Puasa Hanya di Bulan Syuro

Sabtu, 06 Juni 2015 - 05:00 WIB
Puasa Hanya di Bulan Syuro
Puasa Hanya di Bulan Syuro
A A A
Wong Samin atau Sedulur Sikep dalam mengembangkan ajarannya tidak terlalu agresif. Mereka hanya bersikap pasif. Jika ada yang bertanya, baru mereka jelaskan.

Bayangan penulis akan bertemu dengan warga yang mengenakan pakaian serba hitam dan ikat kepala mendadak sirna saat memasuki kawasan pemukiman Sedulur Sikep Samin di Dukuh Karangpace, Desa Klopodhuwur, Kecamatan Banjarejo, Blora, Jawa Tengah.

Hampir tak ada warga baik laki, perempuan maupun anak-anak mengenakan pakaian kebesaran Wong Samin. Yakni, serba hitam.

Bahkan, sesepuh Wong Samin Mbah Lasio saat ditemui hanya mengenakan celana selutut bertelanjang dada. Dia tampak santai saat diwawancarai. Mbah Lasio baru beranjak saat Sindonews.com akan memotretnya. "Ken riyen kulo tak ganti klambi (Sebentar, saya ganti baju dulu)," pintanya.

Selang lima menit, muncul Mbah Lasio dengan pakaian kebesaran Wong Samin, hitam-hitam. Mengenakan ikat kepala hitam, baju lengan panjang hitam tanpa krah, serta celana komprang hitam dengan tinggi di atas mata kaki.

Menurut Mbah Lasio, pakaian kebesaran orang Samin hanya digunakan saat acara tertentu saja. Seperti menyambut tamu atau perayaan ritual keagamaaan. "Mboten didamel bendinten (Tidak dipakai setiap hari)," akunya.

Penyebaran ajaran Sedulur Sikep Samin lanjut Mbah Lasio, tidak dilakukan secara terang-terangan.Tapi, bagi yang tertarik atau ingin lebih tahu soal Sedulur Sikep, Wong Samin sangat terbuka. "Nek enten tiang tangglet nggih diterangno. Nek mboten takon gih mboten usah dijawab (Kalau ada orang bertanya soal Samin ya dijawab.Kalau tidak tanya ya nggak perlu diterangkan)," ujarnya.

Apalagi, lanjut Mbah Lasio, tidak ada metode khusus dalam menyebarkan Saminisme. Sebab, ajaran Samin hanya bisa ditularkan melalui dialog intensif dari hati-ke hati dan dipraktikkan dalam tingkah laku yang baik sesuai ajaran Saminisme. "Biasane malam Selasa Kliwon atau malam Jum’at Kliwon pengikut Samin kumpul," ujar Mbah Lasio.

Tak hanya kumpul, para pengikut Samin mendapat pencerahan dari mbah Lasio. Mereka bahkan napak tilas dengan semedi di jalan setapak di perempatan hutan sekitar 500 meter di belakang pemukiman Wong Samin. "Disini dulu Bung Karno bertemu Pak Engkrek, satu dari tiga tokoh penggerak sekaligus pengagas ajaran Samin sebelum Bung Karno memproklamirkan RI," ujar Poso, pengikut Saminisme.

Ditambahkan Mbah Lasio, dari semedi di tempat keramat itulah beberapa masalah terpecahkan. Makanya, kalau mau mengambil keputusan atau memberikan saran bagi mereka yang bermasalah, Mbah Lasio selalu menyempatkan semedi dulu di jalan perempatan tadi.

Siang itu, saat Sindonews.com menyusuri jalan setapak hutan jati menemukan jalan keramat yang dimaksud. Secara fisik, tidak ada bedanya dengan jalan setapak di hutan. Lokasinya persis di perempatan jalan di tengah hutan dengan posisi paling tinggi. "Ini tempat petilasan keramat bagi warga Samin. Setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon kami berkumpul di sini," lanjut Poso.

Sepintas persimpangan jalan itu tampak biasa. Namun sejarahnya sangat tinggi. Sebab, sebelum merdeka, Bung Karno menemui satu penggagas aliran Saminisme yakni, Pak Engkrek yang sekarang keturunnya menempati Dukuh Karangpace, Desa Klopodhuwur. "Dulu sebelum ada jalan aspal orang ya lewat sini," tambah Poso.

