UMKM Karya Anak Medan Tembus Pasar Dunia
A
A
A
Perkembangan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Kota Medan terus menggeliat. Perkembangan dan pertumbuhannya dari tahun ke tahun menunjukkan arah yang signifikan.
Bukan hanya pertumbuhan semata, tapi juga cakupan pemasarannya. Produkproduk tersebut tidak hanya diminati masyarakat lokal, tapi juga masyarakat luar negeri. Hal ini menunjukkan hasil karya tangan anak Medan tidak kalah dari daerah lainnya. Bahkan, bisa dikatakan mampu bersaing dengan masyarakat luar yang memiliki usaha sejenis.
Meskipun sudah sampai ke luar negeri, banyak masyarakat Medan yang ragu atas kualitasnya. Lebih sayangnya lagi, produk-produk tersebut mulai dari baju, makanan, minuman, sepatu, dompet, dan lainnya tidak menjadi branded, kalah pamor dengan produk luar yang dipasarkan di Medan. Bisa jadi warga kurang memperhatikan produk lokal karena minimnya promosi.
Lebih menyakitkan lagi, ternyata para pelaku usaha berjuang sendiri mengembangkan usahanya. Mulai dari menggelar pameran, melibatkan agen, sampai memanfaatkan jaringan bisnis sendiri dalam mengembangkan usahanya. Sebut saja baju berlabel Baju Sahara.
Baju yang mengandalkan motif unsur etnik, mulai bercorak batik, ulos, dan lainnya tersebut sudah masuk pasar luar negeri, terutama di kawasan Asia Tenggara (Asean) dan Kanada. Khairul Amali, pemilik baju berlabel Baju Sahara, menerangkan, usahanya mulai dilakukan sejak lima tahun lalu ternyata sangat diminati oleh masyarakat luar negeri.
Bisa menembus pasar Asia Tenggara dan Kanada karena Khairul Amali memanfaatkan jaringannya sendiri. Tidak ada campur tangan pemerintah. Baik bantuan dalam mempromosikan produk maupun bantuan lainnya. “Kami memanfaatkan jaringan bisnis sendiri. Buat pameran sendiri di luar kota, seperti di Bali dan lainnya.” “Tidak ada bantuan pemerintah. Saat ini produk kami banyak diminati masyarakat luar,” ucap Khairul Amali kepada KORAN SINDO MEDAN akhir pekan ini.
Padahal, dia menilai pasar luar negeri dan dalam lokal sangat welcome terhadap produknya. Hal ini berdasarkan banyaknya permintaan yang berdatangan kepada mereka. Meskipun jumlah permintaan yang masuk tidak menentu, bisa dikatakan order tidak pernah sepi. “Permintaan ada saja. Lumayan banyaklah. Artinya, produk kita sudah dikenal dan diminati,” ujarnya.
Khairul Amali, yang juga Wakil Ketua Kadin Sumut, menyayangkan minimnya peran pemerintah membantu perkembangan bisnis pelaku UMKM di Kota Medan. Padahal keberadaan sektor ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Keberadaannya merupakan penopang ekonomi di Indonesia.
Untuk itu, dia berharap peran pemerintah daerah maupun pusat membantu pelaku UMKM. “Tidak hanya dalam memasarkan produk, tapi juga membantu dalam kemudahan pemberian izin,” katanya. Pelaku UKMN bergerak di sektor kerajinan kulit, Erwin, juga menyebut hal yang sama.
Dia bersama teman-temannya yang menggarap produksi sepatu, tali pinggang, dompet, sandal, tas dari bahan kulit tidak mengerti mengapa pemerintah sampai hati membiarkan pelaku UMKM berjalan sendiri. Salah satu kendala yang dialaminya yakni soal merek. Produksi UMKM-nya hingga saat ini tidak bermerek karena tidak punya izin hak paten yang dikeluarkan Kementrian Hukum dan HAM.
