Tuli Tradisi dan Budaya Jual Diri (2-Habis)

Rabu, 01 Juli 2015 - 09:42 WIB
Tuli Tradisi dan Budaya Jual Diri (2-Habis)
Tuli Tradisi dan Budaya Jual Diri (2-Habis)
A A A
Si budeg seperti tak mau tahu, terus bertanya lagi, ‘Gering naon maot na? Lamun gering liver kuduna diubaran ku tutut (meninggal karena sakit apa?

Kalau sakit liver mestinya diobati dengan tutut)’. Saking pusingnya Tetua kampung, si budeg sam pai digusur dibawa ke Balai Mu sya wa rah,” urai Ma Icih. “Ah, kamu mah Icih, suka ke mana aja,” ujar Mang Udin. “Kalau yang budeg mah se la lu ada di mana saja dan dia tidak diberikan ke wa jiban untuk mendengar, karena seluruh suara yang menggelegar sekalipun bagi si budeg mah nggak pengaruh dan tidak menjadi dosa bagi dirinya.

Lodong di le dak kan, kentongan dipukul, bedug ditabuh ada lah untuk mereka yang memiliki pe n dengaran, sehingga pendengarannya mem pe nga ruhi syaraf otak yang digerakkan oleh hati yang bersih. Itulah tanda-tan da ke agung an Sang Pen cipta yang di ter jemah kan dalam budaya adiluhung bangsa kita.” Ma Icih menimpali, “Iyah Aki, tradisi lodong itu tradisi arif dan sangat aman. Ke napa atuh berubah menjadi tradisi petasan yang serba beli dan serba impor.”

“Yah, itu kan ketidakpercayaan bangsa kita pada tradisi leluhurnya sendiri yang jauh lebih mandiri, sehingga seolah kalau tid ak beli itu tidak bergengsi. Padahal dari ke biasaan beli itulah, krisis ekonomi sering terjadi melanda bangsa kita. Coba Icih kalau kita mandiri, beras kita punya, ikan kita pu nya, daging kita punya, kayu bakar kita punya, kapas kita punya, benang kita buat, ka in kita tenun, dijahit oleh kita sendiri. Ka lau urusan jarum dan mesin, masa sih kita nggak bisa bikin? Pesawat udara saja kita bisa buat, apalagi mesin jahit, jarum, kan cing cetét dan retsleting. Terlalu mudah bagi kita untuk mem buat nya,” ujar Mang Udin mem benar kan ucap an Ma Icih. “Betul Udin.

Tapi memang bangsa kita itu suka melecehkan hal yang kecil, tidak mau menekuninya dengan baik, serba ins tan, tidak mau repot, sok banyak uang pa da hal meunang nginjeum (hasil berutang). Ini lah yang mesti diubah pada sistem pen di dik an kita; anak laki-laki diajarkan untuk me na nam padi dan memelihara ternak, anak perempuan diajarkan untuk menjahit, menenun, menyulam dan memasak. Jangan sam pai setelah berumah tangga, nganterin opor ayam dan kupat (ketupat) buat mertua harus pesan dari katering,” timpal Ma Icih.

Mang Udin mengangguk, “Benar Icih. Pe ri laku hidup yang serba mudah dan serba ‘wah’ akan depresi ketika tidak punya uang. Se hing ga banyak orang yang ingin men dapatkan uang dengan cara gampang. Anak muda banyak yang menjadi pengedar narkoba, anak perempuannya banyak yang me la curkan diri hanya untuk gengsi.” “Bisa jadi, Udin. Lamun boga salaki mah teu kaharti, da gajihna leutik, komo ka kuli macul mah, sabulan paling meunangRp900.000. Tapi kalau jual jasa prostitusi, sa kali macul (sekali nyangkul) bisa dapat Rp200.000sampai Rp200 juta,” ujar Ma Icih.

“Éta Icih, Aki pengen merasakan gimana ra sa pacul (cangkul) Rp200.000 dan rasa pacul Rp200 juta,” goda Mang Udin. “Meunggeus Udin, suka ke mana saja. Yang namanya macul, mahal atau murah, ya sa ma saja. Gagah di awal, menyesal di ujung. Apalagi muka kaya kamu, Udin. Baru ber awal sudah berujung,” gerutu Ma Icih. “Ah, kamu mah ngeledek Icih. Biar sudah tua begini, Aki masih kuat nyangkul dua ko tak di bulan puasa, tanpa menggunakan fa si litas pengecualian dalam berpuasa,” ujar Mang Udin bangga.

“Sudah, Udin. Tuh, dengarkan, kohkol su dah dipukul. Sebentar lagi bedug ditabuh, tan danya kita buka puasa,” potong Ma Icih. “Hayu atuhkita pulang. Bukanya nanti sama apa, Icih?” kata Mang Udin. “Sebagai penganut paham ajaran Islam Nu - santara ala Sunda, kita disunatkan untuk berbuka pake kolek kolang kaling, gu la nya gula aren, kelapanya dari kebun sen diri,” ujar Ma Icih. “Betul, Icih! Aki yakin, pahalanya sama de n gan kita berbuka dengan kurma,” timpal Mang Udin.

“Sip deh, Aki. Makannya sama nasi merah, sambel muncang, lalab daun jengkol mu da, pais hurang. Sedaaap... Insya Allah Kan jeng Nabi meridloi, asal makannya tidak kekenyangan dan ngajakin tetangga untuk makan bersama. Itu namanya ber - jamaah, identitas kebudayaan kita,” ujar Ma Icih. “Iya Icih, kalau direnungkan titah dan tradisi Kanjeng Nabi itu, persis kebiasaan dan tradisi kita. Cuma bedanya Kanjeng Na bi mah di Arab, kita di Sunda,“ ujar Mang Udin.

“Iya Udin, Nini juga rindu pada kemuliaan Kanjeng Nabi. Makanya setiap Nini punya niat selalu diawali dengan nga ra sul keun yang ditandai dengan tradisi ber kum pul dan berbagi dengan tetangga,” kata Ma Icih menutup pembicaraan.

Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8227 seconds (0.1#10.140)
pixels