Disamping jalan perempatan didirikan semacam pos berukuran 3 x 4 meter. ’’Biasanya habis semedi kita kongkow di pos itu.Ya..ngobrol berbagai hal,’’ tandas orang kepercayaan Mbah Lasio itu.

Mengapa dipilih malam Kliwon, karena orang Samin mempercayai manusia diciptakan pertama ya malam Kliwon.
Kembali ke ajaran Samin, karena sifat penyebarannya yang pasif membuat pengikut Samin yang benar-benar mendalami, mengajarkan dan mempraktikkan ajaran Sedulur Sikep bisa dihitung jari. "Teng Klopodhuwur enten tiang pitu (Di Klopodhuwur hanya ada tujuh orang)," kata Mbah Lasio.

Sebaliknya di luar Klopodhuwur ajaran Samin berkembang pesat. Ada komunitas Wong Samin mulai di Semarang, Purwodadi, Kendal, Pati, Kudus, Rembang, Cepu, Blora, dan kota besar lainnya. Makanya, Mbah Lasio kerap diundang ke wilayah itu untuk mengajarkan Saminisme.

Pengikut Samin, lanjut Mbah Lasio, terbatas karena ajaran ini cukup berat. Sebab, untuk mengajarkan ajaran Samin ada syaratnya, minimal berusia 30 tahun atau sudah nikah atau kawin. Makanya, anak kecil meski itu anak Wong Samin belum diajari secara mendalam soal Saminisme karena dipandang belum kuat atau terlalu berat. "Engken ndak stres (Nanti bisa gila)," ujar Mbah Lasio.

Bahkan, meski usianya sudah di atas 30 tahun atau sudah nikah pun kalau dipandang mentalnya belum stabil mereka tidak diajarkan secara mendalam soal ajaran Sedulur Sikep. Paling-paling hanya kulitnya saja. Karena itu, tak heran banyak anak orang Samin kalau itu ditanya apa itu sedulur sikep atau saminisme hanya geleng kepala.

Mereka tahunya hanya sebatas ajaran yang bersifat umum misalnya, harus berkata jujur, tidak boleh berkelahi, tidak mencuri sebagaimana yang diajarkan keluarga pada umumnya. "Tahunya ya sebatas itu," aku Eko Purnomo, anak wong samin yang kini duduk di bangku kelas satu SMA di Blora.

Bahkan, anak-anak yang lebih muda seperti mereka yang duduk di bangku SD hampir semua menjawab tidak tahu jika ditanya apa itu Samin atau Sedulur Sikep. Layaknya anak-anak kota, mainan mereka pun telepon seluler (ponsel), meski keluaran lawas.

Sebaliknya, karena tempatnya yang asri di tengah hutan, banyak remaja Blora memanfaatkan pemukiman warga Samin untuk foto atau selfie. Pilihan utama dengan latar belakang papan nama dusun atau pendopo. Seperti yang disaksikan Sindonews.com saat seharian di komplek pemukiman Wong Samin.

Namun, warga Samin sangat fleksibel. Siapa pun boleh masuk dan menjadi pengikut Saminisme tanpa membedakan suku, agama dan warna politiknya. Dimata pengikut Sedulur Sikep, semua agama itu baik.

Yang membedakan itu hanya kelakuan atau tindak tanduk yang bersangkutan.Orang bukan diukur dari agamanya, tapi perbuatannya. "Ukurane tiang niku awon nopo sae nggih tumindak e niku (Ukurannya orang itu baik dilihat dari perbuatannya. Apakah baik atau buruk)," ungkapnya.

Namun sebagaian besar wong Samin yang berada di Klopodhuwur beragama Islam, meski tidak sepenuhnya menjalankan syariat Islam seperti salat, puasa ramadan. Seperti saat Sindonews.com mengajak salat berjamaah di ruangan kecil dekat pendopo kepada Poso, pengikut Samin yang juga orang kepercayaan Mbah Lasio.’’Solat sendiri saja. Saya tidak salat,’’ tampiknya halus.

Poso menjelaskan sekitar 62 kk yang menghuni kampung Samin di Klopodhuwur umumnya beragama Islam karena ada kemiripan. Misalnya, sama-sama keturunan Nabi Adam.’’Kalau baca syahadat ya saat nikah saja,’’ ujar Poso.

