Menunggu Calon Boneka
A
A
A
SURABAYA - Penyelamatan Kota Surabaya agar pemilihan wali kota (pilwali) tidak ditunda pada 2017 terus dilakukan. Salah satunya dengan memunculkan calon boneka untuk melawan pasangan Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana yang diusung PDIP.
Bahkan beredar informasi, tim sukses incumbent (Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana ) getol mendekati Koalisi Majapahit agar mau memunculkan calon. Hanya pendekatan itu tidak berjalan mulus. Mereka (Koalisi Majapahit) tetap menolak karena merasa tidak cocok dengan Tri Rismaharini. Kecuali bila memang ada mahar untuk kesepakatan itu. Informasi pun terus berkembang hingga Koalisi Majapahit meminta mahar Rp500 miliar kepada tim sukses incumbent.
Selain dibagikan kepada masing-masing partai, mahar tersebut juga untuk biaya operasional calon yang akan diusung selama proses pencalonan. Sayangnya kebenaran isu tersebut belum bisa dikonfirmasi. Pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Hariyadi menilai, dugaan maraknya calon boneka akibat kaderisasi kepemimpinan di masyarakat sipil dan partai politik (parpol) tidak berjalan baik.
Karena itu pasangan incumbent menjadi sangat perkasa alias tanpa tanding. Siapa pun yang maju melawan pasangan petahana bisa dipastikan kalah telak. ”Calon incumbent itu sangat kuat dan hampir tidak bisa dikalahkan. Nah, ketika ada pasangan yang memaksakan diri tetap bersaing, maka anggapan bahwa pasangan itu calon boneka bisa ada benarnya,” katanya.
Anggota Asosiasi Ilmu Politik (AIPI) Jawa Timur (Jatim) ini menambahkan, fenomena calon boneka merupakan bagian dari dinamika politik. Dia menduga muncul calon boneka lebih bersifat transaksional atau politik uang. Ini dilakukan oleh pasangan calon maupun parpol. Banyak parpol berpikiran pragmatis. ”Dari pada mengusung kader lalu kalah, lebih baik mendukung incumbent karena mendapat imbalan uang yang bisa digunakan untuk membesarkan partai,” ujarnya.
Dalam prinsip kontestasi, kata dia, harus ada pasangan calon yang menang. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan KPU harus berkaca pada pengalaman di beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat, Kanada, Malaysia, dan Filipina. Untuk mengatasi munculnya satu pasangan calon, negara-negara tersebut mempunyai skenario. Di Amerika Serikat dikenal dengan Uncontested Election atau pemilu tanpa kontestasi.
”Jika hanya ada satu pasang calon, setelah masa pendaftaran habis, yang bersangkutan ditetapkan sebagai pemenang. Istilah lainnya adalah work over (WO) atau aklamasi,” katanya. Wakil Ketua Pemuda Demokrat Jatim Hadi Margo menyatakan, munculnya calon boneka menandakan terjadi kemunduran demokrasi di Tanah Air. Sebab partai politik telah gagal mengaderisasi sehingga tidak ada calon yang memiliki keberanian maju.
”Pilwali bukan hanya dalam konteks menang atau kalah, tetapi bagaimana calon tersebut punya keberanian memberikan pelayanan terbaik bagi rakyatnya,” kata Hadi. Pernyataan Hadi ini disampaikan menyusul kuatnya calon boneka yang dimunculkan oleh sejumlah partai politik di Kota Surabaya.
Ketika incumbent Tri Rismaharini tidak punya lawan, muncul skenario calon boneka dari beberapa partai yang bermitra dengan partai pengusung incumbent (PDIP). ”Pada masa perpanjangan pendaftaran 1-3 Agustus mendatang, PDIP dan tim sukses incumbent masih berkesempatan melakukan lobi- lobi politik dengan sejumlah partai untuk kembali memunculkan calon boneka,” ungkapnya.
Sebaiknya Ditunda
Sementara Ketua Parlemen Watch Jatim Umar Salahudin menilai Pilwali Surabaya sebaiknya diundur hingga 2017 daripada memunculkan calon boneka. ”Calon boneka menjadi tragedi demokrasi di Surabaya, calon boneka membodohi rakyat,” kata Umar Salahudin. Menurut dia, kalau ada calon boneka berarti motivasinya pragmatis, yakni rela maju untuk kekalahan dan memenangkan calon lain.
