Ramadan, Bulan Penuh Renjana

Minggu, 21 Juni 2015 - 08:57 WIB
Ramadan, Bulan Penuh...
Ramadan, Bulan Penuh Renjana
A A A
PUASA Ramadan tahun ini serentak dimulai pada Kamis, 18 Juni 2015. Ini artinya sepekan sebelum bulan suci itu datang, masyarakat melaksanakan tradisi yang masih lestari di Surabaya, yaitu megengan .

Menyambut Ramadan, masyarakat saling berkirim makanan dengan salah satu kue khasnya, apem. Namun, tahun ini kami sungguh ”gelagapan” diserang ”pasukan apem” itu. Minggu (14/6) pagi, kami hendak pergi ke Pasar Dukuh Setro.

Mumpung hari libur, kami ingin memasak sedikit istimewa untuk keluarga. Namun, sebelum kami ke luar rumah, seorang bocah kecil, anak tetangga, datang membawa sekotak makanan berisi nasi dan jajan. ”Ini dari ibu,” katanya. Sekotak makanan itu kami terima dan disimpan di meja makan. Belum sempat kami keluar, kiriman makanan datang lagi. Tiba-tiba kami merasa harus menunda belanja ke pasar.

Sepertinya pada hari libur ini, warga kampung Lebak Rejo sama-sama punya waktu luang untuk megengan . Kami pun memutuskan hanya membeli 1 kg telur yang harganya sudah mencapai Rp23.000. Dua kotak nasi sudah menumpuk di meja makan. Kami sekeluarga akhirnya memilih sarapan dengan nasi-nasi kotak itu. Dua kotak nasi itu komposisinya juga sama, nasi putih, mi, tumis buncis, telur rebus, ayam bali. Seusai sarapan, kami menikmati liburan dengan melihat acara televisi.

Berita-berita dipenuhi informasi kenaikan harga sembako, operasi pasar, hingga pro-kontra pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang melarang tadarus menggunakan pengeras suara. Di sela-sela waktu santai itu, datang lagi kiriman makanan dari tetangga. Sekotak makanan dengan komposisi yang nyaris sama, hanya yang ini bukan mi, tapi bihun. Untuk kue, tetap apem plus pisang. Setelah menerima kotak makanan itu, di televisi tampak tayangan infotainment . Berita didominasi para selebritis yang ziarah makam (nyekar) atau dalam tradisi Jawa disebut nyadran .

Sulit menebak atau menilai kesungguhan aktivitas itu di antara gempuran buruk sangka bahwa itu hanya ikut-ikutan atau bahkan hanya sekadar pencitraan. Sakralitas yang seharusnya membuat manusia teringat akan maut yang setiap saat menjemput menjadi terganggu dengan aktivitas selfie . Betapa sungguh konyol mengajak batu nisan berfoto bersama. Anak-anak perempuan kami yang sedang bermain di luar rumah tiba-tiba masuk membawa (lagi) dua kotak makanan sekaligus.

”Ini dari mamanya Alif dan mbahnya Aidin,” kata Naila sambil meletakkan makanan itu di meja. Tangantangan mungilnya membuka kotak kardus dan ia ingin mengambil salah satu kue. Satu kotak ditutup, satu kotak lain dibuka. ”Kok sama semua jajannya. Aku ambil pisang saja wis ,” ujar dia sambil berlari kecil keluar rumah melanjutkan permainannya. Hari itu, dalam sehari, kami mendapat rezeki makan gratis. Tak elok kiranya membiarkan makanan itu mubazir.

Sekitar delapan kotak makanan yang kami terima hingga sore hari. Maka kami pun dalam sehari menyantap menu istimewa, nasi putih, telur rebus, mi, tumis buncis, dan bali ayam, ditambah jajanan spesial apem dan buah pisang. Alhamdulillah, meski sesungguhnya perut kami gelagapan diserang megengan , setidaknya semangat megengan masih ada di kota ini. Entah dengan mengerti maknanya atau hanya ikut-ikutan. Kini Ramadan sudah berjalan tiga hari, Sabtu (20/6).

Ramadan tidak bisa dipungkiri sebagai bulan yang menjanjikan perputaran uang cukup tinggi. Betapa tidak, semua makanan yang dijual menjelang buka puasa pasti laku sehingga banyak pedagang makanan dadakan. Belum lagi perang diskon pakaian di pusat-pusat perbelanjaan membuat masyarakat lupa akan makna puasa sesungguhnya yang tersirat lewat megengan di awal Ramadan. Jika tidak berhati-hati, Ramadan malah bisa menjadi bulan penuh renjana (hasrat).

(Nyaris) Kehilangan Makna

Tradisi megengan memang sangat khas Jawa. Tradisi ini biasanya dilaksanakan menjelang puasa. Tradisi ini sungguh-sungguh merupakan tradisi indigenius atau khas yang tidak dimiliki Islam di tempat lain. Sama dengan tradisitradisi lain di Islam Jawa, tradisi ini juga tidak diketahui pasti siapa yang menciptakan dan mengawalinya. Tetapi, tentu ada dugaan kuat jika tradisi ini diciptakan Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga.

”Memang hal ini baru sebatas dugaan. Namun, mengingat bahwa kreasikreasi tentang Islam Jawa, terutama yang menyangkut tradisi-tradisi baru akulturatif yang variatif tersebut kebanyakan datang dari pemikiran Kanjeng Sunan Kalijaga, maka kiranya dugaan ini pun bisa dipertanggungjawabkan,” kata guru besar UNI Sunan Ampel Nur Syam. Megengan secara lughawi , kata Nur Syam, berarti menahan.

Misalnya, dalam ungkapan megeng napas, artinya menahan napas, megeng hawa nafsu artinya menahan hawa nafsu dan sebagainya. Di konteks puasa, yang dimaksud yakni menahan hawa nafsu selama bulan puasa. Secara simbolik, upacara megengan berarti menjadi penanda manusia akan memasuki bulan puasa sehingga harus menahan hawa nafsu, baik yang terkait makan, minum, hubungan seksual, maupun nafsu lainnya.

Dengan demikian, megeng berarti suatu penanda bagi orang Islam untuk melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan yang sangat disucikan dalam Islam. ”Wali Songo memang mengajarkan Islam kepada masyarakat dengan berbagai simbol. Untuk itu, dibuatlah tradisi untuk menandainya, yang kebanyakan menggunakan medium selametan, meskipun namanya sangat bervariasi,” kata Nur Syam.

Nur Syam mengatakan, yang ditangkap sebagian masyarakat Islam saat ini hanya simbolnya belaka. Padahal, jika yang ditangkap itu tidak hanya simbol, tetapi juga substansinya, sesungguhnya ada pesan moral yang sangat mendasar.

Misalnya, tradisi megengan secara substansial merupakan simbolisasi puasa adalah hari di mana seseorang harus menahan nafsu agar jangan sampai keliru dalam melakukan tindakan pada bulan puasa.

Zaki zubaidi
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1110 seconds (0.1#10.140)