Suspect MERS Muncul di Tanjung Perak
A
A
A
SURABAYA - Seorang pasien suspect mengidap virus Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) muncul di Surabaya.
Pasien yang bekerja sebagai anak buah kapal dari Korea Selatan ini terpaksa dirawat di RSU dr Soetomo karena suhu badannya tinggi. Informasi yang berhasil dihimpun, pasien suspect MERS berinisial D tersebut merapat bersama anak buah kapal (ABK) lainnya di Tanjung Perak pada Minggu (14/6). Pada saat pergantian ABK, D menjalani pemeriksaan kesehatan sehingga diketahui memiliki ciri-ciri MERS.
Petugas kemudian membawa ke RS Port Health Centre (PHC) Tanjung Perak. Sejak Selasa (16/6), D lantas dirawat di RSU dr Soetomo. Pria berusia 36 tahun itu mendapatkan penanganan sebagaimana pasien suspect MERS sebelumnya. Ia dirawat di ruang isolasi khusus untuk menghindari kontak dengan pasien lain karena virus MERS mudah tersebar.
Bahkan saat datang dari RS PHC, D juga melewati jalur khusus sehingga aman dari kontak pasien umum. Sampel pasien telah dikirim ke Jakarta untuk uji laboratorium. Sambil menunggu uji laboratorium, pasien suspect MERS ini ditangani dr Winariani Koesoemoprodjo, Sp.P. Menurut dia, tantangan merawat pasien suspect MERS terkendala bahasa.
D hanya bisa berbahasa Mandarin dan sedikit menguasai bahasa Inggris. ”Kami melakukan perawatan sebagaimana mestinya mencegah berkembangnya penyakit sambil juga menunggu hasil uji lab yang sudah kami kirim ke Jakarta,” ungkap Winariani.
Peneliti dari Avian Influenza- Zoonosis Research Center (AIRC) Universitas Airlangga Surabaya, Prof Dr drh CA Nidom, MS, menyarankan pemerintah mengajak maskapai penerbangan yang memiliki rute dari/ke negara berpotensi MERS untuk mencegah penularannya.
”Bisa saja dicegah dengan memasang alat deteksi di setiap bandara, namun hal itu masih mungkin kecolongan karena MERS (sindrom pernapasan Timur Tengah) itu memiliki masa inkubasi agak lama, sehingga saat dideteksi mungkin saja belum terlihat,” katanya di Surabaya, kemarin.
Ia mengemukakan, hal itu menanggapi mewabahnya MERS di antaranya Korea Selatan yang melaporkan, Rabu (17/6) bahwa 20 orang dari 42 pasien MERS di negara itu meninggal dunia. Di dunia, 6.508 orang sudah dikarantina.
Menurut ahli Biomolekuler Unair Surabaya itu, MERS secara virologi sebenarnya tidak mengkhawatirkan, seperti Ebola dan Flu Burung, karena korban meninggal tergolong rendah. ”Kalau kasus Flu Burung itu bisa 80% pasien meninggal dunia, sedangkan kasus MERS di dunia itu hanya 40 orang meninggal dunia dari 6.500-an pasien yang ada atau tidak sampai 10%,” katanya.
Masalahnya MERS itu sulit dideteksi perkembangannya, karena bisa berpotensi berkolaborasi dengan virus lain sehingga persebaran virus MERS itu sulit diprediksi (unpredictable). ”Itu juga menjadi masalah Indonesia, karena Indonesia merupakan negara terbuka yang memungkinkan pasien belum sakit akan masuk ke Indonesia dan setelah beberapa lama akan kelihatan,” katanya.
Oleh karena itu, solusi maksimal bukan dengan mendeteksi di bandara, meski MERS merupakan virus internasional yang bisa melintas lewat pintupintu bandara internasional. ”Pemerintah selaku pengelola bandara internasional harus bekerja sama dengan maskapai penerbangan internasional untuk menyemprot kabin dan karpet garbarata dengan desinfektan tertentu sebelum penumpang turun, terutama maskapai dari negara sumber MERS di antaranya Korea dan Arab Saudi,” katanya.
