Nikmatnya Hadiah Pemuas Renjana

Senin, 18 Mei 2015 - 10:49 WIB
Nikmatnya Hadiah Pemuas Renjana
Nikmatnya Hadiah Pemuas Renjana
A A A
GEGER prostitusi berkedok artis mewarnai berbagai media di Tanah Air. Apalagi dalam perkembangannya, perempuan-perempuan itu juga mengaku melayani para pejabat atau petinggi negeri ini dengan tarif seharga mobil.

Bagi masyarakat awam, fenomena ini mungkin cukup mengejutkan. Namun, bagi Moamar Emka, apa yang terungkap itu sebenarnya biasa saja, bahkan hanya permukaan semata.

Penulis buku Jakarta Undercover ini mengungkapkan, banyak perempuan yang memang memanfaatkan kemolekan tubuh demi akselerasi ketenaran agar bisa masuk dalam komunitas yang disebut artis. Menurut Moamar Emka, melacur adalah ”bisnis sampingan” segelintir artis (yang sebenarnya juga tidak layak disebut artis dalam makna seni yang sesungguhnya).

”Rata-rata kalangan artis menengah ke bawah yang punya side job ini karena memang populasi terbanyak adalah artis kelas menengah ke bawah,” kata Moamar Emka, beberapa waktu lalu. Perkembangan prostitusi di kalangan artis ini tumbuh dari mulut ke mulut. Para artis yang punya double job di luar jalur keartisannya ini dikelola orang-orang di lingkaran dalam mereka bisa manajernya, agen, atau asisten.

Moamar Emka menjelaskan, standar tarif untuk berkencan dengan artis ini biasanya untuk one night stand saja. ”Standarnya dari Rp10 juta sampai Rp100 juta. Kalau di atas itu sudah grade A,” kata dia. Kalau Moamar Emka mengupas prostitusi di ibu kota, lalu bagaimana dengan di Kota Surabaya? Podo ae Cak! Di Kota Pahlawan banyak perempuan berlabel artis pun melakoni dunianya dengan memberikan servis plus-plus agar bisa meraup banyak uang.

Namun, tulisan ini bukan soal artis saja, tapi lebih pada praktik hadiah kepuasan seks yang disertakan untuk deal -deal tertentu. Transaksi pemuasan renjana juga disertakan sebagai iming-iming hadiah agar segala urusan (apa saja) agar cepat beres dan lancar jaya. Mulai dari urusan hukum, bisnis, hingga obat-obatan, dan masih banyak lainnya. ”Kurang ajar kok pancene wong iki ,” kata TH, salah satu jurnalis saat ditemui di sebuah tempat makan di kawasan Tandes. Tidak butuh waktu lama, dia pun bercerita soal nasib istri seorang tersangka.

”Suaminya ditahan, istrinya ditiduri agar bisa mendapatkan tuntutan ringan. Itu pun masih harus keluar uang banyak,” keluhnya dengan ekspresi wajah sangat tertekan. Hal-hal semacam ini memang ada, namun sangat sulit pembuktiannya. PR, mantan medical representatif juga punya pengalaman yang sama. Dia akhirnya memilih keluar dari pekerjaannya karena tidak tahan melihat praktik- praktik kotor yang masih diimbuhi pelicin lendir.

”Jika satu merek obat itu memenuhi target, perusahaan akan memberi gift benda yang memang harganya sangat mahal. Ini saja saya sudah tidak betah dengan cara semacam ini,” tutur alumnus Universitas Airlangga ini. PR menambahkan, tekadnya semakin bulat untuk keluar dari pekerjaannya meski dengan gaji sangat tinggi, ketika salah satu hadiah yang diberikan kepada oknum dokter adalah perempuan pemuas nafsu.

”Tidak hanya barang, tapi disediakan pula perempuan. Dari pada hidup tak tenang, lebih baik keluar,” katanya. Agar urusan bisnis tetap lancar memang ada yang disebut dana entertaint . Dana ini dialokasikan khusus untuk hiburan. Lha jenis hiburan itu ada yang hingga urusan mabuk dan medok (main perempuan). Perempuan juga menjadi salah satu ”barang” sajian.

Sejarah Ketertindasan Perempuan

Fenomena ini juga tidak mengejutkan bagi Andri Arianto MA. Sosiolog dari Universitas Wijaya Kusuma Surabaya itu mengungkapkan, perempuan sebagai bagian dari perdagangan sudah ada sejak lama. Diterangkan, sejarah perdagangan perempuan di Indonesia sudah ada sejak lama, khususnya di wilayah kota-kota pelabuhan, termasuk Surabaya.

Realitas sosial ketertindasan perempuan dari masa ke masa. Puncaknya ketika zaman kolonialisasi Jepang. ”Pascakemerdekaan, dimulai dengan pertumbuhan ekonomi, secara otomatis menyeret pekerja dari desadesa untuk menuju kota,” ucap Andri yang juga dosen di UIN Sunan Ampel Surabaya. Bagi perempuan yang kalah ”bersaing” dalam perebutan akses ekonomi, bisa terjerumus dalam prostitusi, juga termasuk di dalamnya bujuk rayu ”orang kota” untuk dijanjikan pekerjaan di kota dengan yang tinggi.

”Patriarki memperparah kondisi tersebut,” kata Andri. Ditambahkan, ada juga pergeseran tradisi menjadikan perempuan sebagai hadiah. Dahulu itu dimaknai sebagai sesuatu bentuk penghormatan bagi perempuan yang dijadikan hadiah karena derajat kastanya meningkat, dan berkaitan dengan kekokohan hubungan rakyat dan penguasanya. ”Sekarang malah menjadi relasi industri,” ujarnya.

Perempuan juga sebagai pasar bursa seks. Hal ini mengindikasikan bahwa kapitalisme mulai masuk dalam tradisi ”mengomoditikan” perempuan, dan menjadikannya sebagai sebuah wahana perputaran uang yang besar, dan layak untuk disetarakan dengan sebuah ”industri”. Dalam dunia bisnis ekonomi yang didominasi patriarki, perempuan terancam. Baik di Jakarta, Surabaya, atau kota industrial lain, ancaman buat perempuan sebagai komoditas pasti besar.

”Liberalisme pasar plus patriarki sama dengan ancaman bagi perempuan,” tandas Andri Arianto.

Zaki zubaidi
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6437 seconds (0.1#10.140)