DPD Sesumbar Bantu Warga Eks Dolly
A
A
A
SURABAYA - Warga terdampak penutupan lokalisasi Dolly menagih janji Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Mereka berharap ada pemberian modal dan pendampingan lebih maksimal sehingga tetap survive setelah keluar dari lingkungan hitam prostitusi.
Keluhan ini kemarin disampaikan perwakilan warga terdampak kepada Komite II DPD RI saat berkunjung ke wisma pelatihan di Gang Dolly. ”Sampai saat ini warga terdampak masih merana. Uang pesangon penutupan lokalisasi sudah habis, sedangkan pekerjaan pengganti belum ada,” ungkap Humas Ikatan Dai Kawasan Lokalisasi, Gatot Subiantoro.
Gatot menyebutkan, ada ribuan warga terdampak di lima RW yang kini terganggu dari sisi ekonomi. Mereka adalah para buruh parkir, buruh cuci, penjaga wisma, hingga pedagang kaki lima (PKL) di sekitar kawasan lokalisasi. ”Sejak lokalisasi resmi ditutup setahun lalu, mereka praktis tidak punya pemasukan lagi. Mereka yang masih kuat ya bekerja serabutan, tetapi yang tidak terpaksa menganggur,” ucap mantan mucikari ini.
Gatot mengakui bahwa Pemkot Surabaya sudah memfasilitasi warga dengan memberikan pelatihan keterampilan, di antaranya menjahit dan membatik. Hasilnya, lebih dari 50 warga berhasil dikontrak oleh rekanan produsen sepatu untuk ikut memproduksi. Namun, kontrak tersebut telah habis beberapa bulan lalu, sehingga warga kembali menganggur. ”Sampai saat ini baru Kementerian Sosial yang datang memberi sumbangan, sedangkan Kementerian Perdagangan, Industri, dan UKM belum ada respons,” ucapnya.
Anggota Komite II DPD RI, Ahmad Nawardi, berjanji akan memfasilitasi semua keluhan warga terdampak lokalisasi. Misalnya melakukan komunikasi dengan Kementerian Koperasi dan Kementerian Perdagangan untuk membantu mengatasi persoalan di lokalisasi.
”Kami akan membentuk tim kerja khusus masalah ini. Kami akan berkomunikasi dengan kementerian terkait sehingga bisa mengakomodasi kebutuhan warga. Prinsipnya mereka ini harus dibantu fasilitas, pemasaran, dan modal,” ujarnya.
Nawardi menyatakan, warga terdampak memang menjadi subjek perhatian anggota DPD. Sebab, DPD ingin para anggota terdampak tetap berdaya secara ekonomi maupun sosial, pascapenutupan lokalisasi. ”Ini tugas kami untuk menampung aspirasi langsung dari mereka, tentang bagaimana nasib mereka setelah lokalisasi terbesar se- Asia Tenggara ini ditutup,” kata dia.
Di bagian lain, Pemkot Surabaya mengalokasikan anggaran Rp2 miliar untuk membebaskan bangunan eks lokalisasi. Dana tersebut tidak hanya diperuntukkan bangunan di eks lokalisasi Dolly saja, tapi juga sejumlah eks lokalisasi lainnya seperti Dupak Bangunsari, Sememi, Klakah Rejo, dan Tambak Asri.
Sementara Kepala Dinas Pengelolaan Tanah dan Bangunan (DPTB) Kota Surabaya, Maria Theresia Rahayu, mengatakan, anggaran tersebut tidak bersifat multiyears . Pembelian terhadap bangunan milik warga mengacu nilai jual objek pajak (NJOP). ”Meski tahun ini proses pembebasan bangunan belum selesai, akan kami lanjutkan tahun depan. Dananya tetap menggunakan yang dianggarkan tahun ini. Kalau nanti harganya lebih mahal karena tahunnya bertambah, saya kira tidak juga,” katanya.
Mantan kepala bagian (kabag) hukum Pemkot Surabaya ini mengungkapkan, sejak ditutup pada Juni tahun lalu, hingga sekarang sudah ada lima bangunan di Dolly yang dijual ke pemkot. Salah satu dari bangunan itu adalah wisma Barbara. Wisma ini merupakan yang terbesar di Dolly. Bahkan, wisma ini menjadi yang paling favorit. ”Tahun ini ada 5-10 bangunan yang oleh warga setempat ditawarkan ke kami,” ujarnya.
Sementara itu, Pemkot Surabaya mengirim sejumlah warga eks Lokalisasi Dolly ke Pacitan dan Kalimantan untuk menimba ilmu pembuatan batu akik. Ini dilakukan sebagai persiapan Dolly sebagai sentra batu akik di Kota Pahlawan. Kedua daerah tersebut dipilih lantaran dianggap memiliki pengalaman khusus dalam mengembangkan potensi batu akik.