Padahal produknya sudah sampai ke luar negeri dengan bantuan agen pemasaran. Erwin menyebut pihaknya tidak mempunyai izin ekspor namun dapat tembus ke pasar dunia melalui jasa agen pemasaran meski produknya cukup dikenal.
“Saya tidak bisa kirim barang ke luar negeri karena tidak punya izin. Begitu juga merek karena tidak punya hak paten. Sekarang ini kami banyak mengerjakan produk berdasarkan pesanan atau permintaan masyarakat, baik secara satuan maupun jumlah banyak,” papar pria yang membuka gerai kerajinan produksi berbasis kulit di kawasan Mabar ini.
Meskipun tidak punya izin ekspor maupun hak paten merek, produknya tidak kalah dengan produk yang lain. Ini ditunjukkan produksinya berhasil masuk butik kelas elite. “Kami siap bersaing dengan produk luar. Kualitas kulit kami terjamin. Harga juga terjangkau. Ada Rp700.000, ada Rp600.000 untuk sepatu. Bervariasi, tergantung model dan bahan bakunya,” ucapnya.
Lemahnya peran pemerintah mem-back up industri UMKM juga diceritakan pelaku UKM Kota Medan sekaligus pemilik usaha Noerlen Syrup Rachmi Novianti. Dia tidak menampik bahwa Pemko Medan pernah memberikan fasilitas untuk memasarkan produknya. Sayangnya, fasilitas itu hanya diberikan sebatas hanya saat pameran. Padahal peran pemerintah sebenarnya masih dapat dilakukan lebih jauh lagi. Misalnya, memberikan fasilitas permanen seperti pelaku UMKM di Pulau Jawa.
“Fasilitas untuk pemasaran produk ada, seperti penyediaan kios. Namun, itu hanya sebatas ketika ada acara pemerintah, dan itu ramainya saat pembuatan saja, setelah itu sepi karena tidak dikelola dengan baik. Seharusnya pemerintah menyediakan fasilitas yang permanen. Di Jawa sudah ada itu. Turis-turis dibawa ke tempat pemasaran produk UMKM itu. Namun sayangnya, di sini fasilitas itu belum ada sampai detik ini,” ungkap .
Saat ini peran yang digulirkan pemerintah juga hanya sebatas memberikan pelatihan kepada pelaku UKM. Seperti pelatihan pengemasan produk, pembukuan, manajemen, dan masalah produksi. Sayangnya, pelatihan tersebut belum terjadwal. “Pelatihannya banyak, seperti pengemasan produk, pembukuan hingga masalah produksi. Tapi belum tentu setiap pelatihan itu kita bisa diundang terus,” ucapnya.
Hal di atas adalah contoh kecil bagaimana sebenarnya mutu produksi UMKM hasil karya anak Medan hingga tembus mancanegara, tapi pemerintah belum memberi perhatian lebih. Padahal, mereka siap bersaing dengan produk -produk luar yang masuk ke pasar lokal. Kehebatan produk lokal sebenarnya diakui oleh pemerintah. Seperti diucapkan Kadis Koperasi Kota Medan Arjuna Sembiring.
Dia menilai produk UMKM di Kota Medan tidak kalah dengan produk luar. Namun, masih butuh banyak peningkatan lagi saat ini. Terutama dalam pengemasan produk. Begitu juga dalam kreativitas. Ini juga menjadi perhatian mereka dalam membantu mengembangkan usaha para pelaku UMKM.
Perhatian diberikan dengan membawa mereka dalam studi banding melihat pelaku usaha di Pulau Jawa. “Secara global bisa dikatakan sudah cukup maju. Tapi perlu banyak peningkatan. Inilah nantinya kami akan berupaya mereka membantu mengembangkan usahanya,” tandas Arjuna.
Dia membantah tidak ada memberikan perhatian apa pun terhadap pengembangan usaha para pelaku UMKM di Kota Medan. Perhatian diberikan dinilai sudah cukup. Mulai dari membantu memasarkan produk mereka dengan menggelar pameran maupun sampai bisa masuk ke plaza dan mal.