Tentu pemerintah bisa memberi subsidi pada maskapai penerbangan yang diajak kerja sama. Namun hal itu merupakan solusi terbaik daripada ”menunggu” di pintu bandara internasional yang mungkin bisa kecolongan. ”Kalau cuma mendeteksi di pintu-pintu bandara justru bisa kecolongan, karena gejala MERS itu seperti flu dengan masa inkubasi agak lama sehingga tidak terlihat saat dideteksi dengan deteksi suhu,” katanya.
Prof Nidom juga mengingatkankekhawatiranterhadap influenza pada sapi yang diawali dengan kejadian di Amerika, lalu virusinfluenzasapiatauvirusFlu D itu juga ditemukan pada sapi di Tiongkok dan Prancis. ”AIRC sedang intensif memantau keberadaan virus influenza sapi itu pada sapi-sapi lokal untuk mendeteksi kemungkinan virus Flu D itu sudah ada di Indonesia atau tidak,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair itu.
Oleh karena itu, perlu perhatian terhadap virus Flu D yang merupakan hasil kolaborasi virus Flu C dengan ”virus asing” itu agar tidak terjadi bencana kehancuran peternakan yang sempat terjadi pada virus Flu A (Flu Burung) pada 2003.
Thailand Rawat Satu Pasien MERS
Dari mancanegara, Thailand memastikan ada penderita MERS dirawat di negeri itu. Menteri Kesehatan Masyarakat Rajata Rajatanavin pada jumpa pers menyatakan seorang pengusaha berusia 75 tahun dari Oman dipastikan terpapar MERS.
”Dari dua uji laboratorium, kami memastikan menemukan virus MERS, kata Rajata sambil menambahkan bahwa orang itu melakukan perjalanan ke Bangkok untuk pengobatan jantung. ”Pada hari pertama kedatangannya, ia diperiksa untuk virus itu. Pasien tersebut terpapar virus MERS,” katanya.
Menteri kesehatan itu menyatakan 59 orang lain dipantau terkait dengan virus tersebut, termasuk tiga kerabat pria itu yang melakukan perjalanan dengannya ke Bangkok. MERS disebabkan oleh ”coronavirus” dari keluarga sama seperti yang memicu wabah mematikan sangat parah pernapasan (SARS) di Tiongkok pada 2003.
Sebagian besar paparan dan kematian MERS terjadi di Arab Saudi, tempat lebih dari 1.000 orang terjangkit sejak 2012 dan sekitar 454 tewas. Pada bulan lalu, wabah MERS melanda Korea Selatan menewaskan 23 orang. Sejumlah 165 orang terpapar dan 6.700 orang dikarantina. Namun, ada tanda bahwa wabah itu yang terbesar di luar Arab Saudi mungkin berkurang di Korea Selatan.
Jumlah harian penderita baru turun menjadi satu angka pada pekan ini jika dibandingkan dengan 23 pada pekan lalu. Tiga dilaporkan pada Kamis, angka terendah sejak 1 Juni. Semua paparan di Korea Selatan terjadi di sarana kesehatan. Sedikitnya tiga rumah sakit ditutup sebagian dan dua dikunci dengan pasien dan petugas kesehatan di dalamnya.
Tiongkok dan Filipina juga melaporkan satu penderita pada tahun ini. Dua hari lalu, Korea Selatan melaporkan delapan lagi kasus penularan MERS dan satu kematian, sehingga jumlah seluruh korban meninggal 20 orang. Kwon Jun-wook, Direktur Jenderal Kebijakan Kesehatan Masyarakat di Kementerian Kesehatan mengatakan, dalam satu taklimat rutin bahwa pasien ke-42 meninggal pada pagi hari.
Sementara seorang perempuan yang berusia 54 tahun dan terinfeksi pada 25 Mei, menderita tekanan darah tinggi dan gangguan saluran tenggorokan. Kematian tersebut membuat jumlah pasien yang meninggal naik menjadi 20 orang.