Calon boneka tersebut pasti dapat benefit atau bentuk imbalan jasa. Jika sudah begitu yang dikorbankan adalah rakyat. Apalagi dengan anggaran pilkada besar seperti itu secara langsung hanya menguntungkan calon-calon boneka. ”Selamatkan demokrasi, selamatkan uang rakyat,” ujarnya. Karena itu, ujar dia, fenomena Pilwali Surabaya yang saat masa pendaftaran 26-28 Juli 2015 di KPU Surabaya hanya diikuti satu pasangan calon, yakni Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana, perlu disikapi.
Gelagat muncul calon tunggal bisa dilihat sejak pendaftaran calon perseorangan yang dibuka beberapa waktu lalu tidak ada peminatnya. Kondisi seperti ini memunculkan opini ada calon boneka yang disiapkan untuk kalah melawan calon petahana Risma- Wisnu. Namun hal itu dibantah sejumlah parpol dengan membentuk Koalisi Majapahit yang beranggotakan enam parpol, yakni Partai Demokrat, Gerindra, PKS, PKB, PAN, dan Partai Golkar.
Koalisi Majapahit menyatakan diri siap mendaftarkan cawali dan cawawalinya ke KPU Surabaya, namun sampai pendaftaran dibuka tidak ada yang muncul. Padahal sehari sebelum pendaftaran di KPU ditutup dan diperpanjang tiga hari lagi, banyak pemberitaan di media menyebut sejumlah pasangan calon siap mendaftar, yakni Syamsul Arifin (PKB) dan Siswandi (Demokrat) diusung Koalisi Majapahit.
Namun semua itu tidak terbukti karena tidak ada yang mendaftar ke KPU. Begitu juga dari Koalisi Poros Tengah yakni PKB, Hanura, dan NasDem, dikabarkan memunculkan calon Syamsul Arifin (PKB) dan Warsito (Hanura) maupun calon diusung Gerindra dan Demokrat, yakni Sukoto (non partai) dan Siswandi (Demokrat), juga tetap tidak terbukti. ”Memang lebih baik pilwali diundur daripada yang dimunculkan calon boneka. Itu pembodohan rakyat dan rakyat yang dirugikan,” ujarnya.
Berangkat ke Jakarta
Ketua Tim Kerja Koalisi Majapahit AH Thony mengatakan, sejumlah ketua DPC dari masing- masing partai kemarin berangkat ke Jakarta guna mempertanyakan soal rekomendasi calon yang akan diusung. Pihaknya tidak bisa memaksa partai- partai yang masuk dalam koalisi untuk segera mengeluarkan rekomendasi, karena itu menjadi kewenangan masing- masing partai.
”Jika nanti sudah ada rekomendasi, itu akan kami bicarakan dengan partai di koalisi. Kalau sesuai kriteria, kami akan mengusung dan mendaftarkannya ke KPU. Jika tidak sesuai, ya kami tidak mengusung,” katanya. Politikus Partai Gerindra ini menjelaskan, salah satu kriteria untuk bisa diusung adalah nama bersangkutan diusung banyak partai di Koalisi Majapahit.
Jika ternyata dari masingmasing partai merekomendasikan nama-nama berbeda, tentu akan dikaji lagi lebih mendalam. Menurut dia, idealnya ada enam pasangan calon yang diusulkan. Ini sesuai dengan jumlah partai dalam Koalisi Majapahit. ”Sampai saat ini, kami hanya bisa menunggu rekomendasi dari DPP di masingmasing partai,” ujarnya. Setidaknya ada delapan bakal calon yang diusulkan Koalisi Majapahit ke masing-masing DPP.
Untuk calon wali kota, Dhimam Abror, Sukoto, Soetjipto Joeangga, dan Syamsul Arifin. Sementara calon wakil wali kota, Basa Alim Tualeka, Siswandi, M Machmud dan Ahmad Suyanto. Sebelumnya para bakal calon ini juga menjalani tes wawancara dengan sejumlah pakar dan tim ahli yang didatangkan Koalisi Majapahit.
