Musibah di Merapi Banyak Dialami Pendaki Musiman dan Pemula
A
A
A
YOGYAKARTA - Musibah di Gunung Merapi kebanyakan dialami oleh para pendaki musiman dan pemula. Hal itu dapat dilihat dari apa saja yang dibawa mereka.
Menurut salah satu anggota Mapala Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Azjar Jhon, pendaki musiman tidak terlalu mengerti akan ancaman bahaya yang ada di alam.
Pendaki musiman ini, kata dia, kadang mengabaikan persiapan-persiapan yang harus dilakukan. Seperti, dalam hal navigasi, di mana seseorang seharusnya mengenal medan atau gunung yang dituju sebelum mendakinya.
Selain itu mereka harus mengetahui terlebih dahulu ada petunjuk apa saja yang ada di sekitar gunung. Petunjuk itu, mulai dari apakah ada perbukitan, jurang, hingga sampai aliran sungai.
Kemudian, seorang pendaki juga haruslah mempunyai kemampuan melakukan survival. Bagaimana cara bertahan hidup di hutan, dengan memanfaatkan alam yang ada.
Ketika seorang pendaki tersesat dalam perjalanannya, dengan kemampuan mempunyai bekal survival dan navigasi, itu tak akan menjadi masalah jika memang menghadapi musibah di hutan.
"Selain itu, juga persiapan peralatan maupun logistik juga harus matang. Ketika kita ingin pergi hanya satu hari saja, bekal makanan harus cukup untuk tiga hari," timpalnya, Sabtu (23/5/2015).
Para pendaki juga harus mempersiapkan peralatan yang memadai salah satunya adalah tali. Karena ketika melakukan pendakian, ada saja jalur yang terputus, dan terpaksa harus dipanjat.
"Ketika mendaki Merapi melalui jalur selatan (Sleman), kita selalu bawa tali. Karena nantinya akan menemui tebing dan harus dipanjat. Pendakian ke jalur selatan, saat itu masih belum ada larangan dari Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)," kata pria yang akrab dipanggil Raghozt tersebut.
Sementara menurut PLH TNGM Tri Atmojo pendaki pemula dapat dilihat dari apa yang mereka bawa saat pendakian.
Salah satunya adalah Erri Yunanto pendaki yang menjadi korban karena terjatuh ke dalam kawah.
"Kelihatan sekali dia itu pemula. Dari peralatan di tas, yang dibawanya," ungkap pria yang menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Tata Usaha (TU) TNGM ini.
Dia mengungkapkan, para pendaki yang nekat melanggar aturan yaitu larangan untuk sampai ke puncak pun hanya berambisi ingin selfie. Mengikuti tren agar bisa dibilang top. "Ingin nge-top. Padahal tingkat bahayanya tinggi," katanya.
Dikatakannya, sebelum terjadinya erupsi 2010 lalu, memang pendaki Merapi masih diperbolehkan untuk bisa mencapai puncak. Dan bahkan, jalurnya pun masih banyak pilihan. Dari Boyolali, Klaten, Magelang, dan Sleman.
"Dulu melalui semua kabupaten ada jalurnya. Melalui Boyolali, Klaten, Magelang, dan Sleman. Tapi kami sekarang tidak bisa menginfokan lebih detail. Karena ditakutkan akan menjadi daya tarik sendiri kepada pendaki. Saat ini, kita hanya memperbolehkan melalui jalur Selo (Boyolali) saja," tukasnya.
Selain hanya boleh melalui jalur Selo, pendaki juga tak boleh sampai ke puncak Merapi. Karena medannya yang memang cukup berbahaya. Banyak bebatuan yang diibaratkannya seperti kendil, sangat rapuh dan jika diinjak bisa tergelincir.
"Sangat irasional, pendaki ke puncak hanya ingin selfie. Bahayanya sangat tinggi. Batu-batu itu seperti kendil, tidak kokoh," ujar Tri.