Hal yang sama juga diakui Mbah Lasio sebagai sesepuh Sedulur Sikep Samin Dusun Karangpace, Desa Klopodhuwur, Kecamatan Banjarejo, Blora. Meski mengaku Islam namun tidak menjalankan salat maupun puasa ramadan. "Kulo mboten salat dan poso ramadan. Tapi, poso syuro (Saya tidak salat dan puasa ramadan, tapi puasa syuro)," aku Mbah Lasio.

Puasa yang dimaksud Mbah Lasio, puasa Syuro karena dilaksanakan bulan Syuro dalam penanggalan Jawa. Lamanya pun 36 hari. Namun, dalam puasa versi Mbah Lasio hanya dilarang makanan yang sehari-hari dikonsumsi Wong Samin, seperti nasi, jagung, atau ketela rambat.

Diluar itu seperti merokok, minum tidak dilarang. Mereka juga dilarang bicara yang tidak perlu, kotor apalagi membuat orang tersinggung. "Kudu ngomong sing becik (Harus berbicara yang baik)," ingat Mbah Lasio.
Puasa lainnya misalnya, puasa tujuh hari saat kelahiran anak dan beberapa hari yang dinggap sakral orang Samin.

Namun, Wong Samin cukup toleran dalam beribadah. Dalam keluarga Mbah Lasio misalnya, istrinya tetap menjalankan salat. Begitu juga ibunya, Mbah Sila yang berusia 80 tahun. "Kulo nggih salat lima waktu sesuai ajaran Islam (Saya ya salat lima waktu seperti ajaram Islam)," aku Mbah Sila.

Mbah Sila mengaku mengenal Islam dan salat sejak sepuluh tahun terakhir. Yang mengajari salat saudara menantunya saat bersilahturahmi di Kudus. "Wong Islam itu kudu salat (orang islam itu harus salat)," kata Mbah Sila.

Sejak saat itu, Mbah Sila belajar salat dan menjalankan kewajiban muslim tersebut minimal lima kali dalam sehari.
Mbah Lasio, sebagai anak Mbah Sila sekaligus sesepuh Wong Samin tidak melarang keluarganya menjalankan syariat Islam. "Niku tambah bagus," katanya. "Sedoyo agama niku sae. Nopo maleh nek dijalankan. (Semua agama itu baik. Apalagi, kalau dijalankan)," tambahnya.

Untuk salat berjamaah hanya ada satu musala terdekat sekitar 200 meter dari Pendopo Sikep Samin. Letaknya persis di tepi hutan di ujung pematang berukuran 5 x 7 meter.

Untuk menuju musala melewati jalan hutan setapak. Meski menjelang Magrib, cuaca sudah gelap. Beruntung ada pengeras suara, jadi bisa dipakai panduan mencari asal lokasi suara adzan.

Di musala hanya ada tiga jamaah dewasa termasuk Sindonews.com. Empat jamaah anak-anak laki-laki serta tiga jamaah perempuan. "Sehari-hari ya begini karena letak musala agak jauh. Kalau subuh ya tidak ada jamaah. Salat sendiri-sendiri di rumah. Sebab, jalan gelap nanti khawatir dipathok ular," jelas Sugeng, takmir musala Nur Huda.

Ditambahkan Sugeng, pada umumnya warga Samin memeluk agama Islam. Mereka juga mengikuti berbagai kegiatan termasuk pengajian. "Hari ini sebenarnya habis magrib diisi pengajian. Tapi, ustadnya lagi keluar desa karena ada keperluan," terangnya.

Karena itu hubungan antara pemeluk Islam dan warga Sedulur Sikep Samin cukup harmonis. Terbukti, salah satu jamaah bernama Ngdiman, (45) yang mengantar balik ke pendopo karena hafal jalan setapak tampak akrab dengan Mbah Lasio. "Kami ini semua bersudara.Jadi, rukun," aku Ngadiman.

Suasana sore hari sekitar pendopo Sedulur Sikep Samin yang hiruk pikuk oleh teriakan anak-anak yang bermain bola, begitu maghrib tiba mendadak sunyi. Hanya raungan binatang hutan bersahutan. Tak ada orang lalu lalang. Malam begitu senyap mungkin sesunyi hati Wong Samin yang berdamai dengan alam sekitarnya.

Malam itu juga Sindonews.com meninggalkan Dusun Karangpace, Desa Klopodhuwur menuju Blora berjarak 8 kilometer dengan diantar sepede motor anak Mbah Lasio karena sudah tidak ada angkutan umum. (bersambung)
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3105 seconds (0.1#10.140)