Tim ahli tersebut antara lain, Prof Dr Zainudin Maliki (Sosiolog Politik), Prof Dr Ach Cholis Hamzah (Ekonom), Dr Abd Holiq C (Manajemen Publik dan Perkotaan), Martono (Pakar Hukum Tata Negara), dan Dr Gitadi Tegas (Pakar Kebijakan Publik). Terpisah, Presiden Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), Yusuf Rizal, menilai pelaksanaan pilwali menimbulkan dampak negatif karena pasangan calon incumbent cenderung menciptakan kandidat bayangan (calon boneka), baik melalui jalur independen maupun parpol dan koalisi parpol dengan embel-embel politik transaksional.
”Calon boneka itu dibuat oleh pasangan incumbent supaya bisa memenuhi syarat administratif pilkada supaya tidak terjadi calon tunggal serta melanggengkan kekuasaan incumbent ,” ujar Yusuf Rizal seusai bersilaturahim dengan PWNU Jawa Timur, kemarin. Munculnya calon boneka, kata Yusuf, juga bisa menumbuhkembangkan budaya korupsi.
Pasalnya, investasi politik yang dilakukan calon incumbent untuk membuat calon boneka membutuhkan dana yang besar, baik untuk membeli rekomendasi partai atau untuk logistik mencari dukungan KTP masyarakat. ”Kalau calon incumbent terpilih kembali, tentu saat menjabat akan berusaha mengembalikan investasi politik tersebut dengan segala cara termasuk korupsi.
Jadi munculnya calon boneka itu jadi buah simalakama bagi masyarakat,” kata pria asli Banyuwangi ini. Walaupun praktik politik transaksional lewat calon boneka sulit dibuktikan, namun LIRA akan berusaha membuktikan dan melaporkan pada pihak berwajib karena itu tergolong praktik tindak pidana kriminal. ”Saya instruksikan supaya LIRA di seluruh Indonesia maupun masyarakat ikut mengawasi proses pilkada serentak yang sarat dengan politik transaksional,” kata Yusuf.
Ihya’ umuludin/ lukman hakim
Bahkan beredar informasi, tim sukses incumbent (Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana ) getol mendekati Koalisi Majapahit agar mau memunculkan calon. Hanya pendekatan itu tidak berjalan mulus. Mereka (Koalisi Majapahit) tetap menolak karena merasa tidak cocok dengan Tri Rismaharini. Kecuali bila memang ada mahar untuk kesepakatan itu. Informasi pun terus berkembang hingga Koalisi Majapahit meminta mahar Rp500 miliar kepada tim sukses incumbent.
Selain dibagikan kepada masing-masing partai, mahar tersebut juga untuk biaya operasional calon yang akan diusung selama proses pencalonan. Sayangnya kebenaran isu tersebut belum bisa dikonfirmasi. Pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Hariyadi menilai, dugaan maraknya calon boneka akibat kaderisasi kepemimpinan di masyarakat sipil dan partai politik (parpol) tidak berjalan baik.
Karena itu pasangan incumbent menjadi sangat perkasa alias tanpa tanding. Siapa pun yang maju melawan pasangan petahana bisa dipastikan kalah telak. ”Calon incumbent itu sangat kuat dan hampir tidak bisa dikalahkan. Nah, ketika ada pasangan yang memaksakan diri tetap bersaing, maka anggapan bahwa pasangan itu calon boneka bisa ada benarnya,” katanya.
Anggota Asosiasi Ilmu Politik (AIPI) Jawa Timur (Jatim) ini menambahkan, fenomena calon boneka merupakan bagian dari dinamika politik. Dia menduga muncul calon boneka lebih bersifat transaksional atau politik uang. Ini dilakukan oleh pasangan calon maupun parpol. Banyak parpol berpikiran pragmatis. ”Dari pada mengusung kader lalu kalah, lebih baik mendukung incumbent karena mendapat imbalan uang yang bisa digunakan untuk membesarkan partai,” ujarnya.
