Tak Sampai Paceklik Pangan
A
A
A
CLM Penders, seorang sejarawan Australia yang meneliti daerah Bojonegoro dalam sebuah bukunya berjudul Bojonegoro 1900-1942 : A Story of Endemic Poverty in North West East Java , menggambarkan sejarah Bojonegoro sebagai sejarah kemiskinan.
Ia menggambarkan pada periode 1900 hingga 1920 terjadi kemiskinan amat parah di Bojonegoro. Dari 50 orang yang masuk rumah sakit, setengahnya meninggal karena kekurangan gizi. Tiga jam gotong royong kerja bakti, 1 jam 30 menit di antaranya banyak yang pingsan. Pada periode selanjutnya ada momentum yang mampu memperbaiki kehidupan rakyat Bojonegoro, yaitu pembangunan Waduk Pacal pada masa Belanda (1933).
Waduk Pacal ini dibangun di daerah selatan Bojonegoro dan mampu menyuplai persediaan air untuk ribuan hektare areal persawahan di selatan dan timur Bojonegoro. Hasil panen padi melimpah dan persediaan pangan di Bojonegoro tercukupi. Kemudian pola penanaman padi sistem intensif dengan perbaikan irigasi pada masa Orde Baru, yakni sekitar tahun 1968-1998.
Wilayah Bojonegoro mempunyai masalah alamiah yang selalu dihadapi masyarakat, yaitu saat musim hujan terjadi banjir kiriman dari Sungai Bengawan Solo dan saat musim kemarau terjadi kekeringan sehingga rawan paceklik pangan. Itulah masalah klise yang selalu dihadapi Bojonegoro. Namun sekarang Bojonegoro juga dikenal sebagai daerah kaya potensi minyak dan gas buminya.
Wilayah Bojonegoro saat ini dihuni 1.209.334 penduduk. Sekitar 80% penduduknya hidup dari kegiatan pertanian. Mereka menggarap lahan kurang lebih 74.000 hektare. Sementara luas wilayah Bojonegoro sekitar 235.000 hektare dan 44% di antaranya merupakan kawasan hutan jati yang dikuasai negara lewat Perhutani. Petani yang mempunyai lahan di daerah bantaran Sungai Bengawan Solo bisa bertanam padi dua hingga tiga kali selama setahun. Sebab mereka bisa mengandalkan pasokan air dari Sungai Bengawan Solo.
Begitu pula petani yang berada di sisi timur dan selatan Bojonegoro bisa bertanam padi dua kali setahun karena bisa mengandalkan air dari Waduk Pacal. Akan tetapi, petani di daerah tadah hujan, yakni di sisi selatan dan barat Bojonegoro, biasanya hanya bisa bertanam padi sekali setahun karena mengandalkan pengairan dari air hujan. Saat kemarau beralih bertanam palawija. Namun apabila terjadi kemarau panjang, tidak jarang persawahan dibiarkan kering kerontang tidak tergarap atau bero.
Petani di daerah ladang minyak dan gas bumi (migas) Banyu Urip Blok Cepu misalnya, sering membiarkan tanah persawahan tidak tergarap saat musim kemarau panjang. Sebab air untuk pengairan sulit didapatkan. Sarmin, 62, petani di Desa Mojodelik, Kecamatan Gayam, kini memilih menanam jagung di lahan sawahnya seluas seperempat hektare. Namun, selama jagung masih berumur muda ia rela mengambil air dari sumber mata air di perkampungan kemudian menyirami tanaman jagung itu satu per satu.
Setiap hari ia memikul dua jeriken air dengan pikulan dan berjalan sekitar 200 meter ke sawahnya. “Kalau tidak disirami air, tanaman jagung yang mulai tumbuh itu bisa mati karena saking panasnya cuaca saat musim kemarau ini,” ujarnya. Petani di daerah ladang migas Banyu Urip Blok Cepu saat ini mulai menanam palawija, seperti jagung, kacang tanah, kedelai, kacang hijau, kacang tunggak, singkong, dan tembakau.
Tanaman singkong misalnya bisa untuk persediaan pangan saat menghadapi musim kemarau panjang. Singkong itu biasanya dikupas lalu dijemur beberapa hari untuk dibuat gaplek. Warga sudah biasa saat musim paceklik pangan makan gaplek itu untuk bertahan hidup. Selain itu, kalau persediaan beras sudah habis mereka biasa makan nasi jagung. Meski tinggal di daerah ladang migas, sebagian besar petani di daerah itu kesulitan pangan saat menghadapi musim kemarau panjang.
Areal pertanian di wilayah Bojonegoro yang diperkirakan dilanda kekeringan pada musim kemarau tahun ini mencapai 10 ribu hektare. Sekitar empat hektare areal pertanian yang kekeringan itu berada di daerah bantaran Sungai Bengawan Solo dan selebihnya enam hektare berada di daerah sawah tadah hujan.
Untuk membantu mengatasi kekeringan itu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman beberapa waktu lalu memberikan bantuan 300 pompa air pada petani saat berkunjung ke Bojonegoro. Menurut Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bojonegoro, Ahmad Djupari, meski terjadi kekeringan ia optimistis petani di Bojonegoro tidak sampai mengalami paceklik pangan. Sebab petani di Bojonegoro saat musim hujan (rendeng) lalu hasil panennya berhasil.
