Yogya Semakin Jauh dari Kota Budaya dan Pendidikan
A
A
A
YOGYAKARTA - Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dinilai semakin jauh dari kota wisata yang berbudaya dan berpendidikan. Hal itu terjadi karena belum adanya regulasi yang mengatur para investor yang masuk dalam bidang pariwisata.
Peneliti Ekonomi Kerakyatan Istianto Ari Wibowo dari Mubyarto Institute mengatakan, sudah menjadi suatu keharusan bahwa pemerintah daerah dalam mengatur objek-objek wisata.
"Kota kita itu kota wisata. Dalam rangka pengembangan wisata itu, jangan sampai hanya berkembang secara privat," kata dia, kepada wartawan, Rabu (15/7/2015).
Menurutnya, kondisi DIY sudah cukup berbahaya, terutama setelah kedatangan investor atau pihak swasta yang ikut dalam menanamkan modalnya ke suatu objek wisata. Hal ini berdampak pada keuntungan masyarakat yang tak maksimal.
"Masih terlalu mudah investor menanamkan modal di sini (Yogya). Jadi dalam pengembangan wisatanya pun terserah mereka, mereka mempunyai kekuatan dari berapa banyak modal yang dimilikinya," tuturnya.
Apalagi, dengan semakin tumbuh suburnya mall, serta hotel. Semakin membuat Yogya menjauh dari nilai budaya dan pendidikannya. Satu contoh lain yaitu wisata Watu Kodok, di Kabupaten Gunungkidul.
"Jadi Yogya itu bukannya mendekat, tapi menjauh dari wisata yang bernilai budaya dan pendidikan," katanya.
Ke depannya, masalah seperti ini pun harus segera teratasi. Jangan sampai semua orang terus berlomba untuk mengeksploitasi tanah Yogya.
"Kalau bicara mengenai wisata yang berpendidikan dan berbudaya, harus dipikirkan oleh semua pihak. Kalau dibiarkan sesuai mekanisme pasar, pada akhirnya tidak karuan," ucapnya.
Paling tidak, mulai melakukan kajian peraturan batasan investor dari luar daerah dalam menanamkan modalnya. "Investor menanam modal boleh tidak sih? Kalau boleh bagaimana syaratnya? Pengelolaannya tergantung negara dan masyarakat," katanya.
Apalagi, saat ini juga mulai bermunculan wisata-wisata baru. Baik di Gunungkidul, Bantul, Sleman. Misalkan, lava bantal yang ada di Kecamatan Berbah, Sleman.
Salah satu pengelolanya, Purnama yang juga anggota kelompok sadar wisata (darwis) setempat mengatakan, wisata ini memang masih belum secara resmi dibuka. Masyarakat setempat sejauh ini baru memberikan tarif parkir saja.
Sebab sudah semakin banyak orang berkunjung ke tempat ini. Regulasi atau aturan akan diapakan tempat ini pun masih sebatas rencana saja. "Untuk pemasukan kelompok darwis kita, baru karcis parkir saja. Kalau untuk tiket masih belum," pungkasnya.
Peneliti Ekonomi Kerakyatan Istianto Ari Wibowo dari Mubyarto Institute mengatakan, sudah menjadi suatu keharusan bahwa pemerintah daerah dalam mengatur objek-objek wisata.
"Kota kita itu kota wisata. Dalam rangka pengembangan wisata itu, jangan sampai hanya berkembang secara privat," kata dia, kepada wartawan, Rabu (15/7/2015).
Menurutnya, kondisi DIY sudah cukup berbahaya, terutama setelah kedatangan investor atau pihak swasta yang ikut dalam menanamkan modalnya ke suatu objek wisata. Hal ini berdampak pada keuntungan masyarakat yang tak maksimal.
"Masih terlalu mudah investor menanamkan modal di sini (Yogya). Jadi dalam pengembangan wisatanya pun terserah mereka, mereka mempunyai kekuatan dari berapa banyak modal yang dimilikinya," tuturnya.
Apalagi, dengan semakin tumbuh suburnya mall, serta hotel. Semakin membuat Yogya menjauh dari nilai budaya dan pendidikannya. Satu contoh lain yaitu wisata Watu Kodok, di Kabupaten Gunungkidul.
"Jadi Yogya itu bukannya mendekat, tapi menjauh dari wisata yang bernilai budaya dan pendidikan," katanya.
Ke depannya, masalah seperti ini pun harus segera teratasi. Jangan sampai semua orang terus berlomba untuk mengeksploitasi tanah Yogya.
"Kalau bicara mengenai wisata yang berpendidikan dan berbudaya, harus dipikirkan oleh semua pihak. Kalau dibiarkan sesuai mekanisme pasar, pada akhirnya tidak karuan," ucapnya.
Paling tidak, mulai melakukan kajian peraturan batasan investor dari luar daerah dalam menanamkan modalnya. "Investor menanam modal boleh tidak sih? Kalau boleh bagaimana syaratnya? Pengelolaannya tergantung negara dan masyarakat," katanya.
Apalagi, saat ini juga mulai bermunculan wisata-wisata baru. Baik di Gunungkidul, Bantul, Sleman. Misalkan, lava bantal yang ada di Kecamatan Berbah, Sleman.
Salah satu pengelolanya, Purnama yang juga anggota kelompok sadar wisata (darwis) setempat mengatakan, wisata ini memang masih belum secara resmi dibuka. Masyarakat setempat sejauh ini baru memberikan tarif parkir saja.
Sebab sudah semakin banyak orang berkunjung ke tempat ini. Regulasi atau aturan akan diapakan tempat ini pun masih sebatas rencana saja. "Untuk pemasukan kelompok darwis kita, baru karcis parkir saja. Kalau untuk tiket masih belum," pungkasnya.
(san)