Dalam prinsip kontestasi, kata dia, harus ada pasangan calon yang menang. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan KPU harus berkaca pada pengalaman di beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat, Kanada, Malaysia, dan Filipina. Untuk mengatasi munculnya satu pasangan calon, negara-negara tersebut mempunyai skenario. Di Amerika Serikat dikenal dengan Uncontested Election atau pemilu tanpa kontestasi.
”Jika hanya ada satu pasang calon, setelah masa pendaftaran habis, yang bersangkutan ditetapkan sebagai pemenang. Istilah lainnya adalah work over (WO) atau aklamasi,” katanya. Wakil Ketua Pemuda Demokrat Jatim Hadi Margo menyatakan, munculnya calon boneka menandakan terjadi kemunduran demokrasi di Tanah Air. Sebab partai politik telah gagal mengaderisasi sehingga tidak ada calon yang memiliki keberanian maju.
”Pilwali bukan hanya dalam konteks menang atau kalah, tetapi bagaimana calon tersebut punya keberanian memberikan pelayanan terbaik bagi rakyatnya,” kata Hadi. Pernyataan Hadi ini disampaikan menyusul kuatnya calon boneka yang dimunculkan oleh sejumlah partai politik di Kota Surabaya.
Ketika incumbent Tri Rismaharini tidak punya lawan, muncul skenario calon boneka dari beberapa partai yang bermitra dengan partai pengusung incumbent (PDIP). ”Pada masa perpanjangan pendaftaran 1-3 Agustus mendatang, PDIP dan tim sukses incumbent masih berkesempatan melakukan lobi- lobi politik dengan sejumlah partai untuk kembali memunculkan calon boneka,” ungkapnya.
Sebaiknya Ditunda
Sementara Ketua Parlemen Watch Jatim Umar Salahudin menilai Pilwali Surabaya sebaiknya diundur hingga 2017 daripada memunculkan calon boneka. ”Calon boneka menjadi tragedi demokrasi di Surabaya, calon boneka membodohi rakyat,” kata Umar Salahudin. Menurut dia, kalau ada calon boneka berarti motivasinya pragmatis, yakni rela maju untuk kekalahan dan memenangkan calon lain.
Calon boneka tersebut pasti dapat benefit atau bentuk imbalan jasa. Jika sudah begitu yang dikorbankan adalah rakyat. Apalagi dengan anggaran pilkada besar seperti itu secara langsung hanya menguntungkan calon-calon boneka. ”Selamatkan demokrasi, selamatkan uang rakyat,” ujarnya. Karena itu, ujar dia, fenomena Pilwali Surabaya yang saat masa pendaftaran 26-28 Juli 2015 di KPU Surabaya hanya diikuti satu pasangan calon, yakni Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana, perlu disikapi.
Gelagat muncul calon tunggal bisa dilihat sejak pendaftaran calon perseorangan yang dibuka beberapa waktu lalu tidak ada peminatnya. Kondisi seperti ini memunculkan opini ada calon boneka yang disiapkan untuk kalah melawan calon petahana Risma- Wisnu. Namun hal itu dibantah sejumlah parpol dengan membentuk Koalisi Majapahit yang beranggotakan enam parpol, yakni Partai Demokrat, Gerindra, PKS, PKB, PAN, dan Partai Golkar.
Koalisi Majapahit menyatakan diri siap mendaftarkan cawali dan cawawalinya ke KPU Surabaya, namun sampai pendaftaran dibuka tidak ada yang muncul. Padahal sehari sebelum pendaftaran di KPU ditutup dan diperpanjang tiga hari lagi, banyak pemberitaan di media menyebut sejumlah pasangan calon siap mendaftar, yakni Syamsul Arifin (PKB) dan Siswandi (Demokrat) diusung Koalisi Majapahit.
Namun semua itu tidak terbukti karena tidak ada yang mendaftar ke KPU. Begitu juga dari Koalisi Poros Tengah yakni PKB, Hanura, dan NasDem, dikabarkan memunculkan calon Syamsul Arifin (PKB) dan Warsito (Hanura) maupun calon diusung Gerindra dan Demokrat, yakni Sukoto (non partai) dan Siswandi (Demokrat), juga tetap tidak terbukti. ”Memang lebih baik pilwali diundur daripada yang dimunculkan calon boneka. Itu pembodohan rakyat dan rakyat yang dirugikan,” ujarnya.