”Warga eks lokalisasi yang dikirim diharapkan mampu menerapkan ilmu ketika kembali ke Surabaya,” ujar Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya, Hendro Gunawan.
Ihya’ ulumuddin/ lukman hakim
Keluhan ini kemarin disampaikan perwakilan warga terdampak kepada Komite II DPD RI saat berkunjung ke wisma pelatihan di Gang Dolly. ”Sampai saat ini warga terdampak masih merana. Uang pesangon penutupan lokalisasi sudah habis, sedangkan pekerjaan pengganti belum ada,” ungkap Humas Ikatan Dai Kawasan Lokalisasi, Gatot Subiantoro.
Gatot menyebutkan, ada ribuan warga terdampak di lima RW yang kini terganggu dari sisi ekonomi. Mereka adalah para buruh parkir, buruh cuci, penjaga wisma, hingga pedagang kaki lima (PKL) di sekitar kawasan lokalisasi. ”Sejak lokalisasi resmi ditutup setahun lalu, mereka praktis tidak punya pemasukan lagi. Mereka yang masih kuat ya bekerja serabutan, tetapi yang tidak terpaksa menganggur,” ucap mantan mucikari ini.
Gatot mengakui bahwa Pemkot Surabaya sudah memfasilitasi warga dengan memberikan pelatihan keterampilan, di antaranya menjahit dan membatik. Hasilnya, lebih dari 50 warga berhasil dikontrak oleh rekanan produsen sepatu untuk ikut memproduksi. Namun, kontrak tersebut telah habis beberapa bulan lalu, sehingga warga kembali menganggur. ”Sampai saat ini baru Kementerian Sosial yang datang memberi sumbangan, sedangkan Kementerian Perdagangan, Industri, dan UKM belum ada respons,” ucapnya.
Anggota Komite II DPD RI, Ahmad Nawardi, berjanji akan memfasilitasi semua keluhan warga terdampak lokalisasi. Misalnya melakukan komunikasi dengan Kementerian Koperasi dan Kementerian Perdagangan untuk membantu mengatasi persoalan di lokalisasi.
”Kami akan membentuk tim kerja khusus masalah ini. Kami akan berkomunikasi dengan kementerian terkait sehingga bisa mengakomodasi kebutuhan warga. Prinsipnya mereka ini harus dibantu fasilitas, pemasaran, dan modal,” ujarnya.
Nawardi menyatakan, warga terdampak memang menjadi subjek perhatian anggota DPD. Sebab, DPD ingin para anggota terdampak tetap berdaya secara ekonomi maupun sosial, pascapenutupan lokalisasi. ”Ini tugas kami untuk menampung aspirasi langsung dari mereka, tentang bagaimana nasib mereka setelah lokalisasi terbesar se- Asia Tenggara ini ditutup,” kata dia.
Di bagian lain, Pemkot Surabaya mengalokasikan anggaran Rp2 miliar untuk membebaskan bangunan eks lokalisasi. Dana tersebut tidak hanya diperuntukkan bangunan di eks lokalisasi Dolly saja, tapi juga sejumlah eks lokalisasi lainnya seperti Dupak Bangunsari, Sememi, Klakah Rejo, dan Tambak Asri.
Sementara Kepala Dinas Pengelolaan Tanah dan Bangunan (DPTB) Kota Surabaya, Maria Theresia Rahayu, mengatakan, anggaran tersebut tidak bersifat multiyears . Pembelian terhadap bangunan milik warga mengacu nilai jual objek pajak (NJOP). ”Meski tahun ini proses pembebasan bangunan belum selesai, akan kami lanjutkan tahun depan. Dananya tetap menggunakan yang dianggarkan tahun ini. Kalau nanti harganya lebih mahal karena tahunnya bertambah, saya kira tidak juga,” katanya.
Mantan kepala bagian (kabag) hukum Pemkot Surabaya ini mengungkapkan, sejak ditutup pada Juni tahun lalu, hingga sekarang sudah ada lima bangunan di Dolly yang dijual ke pemkot. Salah satu dari bangunan itu adalah wisma Barbara. Wisma ini merupakan yang terbesar di Dolly. Bahkan, wisma ini menjadi yang paling favorit. ”Tahun ini ada 5-10 bangunan yang oleh warga setempat ditawarkan ke kami,” ujarnya.
Sementara itu, Pemkot Surabaya mengirim sejumlah warga eks Lokalisasi Dolly ke Pacitan dan Kalimantan untuk menimba ilmu pembuatan batu akik. Ini dilakukan sebagai persiapan Dolly sebagai sentra batu akik di Kota Pahlawan. Kedua daerah tersebut dipilih lantaran dianggap memiliki pengalaman khusus dalam mengembangkan potensi batu akik.
”Warga eks lokalisasi yang dikirim diharapkan mampu menerapkan ilmu ketika kembali ke Surabaya,” ujar Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya, Hendro Gunawan.
Ihya’ ulumuddin/ lukman hakim
(ftr)