Mamik wijayanti/ant
Pasien yang bekerja sebagai anak buah kapal dari Korea Selatan ini terpaksa dirawat di RSU dr Soetomo karena suhu badannya tinggi. Informasi yang berhasil dihimpun, pasien suspect MERS berinisial D tersebut merapat bersama anak buah kapal (ABK) lainnya di Tanjung Perak pada Minggu (14/6). Pada saat pergantian ABK, D menjalani pemeriksaan kesehatan sehingga diketahui memiliki ciri-ciri MERS.
Petugas kemudian membawa ke RS Port Health Centre (PHC) Tanjung Perak. Sejak Selasa (16/6), D lantas dirawat di RSU dr Soetomo. Pria berusia 36 tahun itu mendapatkan penanganan sebagaimana pasien suspect MERS sebelumnya. Ia dirawat di ruang isolasi khusus untuk menghindari kontak dengan pasien lain karena virus MERS mudah tersebar.
Bahkan saat datang dari RS PHC, D juga melewati jalur khusus sehingga aman dari kontak pasien umum. Sampel pasien telah dikirim ke Jakarta untuk uji laboratorium. Sambil menunggu uji laboratorium, pasien suspect MERS ini ditangani dr Winariani Koesoemoprodjo, Sp.P. Menurut dia, tantangan merawat pasien suspect MERS terkendala bahasa.
D hanya bisa berbahasa Mandarin dan sedikit menguasai bahasa Inggris. ”Kami melakukan perawatan sebagaimana mestinya mencegah berkembangnya penyakit sambil juga menunggu hasil uji lab yang sudah kami kirim ke Jakarta,” ungkap Winariani.
Peneliti dari Avian Influenza- Zoonosis Research Center (AIRC) Universitas Airlangga Surabaya, Prof Dr drh CA Nidom, MS, menyarankan pemerintah mengajak maskapai penerbangan yang memiliki rute dari/ke negara berpotensi MERS untuk mencegah penularannya.
”Bisa saja dicegah dengan memasang alat deteksi di setiap bandara, namun hal itu masih mungkin kecolongan karena MERS (sindrom pernapasan Timur Tengah) itu memiliki masa inkubasi agak lama, sehingga saat dideteksi mungkin saja belum terlihat,” katanya di Surabaya, kemarin.
Ia mengemukakan, hal itu menanggapi mewabahnya MERS di antaranya Korea Selatan yang melaporkan, Rabu (17/6) bahwa 20 orang dari 42 pasien MERS di negara itu meninggal dunia. Di dunia, 6.508 orang sudah dikarantina.
Menurut ahli Biomolekuler Unair Surabaya itu, MERS secara virologi sebenarnya tidak mengkhawatirkan, seperti Ebola dan Flu Burung, karena korban meninggal tergolong rendah. ”Kalau kasus Flu Burung itu bisa 80% pasien meninggal dunia, sedangkan kasus MERS di dunia itu hanya 40 orang meninggal dunia dari 6.500-an pasien yang ada atau tidak sampai 10%,” katanya.
Masalahnya MERS itu sulit dideteksi perkembangannya, karena bisa berpotensi berkolaborasi dengan virus lain sehingga persebaran virus MERS itu sulit diprediksi (unpredictable). ”Itu juga menjadi masalah Indonesia, karena Indonesia merupakan negara terbuka yang memungkinkan pasien belum sakit akan masuk ke Indonesia dan setelah beberapa lama akan kelihatan,” katanya.
Oleh karena itu, solusi maksimal bukan dengan mendeteksi di bandara, meski MERS merupakan virus internasional yang bisa melintas lewat pintupintu bandara internasional. ”Pemerintah selaku pengelola bandara internasional harus bekerja sama dengan maskapai penerbangan internasional untuk menyemprot kabin dan karpet garbarata dengan desinfektan tertentu sebelum penumpang turun, terutama maskapai dari negara sumber MERS di antaranya Korea dan Arab Saudi,” katanya.