Berangkat ke Jakarta
Ketua Tim Kerja Koalisi Majapahit AH Thony mengatakan, sejumlah ketua DPC dari masing- masing partai kemarin berangkat ke Jakarta guna mempertanyakan soal rekomendasi calon yang akan diusung. Pihaknya tidak bisa memaksa partai- partai yang masuk dalam koalisi untuk segera mengeluarkan rekomendasi, karena itu menjadi kewenangan masing- masing partai.
”Jika nanti sudah ada rekomendasi, itu akan kami bicarakan dengan partai di koalisi. Kalau sesuai kriteria, kami akan mengusung dan mendaftarkannya ke KPU. Jika tidak sesuai, ya kami tidak mengusung,” katanya. Politikus Partai Gerindra ini menjelaskan, salah satu kriteria untuk bisa diusung adalah nama bersangkutan diusung banyak partai di Koalisi Majapahit.
Jika ternyata dari masingmasing partai merekomendasikan nama-nama berbeda, tentu akan dikaji lagi lebih mendalam. Menurut dia, idealnya ada enam pasangan calon yang diusulkan. Ini sesuai dengan jumlah partai dalam Koalisi Majapahit. ”Sampai saat ini, kami hanya bisa menunggu rekomendasi dari DPP di masingmasing partai,” ujarnya. Setidaknya ada delapan bakal calon yang diusulkan Koalisi Majapahit ke masing-masing DPP.
Untuk calon wali kota, Dhimam Abror, Sukoto, Soetjipto Joeangga, dan Syamsul Arifin. Sementara calon wakil wali kota, Basa Alim Tualeka, Siswandi, M Machmud dan Ahmad Suyanto. Sebelumnya para bakal calon ini juga menjalani tes wawancara dengan sejumlah pakar dan tim ahli yang didatangkan Koalisi Majapahit.
Tim ahli tersebut antara lain, Prof Dr Zainudin Maliki (Sosiolog Politik), Prof Dr Ach Cholis Hamzah (Ekonom), Dr Abd Holiq C (Manajemen Publik dan Perkotaan), Martono (Pakar Hukum Tata Negara), dan Dr Gitadi Tegas (Pakar Kebijakan Publik). Terpisah, Presiden Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), Yusuf Rizal, menilai pelaksanaan pilwali menimbulkan dampak negatif karena pasangan calon incumbent cenderung menciptakan kandidat bayangan (calon boneka), baik melalui jalur independen maupun parpol dan koalisi parpol dengan embel-embel politik transaksional.
”Calon boneka itu dibuat oleh pasangan incumbent supaya bisa memenuhi syarat administratif pilkada supaya tidak terjadi calon tunggal serta melanggengkan kekuasaan incumbent ,” ujar Yusuf Rizal seusai bersilaturahim dengan PWNU Jawa Timur, kemarin. Munculnya calon boneka, kata Yusuf, juga bisa menumbuhkembangkan budaya korupsi.
Pasalnya, investasi politik yang dilakukan calon incumbent untuk membuat calon boneka membutuhkan dana yang besar, baik untuk membeli rekomendasi partai atau untuk logistik mencari dukungan KTP masyarakat. ”Kalau calon incumbent terpilih kembali, tentu saat menjabat akan berusaha mengembalikan investasi politik tersebut dengan segala cara termasuk korupsi.
Jadi munculnya calon boneka itu jadi buah simalakama bagi masyarakat,” kata pria asli Banyuwangi ini. Walaupun praktik politik transaksional lewat calon boneka sulit dibuktikan, namun LIRA akan berusaha membuktikan dan melaporkan pada pihak berwajib karena itu tergolong praktik tindak pidana kriminal. ”Saya instruksikan supaya LIRA di seluruh Indonesia maupun masyarakat ikut mengawasi proses pilkada serentak yang sarat dengan politik transaksional,” kata Yusuf.
Ihya’ umuludin/ lukman hakim
(bbg)