Terkatung-katung, SKL Tak Diberikan, Sulit Cari Kerja
A
A
A
Nasib 43 siswa lulusan SMK Pawiyatan Surabaya terkatung-katung. Sejak dinyatakan lulus secara lisan dari sekolah yang berlokasi di Jalan Tangkis Turi, mereka kesulitan mencari kerja. Jangankan ijazah, mereka bahkan tidak mendapatkan surat keterangan lulus (SKL) sebagai pengganti ijazah.
Padahal, SKL bisa menjadi dasar sementara untuk melamar kerja. Kondisi ini dikeluhkan orang tua murid karena penahanan SKL jelas kesalahan pihak sekolah. “SKL baru akan diberikan pihak sekolah setelah 43 lulusan melunasi tunggakkan uang sumbangan operasional sekolah (SOS). Besaran SOS Rp75.000/bulan/siswa yang memiliki kartu keluarga (KK) Surabaya dan Rp225.000u/bulan/siswa KK luar Surabaya.
Padahal, siswa sudah membayar, jadi tidak ada tanggungan lagi,” kata Dana Sutoyo, wali murid lulusan atas nama Septin Dwi Pratiwi, kemarin. Dana menyebut, para siswa juga diharuskan melunasi uang her registrasi saat naik dari kelas XI ke XII.
“Padahal, 43 siswa kelas XI yang naik ke kelas XII dari jurusan multimedia sudah membayar uang SPP selama 12 bulan berikut registrasi,” sambung Dana, tante dari Septin. Masalah muncul, kata Dana, dipicu pengelolaan keuangan di sekolah. Bendahara sekolah berinisial YH saat itu meminta buku bukti pembayaran SOS yang dibawa siswa.
Alasannya untuk rekapitulasi. Namun, bukti itu tidak dikembalikan. Jadi, posisi siswa maupun lulusan lemah. Dana menyebut, yang dirugikan tidak hanya lulusan dari jurusan multimedia, tapi juga ratusan siswanya. Belum lagi, siswa yang saat itu duduk di kelas X yang sekarang berada di kelas XI tidak diakui pembayaran SOS-nya.
Bendahara YH, kata Dana, sempat menghilang lama setelah dengan alasan sakit. Seiring pergantian kepala sekolah dari Pramono Effendi ke LAN Hasyim, YH kembali ke sekolah menjalankan aktivitasnya sebagai bendahara. “Kami kesulitan mau lapor karena lulusan tidak memiliki bukti. Laporan ke Dinas Pendidikan (Dindik) sudah dilakukan, tapi belum ada respons.
Jawabannya hanya akan disikapi, tapi kapan. Laporan kami diterima Pak Aris Hilmi di sekretariat dinas,” tutur Dana yang alumnus Universitas PGRI Adibuana Surabaya ini. Orang tua dan wali murid lainnya, Dini Atmaja, warga Jalan Demak, juga mengeluhkan kebijakan SMK Pawiyatan terkait pengelolaan keuangan.
“Anak saya saat kelas X sudah bayar SOS selama setahun atau baru beberapa bulan dan sekarang kelas XI, ternyata tetap diminta melunasi padahal sudah bayar,” kata Dini, orang tua siswa berinisial A. Orang tua dan wali murid kesulitan mencari barang bukti ( BB) untuk dijadikan acuan lapor.
Semua buku bukti pembayaran SOS diminta sekolah dengan alasan untuk rekapitulasi. “Ini kasusnya penipuan dan penggelapan. Banyak siswa dan lulusan yang dirugikan,” kata Dana. Dua lulusan SMK Pawiyatan, Tantri Dwi Pratiwi dan Septin Dwi Ermaningsih, mengaku bingung karena kerja di salah satu perusahaan ritel selalu diminta SKL.
“Kami disuruh bayar lagi, padahal sudah bayar SOS dan daftar ulang,” tutur Tantri. Tidak hanya lulusan jurusan multimedia yang jadi korban. Kelas lain juga banyak yang pembayaran SOS dan her registrasinya tidak diakui. Sementara itu, pihak sekolah yang mengaku bernama Emma saat dihubungi melalui telepon minta informasi siapa saja lulusan sekolahnya yang mengadu ke media.
“Kalau ada siswa yang kesulitan bayar, monggo dikomunikasikan dengan sekolah. Alasan tidak bisa bayar apa? Kalau tidak mampu ya urus SKTM (surat keterangan tidak mampu). Sekolah tidak mempersulit, selalu memberi keringanan, termasuk untuk uang pembayaran wisuda,” kata Emma.