Tentu pemerintah bisa memberi subsidi pada maskapai penerbangan yang diajak kerja sama. Namun hal itu merupakan solusi terbaik daripada ”menunggu” di pintu bandara internasional yang mungkin bisa kecolongan. ”Kalau cuma mendeteksi di pintu-pintu bandara justru bisa kecolongan, karena gejala MERS itu seperti flu dengan masa inkubasi agak lama sehingga tidak terlihat saat dideteksi dengan deteksi suhu,” katanya.
Prof Nidom juga mengingatkankekhawatiranterhadap influenza pada sapi yang diawali dengan kejadian di Amerika, lalu virusinfluenzasapiatauvirusFlu D itu juga ditemukan pada sapi di Tiongkok dan Prancis. ”AIRC sedang intensif memantau keberadaan virus influenza sapi itu pada sapi-sapi lokal untuk mendeteksi kemungkinan virus Flu D itu sudah ada di Indonesia atau tidak,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair itu.
Oleh karena itu, perlu perhatian terhadap virus Flu D yang merupakan hasil kolaborasi virus Flu C dengan ”virus asing” itu agar tidak terjadi bencana kehancuran peternakan yang sempat terjadi pada virus Flu A (Flu Burung) pada 2003.
Thailand Rawat Satu Pasien MERS
Dari mancanegara, Thailand memastikan ada penderita MERS dirawat di negeri itu. Menteri Kesehatan Masyarakat Rajata Rajatanavin pada jumpa pers menyatakan seorang pengusaha berusia 75 tahun dari Oman dipastikan terpapar MERS.
”Dari dua uji laboratorium, kami memastikan menemukan virus MERS, kata Rajata sambil menambahkan bahwa orang itu melakukan perjalanan ke Bangkok untuk pengobatan jantung. ”Pada hari pertama kedatangannya, ia diperiksa untuk virus itu. Pasien tersebut terpapar virus MERS,” katanya.
Menteri kesehatan itu menyatakan 59 orang lain dipantau terkait dengan virus tersebut, termasuk tiga kerabat pria itu yang melakukan perjalanan dengannya ke Bangkok. MERS disebabkan oleh ”coronavirus” dari keluarga sama seperti yang memicu wabah mematikan sangat parah pernapasan (SARS) di Tiongkok pada 2003.
Sebagian besar paparan dan kematian MERS terjadi di Arab Saudi, tempat lebih dari 1.000 orang terjangkit sejak 2012 dan sekitar 454 tewas. Pada bulan lalu, wabah MERS melanda Korea Selatan menewaskan 23 orang. Sejumlah 165 orang terpapar dan 6.700 orang dikarantina. Namun, ada tanda bahwa wabah itu yang terbesar di luar Arab Saudi mungkin berkurang di Korea Selatan.
Jumlah harian penderita baru turun menjadi satu angka pada pekan ini jika dibandingkan dengan 23 pada pekan lalu. Tiga dilaporkan pada Kamis, angka terendah sejak 1 Juni. Semua paparan di Korea Selatan terjadi di sarana kesehatan. Sedikitnya tiga rumah sakit ditutup sebagian dan dua dikunci dengan pasien dan petugas kesehatan di dalamnya.
Tiongkok dan Filipina juga melaporkan satu penderita pada tahun ini. Dua hari lalu, Korea Selatan melaporkan delapan lagi kasus penularan MERS dan satu kematian, sehingga jumlah seluruh korban meninggal 20 orang. Kwon Jun-wook, Direktur Jenderal Kebijakan Kesehatan Masyarakat di Kementerian Kesehatan mengatakan, dalam satu taklimat rutin bahwa pasien ke-42 meninggal pada pagi hari.
Sementara seorang perempuan yang berusia 54 tahun dan terinfeksi pada 25 Mei, menderita tekanan darah tinggi dan gangguan saluran tenggorokan. Kematian tersebut membuat jumlah pasien yang meninggal naik menjadi 20 orang.
Mamik wijayanti/ant
(ftr)