Pihaknya tidak mungkin menelantarkan para pelaku yang termasuk menopang perekonomian dengan berjuang sendiri memasarkan produknya. “Kami sudah menjalin kerja sama dengan pengelola mal dan plaza agar produk UMKM bisa dipasarkan di sana. Terbukti, sekarang ini sudah terlaksana,” kata Arjuna.
Selain itu, perhatian yang diberikan adalah cara pengemasan dan pengepakan barang agar terlihat menarik. Begitu juga dengan model dan ketahanan. Terutama makanan. Hasil kerajinan Medan di bidang makanan masih kalah dengan produk dari Jawa.
Di Jawa, sate sudah bisa tahan sampai seminggu, bahkan sudah berani mereka mengemasnya dalam bungkusan plastik. “Di Medan sate cuma tahan satu hari. Dua hari saja rasanya sudah berubah. Di Bondowoso, Sidoarjo sate sudah tahan sepekan. Mereka sudah berani buat expired-nya sampai tanggal sekian. Inilah yang kita bantu agar tidak tertinggal dari daerah lain. Kami maklumi, pelaku usaha di Medan kebanyakan warisan. Makanya, di dorong untuk lebih kreatif,” tandasnya.
Begitu juga dengan urusan izin baik untuk urusan izin produksi rumah tangga, izin gangguan sampai dengan hak paten di Kemenkum dan HAM. Artinya, hal-hal seperti ini tetap menjadi perhatian dan prioritas mereka.
“Kami sudah koordinasi dengan BPPT untuk memudahkan dalam pengurusan izin gangguan dan izin lainnya yang mereka keluarkan. Sekarang sudah diberikan kemudahan. Kami juga siap menjembatani apabila ada persoalan dalam pengurusan izin,” kata dia.
Sekarang juga sudah dijajaki kerja sama dalam mendapatkan izin hak paten agar produknya tidak diserobot orang. Dengan begitu, mereka nyaman berusaha. Ke depannya, perhatian terus kami berikan agar produk di Medan terus berkembang.
Reza shahab
Bukan hanya pertumbuhan semata, tapi juga cakupan pemasarannya. Produkproduk tersebut tidak hanya diminati masyarakat lokal, tapi juga masyarakat luar negeri. Hal ini menunjukkan hasil karya tangan anak Medan tidak kalah dari daerah lainnya. Bahkan, bisa dikatakan mampu bersaing dengan masyarakat luar yang memiliki usaha sejenis.
Meskipun sudah sampai ke luar negeri, banyak masyarakat Medan yang ragu atas kualitasnya. Lebih sayangnya lagi, produk-produk tersebut mulai dari baju, makanan, minuman, sepatu, dompet, dan lainnya tidak menjadi branded, kalah pamor dengan produk luar yang dipasarkan di Medan. Bisa jadi warga kurang memperhatikan produk lokal karena minimnya promosi.
Lebih menyakitkan lagi, ternyata para pelaku usaha berjuang sendiri mengembangkan usahanya. Mulai dari menggelar pameran, melibatkan agen, sampai memanfaatkan jaringan bisnis sendiri dalam mengembangkan usahanya. Sebut saja baju berlabel Baju Sahara.
Baju yang mengandalkan motif unsur etnik, mulai bercorak batik, ulos, dan lainnya tersebut sudah masuk pasar luar negeri, terutama di kawasan Asia Tenggara (Asean) dan Kanada. Khairul Amali, pemilik baju berlabel Baju Sahara, menerangkan, usahanya mulai dilakukan sejak lima tahun lalu ternyata sangat diminati oleh masyarakat luar negeri.
Bisa menembus pasar Asia Tenggara dan Kanada karena Khairul Amali memanfaatkan jaringannya sendiri. Tidak ada campur tangan pemerintah. Baik bantuan dalam mempromosikan produk maupun bantuan lainnya. “Kami memanfaatkan jaringan bisnis sendiri. Buat pameran sendiri di luar kota, seperti di Bali dan lainnya.” “Tidak ada bantuan pemerintah. Saat ini produk kami banyak diminati masyarakat luar,” ucap Khairul Amali kepada KORAN SINDO MEDAN akhir pekan ini.
