Pentingnya Pengawasan Orang Tua kepada Anak
A
A
A
Kasus meninggalnya balita dan pengasuhnya akibat tenggelam di sebuah kolam renang di Hotel Horison, Jalan Pelajar Pejuang 45, Kecamatan Lengkong, Kota Bandung, memberikan pelajaran berharga betapa pentingnya pengawasan orang tua kepada anak mereka.
Psikolog Efnie Indrianie MPsi mengatakan, tidak sedikit dari para orang tua di Indonesia saat ini mempercayakan 100% pengasuhan anak kepada pengasuh atau baby sitter. Hal ini justru membuat monitoring dari orang tua terhadap sang anak menjadi berkurang. “Jadi trust (kepercaayaan) menitipkan.
Tidak sedikit yang kadang-kadang ketika dititipkan, seolah-olah semua respon sibility (tanggungjawab) itu ditempatkan kepada pembantu. Bahkan ketika anak sedang sakit sekali pun”. Jadi kadang joke-nya seperti ini, kalo menitipkan benda berharga, perhiasan permata tidak berani, tapi menitipkan anak berani. Itu sampai muncul ada joke seperti itu,” kata Efnie saat dihubungi KORANSINO tadi malam.
Menurut dia, rata-rata pengasuh yang telah bekerja lebih dari setahun, jika secara perilaku terlihat menyenangkan, bertanggung jawab, dan anakpun merasa nyaman, faktor pengawasan dari orang tua cenderung berkurang. Dalam situasi ini, orang tua hanya akan menanya kan hal-hal yang sifatnya teknis kepada si anak.
“Jadi orang tua hanya menanyakan terkait hal teknis seperti udah makan atau belum. Kalomakan vitamin, vitaminnya udah dimakan atau belum? Obatnya, kalo memang anaknya sakit, udah diminum apa belum? Jadi kadang kadang yang terjadi kalo orang tuanya pulang kantor quality time-nya gadapet karena hanya menanyakan halhal yang lebih sifatnya teknis.
Makanya kalo mendengar peristiwa seperti ini bukan berarti tidak berempati tapi hampir relatif tidak aneh kalo menurut saya ini akibat quality time dan sharing tim-nya hampir tidak ada,” tutur Efnie yang juga dosen dari Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung ini. Efnie mengungkapkan, dari sisi psikologi, anak yang berusia di bawah 12 tahun, tingkat kewas padaannya realtif masih kurang.
Hal ini karena fungsi otak depan (frontal cortex) untuk analisa, prediksi, dan antisipasi belum berkembang. Con toh nya, hal ini dapat terlihat saat anakanak diajak menye berang jalan. Karena tingkat kesadarannya masih kurang, anak hanya melihat satu perspektif saja. “Biasanya anak di bawah 12 tahun, awarenes-nya masih kurang.
Kalo misalnya menyeberang, dia hanya lihat satu perpektif, depan ya depan, ga liat kanan kiri mau ada yang nabrak. Itu juga kadang riskan terjadi kecelakaan di jalan. Jadi memang monitoring dan pendampingan di usia ini sangat pentimg. Meskipun secara penge tahuan anak-anak sekarang cerdas ya.
Mereka sudah diajarkan di sekolah, tapi yang namanya kematangan otak kan mengikuti evolusi. tidak bisa di pungkiri hal seperti itu,” ungkap dia. Untuk itu, Efnie meminta para orang tua untuk memiliki pengetahuan mengenai perkembangan otak dan kemampuan berfikir anak.
Hal itu menjadi penting karena informasi tentang bagaimana otak anak bekerja itu, akan menentukan langkah dan strategi apa yang harus dilakukan dan apa saja yang harus dimonitor. “Tanpa bekal pengetahuan itu, mereka bingung. Jadi ketika kita menjadi orang tua, pengetahuan mengenai perkembangan otak anak dan pengetahuan mengenai kemampuan berfikir anak itu harus dipela jari,” terang Efnie.
Dian rosadi
Psikolog Efnie Indrianie MPsi mengatakan, tidak sedikit dari para orang tua di Indonesia saat ini mempercayakan 100% pengasuhan anak kepada pengasuh atau baby sitter. Hal ini justru membuat monitoring dari orang tua terhadap sang anak menjadi berkurang. “Jadi trust (kepercaayaan) menitipkan.
Tidak sedikit yang kadang-kadang ketika dititipkan, seolah-olah semua respon sibility (tanggungjawab) itu ditempatkan kepada pembantu. Bahkan ketika anak sedang sakit sekali pun”. Jadi kadang joke-nya seperti ini, kalo menitipkan benda berharga, perhiasan permata tidak berani, tapi menitipkan anak berani. Itu sampai muncul ada joke seperti itu,” kata Efnie saat dihubungi KORANSINO tadi malam.
Menurut dia, rata-rata pengasuh yang telah bekerja lebih dari setahun, jika secara perilaku terlihat menyenangkan, bertanggung jawab, dan anakpun merasa nyaman, faktor pengawasan dari orang tua cenderung berkurang. Dalam situasi ini, orang tua hanya akan menanya kan hal-hal yang sifatnya teknis kepada si anak.
“Jadi orang tua hanya menanyakan terkait hal teknis seperti udah makan atau belum. Kalomakan vitamin, vitaminnya udah dimakan atau belum? Obatnya, kalo memang anaknya sakit, udah diminum apa belum? Jadi kadang kadang yang terjadi kalo orang tuanya pulang kantor quality time-nya gadapet karena hanya menanyakan halhal yang lebih sifatnya teknis.
Makanya kalo mendengar peristiwa seperti ini bukan berarti tidak berempati tapi hampir relatif tidak aneh kalo menurut saya ini akibat quality time dan sharing tim-nya hampir tidak ada,” tutur Efnie yang juga dosen dari Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung ini. Efnie mengungkapkan, dari sisi psikologi, anak yang berusia di bawah 12 tahun, tingkat kewas padaannya realtif masih kurang.
Hal ini karena fungsi otak depan (frontal cortex) untuk analisa, prediksi, dan antisipasi belum berkembang. Con toh nya, hal ini dapat terlihat saat anakanak diajak menye berang jalan. Karena tingkat kesadarannya masih kurang, anak hanya melihat satu perspektif saja. “Biasanya anak di bawah 12 tahun, awarenes-nya masih kurang.
Kalo misalnya menyeberang, dia hanya lihat satu perpektif, depan ya depan, ga liat kanan kiri mau ada yang nabrak. Itu juga kadang riskan terjadi kecelakaan di jalan. Jadi memang monitoring dan pendampingan di usia ini sangat pentimg. Meskipun secara penge tahuan anak-anak sekarang cerdas ya.
Mereka sudah diajarkan di sekolah, tapi yang namanya kematangan otak kan mengikuti evolusi. tidak bisa di pungkiri hal seperti itu,” ungkap dia. Untuk itu, Efnie meminta para orang tua untuk memiliki pengetahuan mengenai perkembangan otak dan kemampuan berfikir anak.
Hal itu menjadi penting karena informasi tentang bagaimana otak anak bekerja itu, akan menentukan langkah dan strategi apa yang harus dilakukan dan apa saja yang harus dimonitor. “Tanpa bekal pengetahuan itu, mereka bingung. Jadi ketika kita menjadi orang tua, pengetahuan mengenai perkembangan otak anak dan pengetahuan mengenai kemampuan berfikir anak itu harus dipela jari,” terang Efnie.
Dian rosadi
(bbg)