Dia pun berharap, agar peristiwa yang menimpa Erri Yunanto ini untuk yang terakhir kalinya. Jangan sampai ada Erri-Erri selanjutnya yang menjadi korban dari Gunung Merapi ini.
Menurut salah satu anggota Mapala Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Azjar Jhon, pendaki musiman tidak terlalu mengerti akan ancaman bahaya yang ada di alam.
Pendaki musiman ini, kata dia, kadang mengabaikan persiapan-persiapan yang harus dilakukan. Seperti, dalam hal navigasi, di mana seseorang seharusnya mengenal medan atau gunung yang dituju sebelum mendakinya.
Selain itu mereka harus mengetahui terlebih dahulu ada petunjuk apa saja yang ada di sekitar gunung. Petunjuk itu, mulai dari apakah ada perbukitan, jurang, hingga sampai aliran sungai.
Kemudian, seorang pendaki juga haruslah mempunyai kemampuan melakukan survival. Bagaimana cara bertahan hidup di hutan, dengan memanfaatkan alam yang ada.
Ketika seorang pendaki tersesat dalam perjalanannya, dengan kemampuan mempunyai bekal survival dan navigasi, itu tak akan menjadi masalah jika memang menghadapi musibah di hutan.
"Selain itu, juga persiapan peralatan maupun logistik juga harus matang. Ketika kita ingin pergi hanya satu hari saja, bekal makanan harus cukup untuk tiga hari," timpalnya, Sabtu (23/5/2015).
Para pendaki juga harus mempersiapkan peralatan yang memadai salah satunya adalah tali. Karena ketika melakukan pendakian, ada saja jalur yang terputus, dan terpaksa harus dipanjat.
"Ketika mendaki Merapi melalui jalur selatan (Sleman), kita selalu bawa tali. Karena nantinya akan menemui tebing dan harus dipanjat. Pendakian ke jalur selatan, saat itu masih belum ada larangan dari Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)," kata pria yang akrab dipanggil Raghozt tersebut.
Sementara menurut PLH TNGM Tri Atmojo pendaki pemula dapat dilihat dari apa yang mereka bawa saat pendakian.
Salah satunya adalah Erri Yunanto pendaki yang menjadi korban karena terjatuh ke dalam kawah.
"Kelihatan sekali dia itu pemula. Dari peralatan di tas, yang dibawanya," ungkap pria yang menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Tata Usaha (TU) TNGM ini.
Dia mengungkapkan, para pendaki yang nekat melanggar aturan yaitu larangan untuk sampai ke puncak pun hanya berambisi ingin selfie. Mengikuti tren agar bisa dibilang top. "Ingin nge-top. Padahal tingkat bahayanya tinggi," katanya.
Dikatakannya, sebelum terjadinya erupsi 2010 lalu, memang pendaki Merapi masih diperbolehkan untuk bisa mencapai puncak. Dan bahkan, jalurnya pun masih banyak pilihan. Dari Boyolali, Klaten, Magelang, dan Sleman.
"Dulu melalui semua kabupaten ada jalurnya. Melalui Boyolali, Klaten, Magelang, dan Sleman. Tapi kami sekarang tidak bisa menginfokan lebih detail. Karena ditakutkan akan menjadi daya tarik sendiri kepada pendaki. Saat ini, kita hanya memperbolehkan melalui jalur Selo (Boyolali) saja," tukasnya.
Selain hanya boleh melalui jalur Selo, pendaki juga tak boleh sampai ke puncak Merapi. Karena medannya yang memang cukup berbahaya. Banyak bebatuan yang diibaratkannya seperti kendil, sangat rapuh dan jika diinjak bisa tergelincir.
"Sangat irasional, pendaki ke puncak hanya ingin selfie. Bahayanya sangat tinggi. Batu-batu itu seperti kendil, tidak kokoh," ujar Tri.
Dia pun berharap, agar peristiwa yang menimpa Erri Yunanto ini untuk yang terakhir kalinya. Jangan sampai ada Erri-Erri selanjutnya yang menjadi korban dari Gunung Merapi ini.
(sms)