma di Dolly yang dijual ke Pemkot. Salah satu dari bangunan itu adalah Wisma Barbara. Tahun ini ada 5-10 wisma yang oleh warga setempat ditawarkan ke pemkot. Saat ini masih diproses. Dalam pembelian wisma, pemkot tidak proaktif menyampaikan tawaran ke warga. Sebaliknya, warga yang menawarkan wismanya ke pemkot.
”Kalau untuk bangunan di eks lokalisasi lain seperti Dupak Bangunsari, Klakah Rejo dan Tambakasri, belum ada warga yang menawarkan ke kami. Tapi tidak masalah. Yang penting bangunan itu tidak digunakan untuk kegiatan prostitusi,” paparnya. Mengantisipasi munculnya kegiatan prostitusi di Dolly, Risma melarang keras wisma digunakan untuk usaha karaoke.
Dikhawatirkan, keberadaan rumah hiburan itu akan mengganggu ketenteraman dan kenyamanan warga. Mantan kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya itu mengakui, perekonomian warga setelah Dolly ditutup mengalami kolaps. Banyak warga yang pendapatannya berkurang. Namun, pihaknya berharap warga mencari sumber-sumber pendapatan baru tanpa harus menggantungkan dari geliat prostitusi. ”Salah satunya membuka usaha seperti kerajinan, laundry , membuat kue, atau jenis usaha lain,” ucap Risma.
Sementara Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya, Supomo, menambahkan, Pemkot Surabaya tetap berupaya memulihkan perekonomian warga. Pihaknya mengaku sudah banyak berbuat agar warga terdampak bisa membangun usaha baru. Selain memberi pelatihan keterampilan, Dinsos juga memberikan bantuan permodalan. Saat ini, sudah banyak pengajuan proposal usaha yang diajukan warga. Tapi sayang, tidak semua proposal yang diajukan bisa disetujui.
Semua harus ada seleksi yang ketat. Sebab, bantuan permodalan ini menggunakan uang negara. Jadi, pertanggungjawaban harus jelas. ”Kami juga menggandeng sejumlah perusahaan swasta melalui program CSR (corporate social responsibility) mereka. Perusahaan ini memberi pelatihan keterampilan pada warga,” ujarnya.
Konsep Revitalisasi Harus Dari Warga
Sementara itu, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, beberapa waktu lalu berencana mengubah Dolly menjadi sentra akik. Orang nomor satu di Surabaya itu menilai, pasar akik sangat potensial mengingat saat ini warga gemar mengoleksi ataupun memakai batu alam itu. Belum terealisasi rencana itu, Risma kini berencana menjadikan Dolly sebagai pusat perhiasan.
Pihaknya bahkan sudah mempersiapkan pelatihan pembuatan perhiasan pada warga setempat. Mantan kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya itu menilai, di kawasan Kelurahan Putat Jaya Kecamatan Sawahan, banyak terdapat seniman yang cukup berbakat. Dengan kemampuan itu, bisa dijadikan bekal untuk berkreasi, terutama mendesain emas perhiasan.
”Awalnya kami memang berencana menjadikan eks Dolly dan Jarak sebagai sentra akik. Tapi kerajinan akik hanya bisa bertahan saat booming saja. Berbeda dengan perhiasan yang akan menjadi kebutuhan masyarakat sampai kapan pun,” katanya usai menghadiri rapat paripurna di DPRD Kota Surabaya, kemarin. Rencana pemkot menjadikan Dolly sebagai sentra perhiasan mendapat apresiasi dari DPRD Kota Surabaya. Namun, sebelum rencana itu direalisasikan, wakil rakyat ini meminta pemkot menyosialisasikan ke warga setempat.
”Rencana menjadikan Gang Dolly sebagai pusat bermacam perhiasan, sangat bagus. Hanya saja pemkot harus menyiapkannya dengan matang. Tidak mudah mengubah mindset warga setempat yang selama ini profesinya bermacam-macam. Seperti para PKL, kalau kemudian menjual perhiasan, atau diberi keterampilan membuat perhiasan atau menjahit, itu tidak mudah. Semua butuh waktu, tidak bisa grusa-grusu ,” kata anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya, Sukadar.
Ketua Fraksi PDIP di DPRD Kota Surabaya ini menyebutkan, konsep penataan kawasan lokalisasi Dolly pascapenutupan, belum jelas. Kini, yang lebih dibutuhkan adalah pendekatan intens untuk memberi pengertian pada warga setempat bahwa pemkot akan merencanakan suatu program di kawasan itu. Minimal mengundang pengurus RT dan RW untuk menjelaskan rencana itu. ”Jadi, bukan bersifat top down . Semua harus ada kesiapan dari warga dan dari usulan warga,” katanya.
Sementara anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya, Vinsensius, menilai, Risma sedang kebingungan mencari konsep rehabilitasi setelah Dolly dan Jarak ditutup. Mantan kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya itu sedang mencoba-coba segala kemungkinan. Termasuk menjadikan eks Dolly sebagai pusat kerajinan akik dan pusat perhiasan. ”Kan blue print dari pembangunan Dolly dan Jarak belum ada sampai sekarang. Nah , karena belum ada konsep, maka yang ada dan terlintas di pikiran, ya itu yang dikatakan,” katanya.
Politikus Partai NasDem ini menuding, penutupan eks lokalisasi terbesar di Indonesia itu merupakan upaya Tri Rismaharini mendongkrak citra dan popularitasnya di tengah-tengah masyarakat Surabaya. Meski tidak ada konsep yang jelas, pihaknya meminta pemkot merealisasikan semua program, seperti pusat akik dan perhiasan. Jika eks Dolly dan Jarak akan dijadikan sentra kerajinan usaha kecil menengah (UKM), pemkot harus memikirkan distribusi produk hasil produksi masyarakat setempat.
”Entah mau dijadikan apa pun Dolly itu, sebaiknya pemkot jangan hanya berwacana saja. Lebih baik sekarang rencana sentra akik dan perhiasan segera diwujudkan,” ujarnya.
Lukman hakim
(ars)