“Saya kira tidak sampai terjadi paceklik pangan itu,” ujarnya. “Biasanya saat panen padi pertama petani menjual semua gabahnya. Kemudian panen kedua dan ketiga mereka menyimpan gabah itu untuk cadangan pangan selama musim kemarau,” ujarnya.
Muhammad roqib
Ia menggambarkan pada periode 1900 hingga 1920 terjadi kemiskinan amat parah di Bojonegoro. Dari 50 orang yang masuk rumah sakit, setengahnya meninggal karena kekurangan gizi. Tiga jam gotong royong kerja bakti, 1 jam 30 menit di antaranya banyak yang pingsan. Pada periode selanjutnya ada momentum yang mampu memperbaiki kehidupan rakyat Bojonegoro, yaitu pembangunan Waduk Pacal pada masa Belanda (1933).
Waduk Pacal ini dibangun di daerah selatan Bojonegoro dan mampu menyuplai persediaan air untuk ribuan hektare areal persawahan di selatan dan timur Bojonegoro. Hasil panen padi melimpah dan persediaan pangan di Bojonegoro tercukupi. Kemudian pola penanaman padi sistem intensif dengan perbaikan irigasi pada masa Orde Baru, yakni sekitar tahun 1968-1998.
Wilayah Bojonegoro mempunyai masalah alamiah yang selalu dihadapi masyarakat, yaitu saat musim hujan terjadi banjir kiriman dari Sungai Bengawan Solo dan saat musim kemarau terjadi kekeringan sehingga rawan paceklik pangan. Itulah masalah klise yang selalu dihadapi Bojonegoro. Namun sekarang Bojonegoro juga dikenal sebagai daerah kaya potensi minyak dan gas buminya.
Wilayah Bojonegoro saat ini dihuni 1.209.334 penduduk. Sekitar 80% penduduknya hidup dari kegiatan pertanian. Mereka menggarap lahan kurang lebih 74.000 hektare. Sementara luas wilayah Bojonegoro sekitar 235.000 hektare dan 44% di antaranya merupakan kawasan hutan jati yang dikuasai negara lewat Perhutani. Petani yang mempunyai lahan di daerah bantaran Sungai Bengawan Solo bisa bertanam padi dua hingga tiga kali selama setahun. Sebab mereka bisa mengandalkan pasokan air dari Sungai Bengawan Solo.
Begitu pula petani yang berada di sisi timur dan selatan Bojonegoro bisa bertanam padi dua kali setahun karena bisa mengandalkan air dari Waduk Pacal. Akan tetapi, petani di daerah tadah hujan, yakni di sisi selatan dan barat Bojonegoro, biasanya hanya bisa bertanam padi sekali setahun karena mengandalkan pengairan dari air hujan. Saat kemarau beralih bertanam palawija. Namun apabila terjadi kemarau panjang, tidak jarang persawahan dibiarkan kering kerontang tidak tergarap atau bero.
Petani di daerah ladang minyak dan gas bumi (migas) Banyu Urip Blok Cepu misalnya, sering membiarkan tanah persawahan tidak tergarap saat musim kemarau panjang. Sebab air untuk pengairan sulit didapatkan. Sarmin, 62, petani di Desa Mojodelik, Kecamatan Gayam, kini memilih menanam jagung di lahan sawahnya seluas seperempat hektare. Namun, selama jagung masih berumur muda ia rela mengambil air dari sumber mata air di perkampungan kemudian menyirami tanaman jagung itu satu per satu.
Setiap hari ia memikul dua jeriken air dengan pikulan dan berjalan sekitar 200 meter ke sawahnya. “Kalau tidak disirami air, tanaman jagung yang mulai tumbuh itu bisa mati karena saking panasnya cuaca saat musim kemarau ini,” ujarnya. Petani di daerah ladang migas Banyu Urip Blok Cepu saat ini mulai menanam palawija, seperti jagung, kacang tanah, kedelai, kacang hijau, kacang tunggak, singkong, dan tembakau.
Tanaman singkong misalnya bisa untuk persediaan pangan saat menghadapi musim kemarau panjang. Singkong itu biasanya dikupas lalu dijemur beberapa hari untuk dibuat gaplek. Warga sudah biasa saat musim paceklik pangan makan gaplek itu untuk bertahan hidup. Selain itu, kalau persediaan beras sudah habis mereka biasa makan nasi jagung. Meski tinggal di daerah ladang migas, sebagian besar petani di daerah itu kesulitan pangan saat menghadapi musim kemarau panjang.
Areal pertanian di wilayah Bojonegoro yang diperkirakan dilanda kekeringan pada musim kemarau tahun ini mencapai 10 ribu hektare. Sekitar empat hektare areal pertanian yang kekeringan itu berada di daerah bantaran Sungai Bengawan Solo dan selebihnya enam hektare berada di daerah sawah tadah hujan.
Untuk membantu mengatasi kekeringan itu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman beberapa waktu lalu memberikan bantuan 300 pompa air pada petani saat berkunjung ke Bojonegoro. Menurut Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bojonegoro, Ahmad Djupari, meski terjadi kekeringan ia optimistis petani di Bojonegoro tidak sampai mengalami paceklik pangan. Sebab petani di Bojonegoro saat musim hujan (rendeng) lalu hasil panennya berhasil.
“Saya kira tidak sampai terjadi paceklik pangan itu,” ujarnya. “Biasanya saat panen padi pertama petani menjual semua gabahnya. Kemudian panen kedua dan ketiga mereka menyimpan gabah itu untuk cadangan pangan selama musim kemarau,” ujarnya.
Muhammad roqib
(ars)