Disinggung soal belum diberikannya SKL, Emma tidak menjawab. “Murid suruh ke sekolah dulu saja,” ujarnya.
Soeprayitno
Padahal, SKL bisa menjadi dasar sementara untuk melamar kerja. Kondisi ini dikeluhkan orang tua murid karena penahanan SKL jelas kesalahan pihak sekolah. “SKL baru akan diberikan pihak sekolah setelah 43 lulusan melunasi tunggakkan uang sumbangan operasional sekolah (SOS). Besaran SOS Rp75.000/bulan/siswa yang memiliki kartu keluarga (KK) Surabaya dan Rp225.000u/bulan/siswa KK luar Surabaya.
Padahal, siswa sudah membayar, jadi tidak ada tanggungan lagi,” kata Dana Sutoyo, wali murid lulusan atas nama Septin Dwi Pratiwi, kemarin. Dana menyebut, para siswa juga diharuskan melunasi uang her registrasi saat naik dari kelas XI ke XII.
“Padahal, 43 siswa kelas XI yang naik ke kelas XII dari jurusan multimedia sudah membayar uang SPP selama 12 bulan berikut registrasi,” sambung Dana, tante dari Septin. Masalah muncul, kata Dana, dipicu pengelolaan keuangan di sekolah. Bendahara sekolah berinisial YH saat itu meminta buku bukti pembayaran SOS yang dibawa siswa.
Alasannya untuk rekapitulasi. Namun, bukti itu tidak dikembalikan. Jadi, posisi siswa maupun lulusan lemah. Dana menyebut, yang dirugikan tidak hanya lulusan dari jurusan multimedia, tapi juga ratusan siswanya. Belum lagi, siswa yang saat itu duduk di kelas X yang sekarang berada di kelas XI tidak diakui pembayaran SOS-nya.
Bendahara YH, kata Dana, sempat menghilang lama setelah dengan alasan sakit. Seiring pergantian kepala sekolah dari Pramono Effendi ke LAN Hasyim, YH kembali ke sekolah menjalankan aktivitasnya sebagai bendahara. “Kami kesulitan mau lapor karena lulusan tidak memiliki bukti. Laporan ke Dinas Pendidikan (Dindik) sudah dilakukan, tapi belum ada respons.
Jawabannya hanya akan disikapi, tapi kapan. Laporan kami diterima Pak Aris Hilmi di sekretariat dinas,” tutur Dana yang alumnus Universitas PGRI Adibuana Surabaya ini. Orang tua dan wali murid lainnya, Dini Atmaja, warga Jalan Demak, juga mengeluhkan kebijakan SMK Pawiyatan terkait pengelolaan keuangan.
“Anak saya saat kelas X sudah bayar SOS selama setahun atau baru beberapa bulan dan sekarang kelas XI, ternyata tetap diminta melunasi padahal sudah bayar,” kata Dini, orang tua siswa berinisial A. Orang tua dan wali murid kesulitan mencari barang bukti ( BB) untuk dijadikan acuan lapor.
Semua buku bukti pembayaran SOS diminta sekolah dengan alasan untuk rekapitulasi. “Ini kasusnya penipuan dan penggelapan. Banyak siswa dan lulusan yang dirugikan,” kata Dana. Dua lulusan SMK Pawiyatan, Tantri Dwi Pratiwi dan Septin Dwi Ermaningsih, mengaku bingung karena kerja di salah satu perusahaan ritel selalu diminta SKL.
“Kami disuruh bayar lagi, padahal sudah bayar SOS dan daftar ulang,” tutur Tantri. Tidak hanya lulusan jurusan multimedia yang jadi korban. Kelas lain juga banyak yang pembayaran SOS dan her registrasinya tidak diakui. Sementara itu, pihak sekolah yang mengaku bernama Emma saat dihubungi melalui telepon minta informasi siapa saja lulusan sekolahnya yang mengadu ke media.
“Kalau ada siswa yang kesulitan bayar, monggo dikomunikasikan dengan sekolah. Alasan tidak bisa bayar apa? Kalau tidak mampu ya urus SKTM (surat keterangan tidak mampu). Sekolah tidak mempersulit, selalu memberi keringanan, termasuk untuk uang pembayaran wisuda,” kata Emma.
Disinggung soal belum diberikannya SKL, Emma tidak menjawab. “Murid suruh ke sekolah dulu saja,” ujarnya.
Soeprayitno
(ftr)