Padahal, dia menilai pasar luar negeri dan dalam lokal sangat welcome terhadap produknya. Hal ini berdasarkan banyaknya permintaan yang berdatangan kepada mereka. Meskipun jumlah permintaan yang masuk tidak menentu, bisa dikatakan order tidak pernah sepi. “Permintaan ada saja. Lumayan banyaklah. Artinya, produk kita sudah dikenal dan diminati,” ujarnya.
Khairul Amali, yang juga Wakil Ketua Kadin Sumut, menyayangkan minimnya peran pemerintah membantu perkembangan bisnis pelaku UMKM di Kota Medan. Padahal keberadaan sektor ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Keberadaannya merupakan penopang ekonomi di Indonesia.
Untuk itu, dia berharap peran pemerintah daerah maupun pusat membantu pelaku UMKM. “Tidak hanya dalam memasarkan produk, tapi juga membantu dalam kemudahan pemberian izin,” katanya. Pelaku UKMN bergerak di sektor kerajinan kulit, Erwin, juga menyebut hal yang sama.
Dia bersama teman-temannya yang menggarap produksi sepatu, tali pinggang, dompet, sandal, tas dari bahan kulit tidak mengerti mengapa pemerintah sampai hati membiarkan pelaku UMKM berjalan sendiri. Salah satu kendala yang dialaminya yakni soal merek. Produksi UMKM-nya hingga saat ini tidak bermerek karena tidak punya izin hak paten yang dikeluarkan Kementrian Hukum dan HAM.
Padahal produknya sudah sampai ke luar negeri dengan bantuan agen pemasaran. Erwin menyebut pihaknya tidak mempunyai izin ekspor namun dapat tembus ke pasar dunia melalui jasa agen pemasaran meski produknya cukup dikenal.
“Saya tidak bisa kirim barang ke luar negeri karena tidak punya izin. Begitu juga merek karena tidak punya hak paten. Sekarang ini kami banyak mengerjakan produk berdasarkan pesanan atau permintaan masyarakat, baik secara satuan maupun jumlah banyak,” papar pria yang membuka gerai kerajinan produksi berbasis kulit di kawasan Mabar ini.
Meskipun tidak punya izin ekspor maupun hak paten merek, produknya tidak kalah dengan produk yang lain. Ini ditunjukkan produksinya berhasil masuk butik kelas elite. “Kami siap bersaing dengan produk luar. Kualitas kulit kami terjamin. Harga juga terjangkau. Ada Rp700.000, ada Rp600.000 untuk sepatu. Bervariasi, tergantung model dan bahan bakunya,” ucapnya.
Lemahnya peran pemerintah mem-back up industri UMKM juga diceritakan pelaku UKM Kota Medan sekaligus pemilik usaha Noerlen Syrup Rachmi Novianti. Dia tidak menampik bahwa Pemko Medan pernah memberikan fasilitas untuk memasarkan produknya. Sayangnya, fasilitas itu hanya diberikan sebatas hanya saat pameran. Padahal peran pemerintah sebenarnya masih dapat dilakukan lebih jauh lagi. Misalnya, memberikan fasilitas permanen seperti pelaku UMKM di Pulau Jawa.
“Fasilitas untuk pemasaran produk ada, seperti penyediaan kios. Namun, itu hanya sebatas ketika ada acara pemerintah, dan itu ramainya saat pembuatan saja, setelah itu sepi karena tidak dikelola dengan baik. Seharusnya pemerintah menyediakan fasilitas yang permanen. Di Jawa sudah ada itu. Turis-turis dibawa ke tempat pemasaran produk UMKM itu. Namun sayangnya, di sini fasilitas itu belum ada sampai detik ini,” ungkap .
