BLH Tak Serius Tangani Pencemaran di Gayam
A
A
A
BOJONEGORO - Dugaan pencemaran lingkungan yang dilakukan PT Dwi Jaya Banyu Urip, salah satu rekanan Exxon Mobil Cepu Limited (EMCL), di Desa Sudu, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, belum ditangani serius.
Badan Lingkungan Hidup (BLH) bahkan terkesan mengambangkan masalah tersebut.
PT Dwi Jaya Banyu Urip milik Yuntik Rahayu yang juga Kepala Desa Mojodelik, Kecamatan Gayam, merupakan pengelola jasa transit limbah industri bahan berbahaya dan beracun (B3) dari EMCL ke PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI).
“Hasil contoh limbah yang diambil BLH beberapa waktu lalu, katanya tidak bisa diuji laboratorium karena sudah lebih dari enam jam,” ujar Ketua Ketua Comunity Center Sudu, Rudi Susilo. Akibat pencemaran limbah B3 itu sedikitnya ada 10 rumah terdampak, seperti air yang setiap hari dikonsumsi. Warga sekitar saat ini masih banyak menggunakan sumber air dari sumur bor untuk kebutuhan minum sehari-hari, mencuci, maupun mandi.
“Untuk kebutuhan sehari-hari ya pakai air dari sumur,” katanya. Dia menegaskan, PT Dwi Jaya Banyu Urip belum memiliki izin upaya kelayakan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) dalam menjalankan aktivitasnya. Saat ini, kata dia, perusahaan tersebut masih tahap pengajuan izin. “Dalam pengurusan izin yang dimintai tanda tangan itu orang yang jauh dari sana (sekitar perusahaan).
Dan itu juga dari karyawannya sendiri,” ujarnya. Seharusnya, kata dia, jika perusahaan yang belum memiliki izin tidak boleh beroperasi dulu. Apalagi saat ini perusahaan itu diduga menyebabkan pencemaran lingkungan. “Kalau melanggar ada hukumannya jelas. Apalagi ini surat izin belum keluar sudah beraktivitas. Izin yang dimiliki malah surat izin usaha,” katanya.
Sementara BLH Kabupaten Bojonegoro beberapa waktu lalu menemukan cairan mirip solar bercampur limbah. Menurut Sekretaris BLH, Agus Hariana, pencemaran ini sangat membahayakan lingkungan sehingga diperlukan penanganan serius seperti membersihkan sisa limbah drainase yang mengalir ke pekarangan warga.
“Seharusnya perusahaan mempunyai instalasi pembuangan air limbah (IPAL) agar sisa limbah industri aman dan tidak mencemari lingkungan sekitar. Karena dampak itu bisa menimbulkan efek gatal-gatal pada kulit,” katanya. Menurut Agus, PT Dwi Jaya Banyuurip telah melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Apalagi sudah menjalankan aktivitas tetapi belum memiliki izin prinsip. Konsekuensinya, kata dia, kegiatan di lapangan terancam diberhentikan sebelum izin UKL dan UPL terbit. “Ini bisa masuk ke ranah hukum. Ancamannya dua tahun kurungan dan denda Rp2 miliar,” ujarnya. Direktur PT Dwi Jaya, Yuntik Rahayu, mengaku tidak tahu tentang dugaan warga terkait pembuangan limbah. Menurutnya, lokasi transit yang dikelolanya tidak ada aktivitas berkaitan dengan limbah.
“Di sini hanya untuk transit sopir. Sopir bisa istirahat, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan,” katanya.
Muhammad roqib
Badan Lingkungan Hidup (BLH) bahkan terkesan mengambangkan masalah tersebut.
PT Dwi Jaya Banyu Urip milik Yuntik Rahayu yang juga Kepala Desa Mojodelik, Kecamatan Gayam, merupakan pengelola jasa transit limbah industri bahan berbahaya dan beracun (B3) dari EMCL ke PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI).
“Hasil contoh limbah yang diambil BLH beberapa waktu lalu, katanya tidak bisa diuji laboratorium karena sudah lebih dari enam jam,” ujar Ketua Ketua Comunity Center Sudu, Rudi Susilo. Akibat pencemaran limbah B3 itu sedikitnya ada 10 rumah terdampak, seperti air yang setiap hari dikonsumsi. Warga sekitar saat ini masih banyak menggunakan sumber air dari sumur bor untuk kebutuhan minum sehari-hari, mencuci, maupun mandi.
“Untuk kebutuhan sehari-hari ya pakai air dari sumur,” katanya. Dia menegaskan, PT Dwi Jaya Banyu Urip belum memiliki izin upaya kelayakan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) dalam menjalankan aktivitasnya. Saat ini, kata dia, perusahaan tersebut masih tahap pengajuan izin. “Dalam pengurusan izin yang dimintai tanda tangan itu orang yang jauh dari sana (sekitar perusahaan).
Dan itu juga dari karyawannya sendiri,” ujarnya. Seharusnya, kata dia, jika perusahaan yang belum memiliki izin tidak boleh beroperasi dulu. Apalagi saat ini perusahaan itu diduga menyebabkan pencemaran lingkungan. “Kalau melanggar ada hukumannya jelas. Apalagi ini surat izin belum keluar sudah beraktivitas. Izin yang dimiliki malah surat izin usaha,” katanya.
Sementara BLH Kabupaten Bojonegoro beberapa waktu lalu menemukan cairan mirip solar bercampur limbah. Menurut Sekretaris BLH, Agus Hariana, pencemaran ini sangat membahayakan lingkungan sehingga diperlukan penanganan serius seperti membersihkan sisa limbah drainase yang mengalir ke pekarangan warga.
“Seharusnya perusahaan mempunyai instalasi pembuangan air limbah (IPAL) agar sisa limbah industri aman dan tidak mencemari lingkungan sekitar. Karena dampak itu bisa menimbulkan efek gatal-gatal pada kulit,” katanya. Menurut Agus, PT Dwi Jaya Banyuurip telah melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Apalagi sudah menjalankan aktivitas tetapi belum memiliki izin prinsip. Konsekuensinya, kata dia, kegiatan di lapangan terancam diberhentikan sebelum izin UKL dan UPL terbit. “Ini bisa masuk ke ranah hukum. Ancamannya dua tahun kurungan dan denda Rp2 miliar,” ujarnya. Direktur PT Dwi Jaya, Yuntik Rahayu, mengaku tidak tahu tentang dugaan warga terkait pembuangan limbah. Menurutnya, lokasi transit yang dikelolanya tidak ada aktivitas berkaitan dengan limbah.
“Di sini hanya untuk transit sopir. Sopir bisa istirahat, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan,” katanya.
Muhammad roqib
(ftr)