Saat ini peran yang digulirkan pemerintah juga hanya sebatas memberikan pelatihan kepada pelaku UKM. Seperti pelatihan pengemasan produk, pembukuan, manajemen, dan masalah produksi. Sayangnya, pelatihan tersebut belum terjadwal. “Pelatihannya banyak, seperti pengemasan produk, pembukuan hingga masalah produksi. Tapi belum tentu setiap pelatihan itu kita bisa diundang terus,” ucapnya.
Hal di atas adalah contoh kecil bagaimana sebenarnya mutu produksi UMKM hasil karya anak Medan hingga tembus mancanegara, tapi pemerintah belum memberi perhatian lebih. Padahal, mereka siap bersaing dengan produk -produk luar yang masuk ke pasar lokal. Kehebatan produk lokal sebenarnya diakui oleh pemerintah. Seperti diucapkan Kadis Koperasi Kota Medan Arjuna Sembiring.
Dia menilai produk UMKM di Kota Medan tidak kalah dengan produk luar. Namun, masih butuh banyak peningkatan lagi saat ini. Terutama dalam pengemasan produk. Begitu juga dalam kreativitas. Ini juga menjadi perhatian mereka dalam membantu mengembangkan usaha para pelaku UMKM.
Perhatian diberikan dengan membawa mereka dalam studi banding melihat pelaku usaha di Pulau Jawa. “Secara global bisa dikatakan sudah cukup maju. Tapi perlu banyak peningkatan. Inilah nantinya kami akan berupaya mereka membantu mengembangkan usahanya,” tandas Arjuna.
Dia membantah tidak ada memberikan perhatian apa pun terhadap pengembangan usaha para pelaku UMKM di Kota Medan. Perhatian diberikan dinilai sudah cukup. Mulai dari membantu memasarkan produk mereka dengan menggelar pameran maupun sampai bisa masuk ke plaza dan mal.
Pihaknya tidak mungkin menelantarkan para pelaku yang termasuk menopang perekonomian dengan berjuang sendiri memasarkan produknya. “Kami sudah menjalin kerja sama dengan pengelola mal dan plaza agar produk UMKM bisa dipasarkan di sana. Terbukti, sekarang ini sudah terlaksana,” kata Arjuna.
Selain itu, perhatian yang diberikan adalah cara pengemasan dan pengepakan barang agar terlihat menarik. Begitu juga dengan model dan ketahanan. Terutama makanan. Hasil kerajinan Medan di bidang makanan masih kalah dengan produk dari Jawa.
Di Jawa, sate sudah bisa tahan sampai seminggu, bahkan sudah berani mereka mengemasnya dalam bungkusan plastik. “Di Medan sate cuma tahan satu hari. Dua hari saja rasanya sudah berubah. Di Bondowoso, Sidoarjo sate sudah tahan sepekan. Mereka sudah berani buat expired-nya sampai tanggal sekian. Inilah yang kita bantu agar tidak tertinggal dari daerah lain. Kami maklumi, pelaku usaha di Medan kebanyakan warisan. Makanya, di dorong untuk lebih kreatif,” tandasnya.
Begitu juga dengan urusan izin baik untuk urusan izin produksi rumah tangga, izin gangguan sampai dengan hak paten di Kemenkum dan HAM. Artinya, hal-hal seperti ini tetap menjadi perhatian dan prioritas mereka.
“Kami sudah koordinasi dengan BPPT untuk memudahkan dalam pengurusan izin gangguan dan izin lainnya yang mereka keluarkan. Sekarang sudah diberikan kemudahan. Kami juga siap menjembatani apabila ada persoalan dalam pengurusan izin,” kata dia.
Sekarang juga sudah dijajaki kerja sama dalam mendapatkan izin hak paten agar produknya tidak diserobot orang. Dengan begitu, mereka nyaman berusaha. Ke depannya, perhatian terus kami berikan agar produk di Medan terus berkembang.
Reza shahab
(ftr)