Jembatan Malo Terancam Roboh
A
A
A
BOJONEGORO - Penambangan pasir ilegal menggunakan mesin penyedot di sekitar Jembatan Malo, Kecamatan Malo, Kabupaten Bojonegoro, mengancam runtuhnya jembatan tersebut.
Saat ini kegiatan penambangan illegal itu telah mengakibatkan pilar-pilar Jembatan Malo yang dibangun pada 2007 itu turun sekitar 10 cm dan tebingnya rusak akibat abrasi. Jembatan Malo yang berdiri di atas Sungai Bengawan Solo ini merupakan jembatan penghubung Kecamatan Malo dengan Kecamatan Kalitidu. Setiap hari ribuan orang melewati jembatan yang konstruksinya melengkungtersebut.
Kepala Seksi Operasi UPT Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Balai Besar Bengawan Solo di Bojonegoro Mucharom menyebutkan, temuan menurunnya pilar-pilar Jembatan Malo itu berdasarkan penelitian yang dilakukan instansinya beberapa waktu lalu. Selain mengancam keruntuhan Jembatan Malo, penambangan pasir menggunakan mesin penyedot telah menyebabkan plengsengan di Bendungan Gerak di Kecamatan Trucuk longsor sepanjang 75 cm.
Tidak jauh dari bendungan yang dibangun pada 2012 itu, tebing Bengawan Solo di Desa Mlaten, Kecamatan Kalitidu, longsor sepanjang 200 meter. “Mereka menggunakan perahu proton (mesin penyedot ditaruh di perahu, perahu bisa keliling), jika mereka masuk ke tubuh bendungan bisa merusak bangunan. Paling rawan penambang di sekitar Jembatan Malo karena jumlahnya banyak sekali. Kalau tidak ditertibkan, Jembatan Malo akan runtuh,” ujar Mucharom.
Maraknya penambang menggunakan mesin penyedot membuat kondisi di sekitar Sungai Bengawan Solo memprihatinkan. Bahkan, beberapa waktu lalu Bupati Bojonegoro Suyoto sudah menyatakan darurat lingkungan. Data PSDA menyebutkan, hingga akhir 2014 ada 210 pemilik penambang pasir di 13 kecamatan di 45 desa. Ketiga belas kecamatan itu ada di Kecamatan Bojonegoro, Trucuk, Dander, Kalitidu, Malo, Kasiman, Padangan, Ngraho, Margomulyo, Balen, Kanor, Baureno, dan Purwosari.
“Ada 225 penambang menggunakan mesin penyedot, 70 unit penambangan manual. Penambangan menggunakan mesin dinyatakan ilegal karena tidak diperbolehkan,” paparnya. Mucharom mengatakan, sesuai Pasal 20 Perda Provinsi Jatim No 1/2005 ayat 1, setiap orang yang melanggar Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 (1), Pasal 11 (4), Pasal 16 diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp50 juta.
“Pasal tiga, kegiatan pelaksanaan penambangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan sarana prasarana pengairan termasuk penambangan tanpa izin diancam sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” bebernya. Kepala Satpol PP Bojonegoro Arwan mengaku tidak berani menertibkan penambangan liar itu. Hal itu karena eskalasi perlawanan warga ketika ditertibkan luar biasa.
Eskalasi itu ditimbulkan dari kebutuhan pasir sendiri untuk pembangunan saat ini kebutuhannya sangat tinggi. “Kedua, penambangan pasir dibeberapa wilayah ditutup(disekitar Sungai Brantas). Ini menyebabkan penambangan pasir di Bojonegoro luar biasa jumlah penambangnya.
Kalau kami melihat pengalaman menertibkan penambang di Kecamatan Kasiman tanggal 3 Februari 2015, kami sempat balik kanan karena ada anarki warga,” ujarnya.
Muhammad roqib
Saat ini kegiatan penambangan illegal itu telah mengakibatkan pilar-pilar Jembatan Malo yang dibangun pada 2007 itu turun sekitar 10 cm dan tebingnya rusak akibat abrasi. Jembatan Malo yang berdiri di atas Sungai Bengawan Solo ini merupakan jembatan penghubung Kecamatan Malo dengan Kecamatan Kalitidu. Setiap hari ribuan orang melewati jembatan yang konstruksinya melengkungtersebut.
Kepala Seksi Operasi UPT Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Balai Besar Bengawan Solo di Bojonegoro Mucharom menyebutkan, temuan menurunnya pilar-pilar Jembatan Malo itu berdasarkan penelitian yang dilakukan instansinya beberapa waktu lalu. Selain mengancam keruntuhan Jembatan Malo, penambangan pasir menggunakan mesin penyedot telah menyebabkan plengsengan di Bendungan Gerak di Kecamatan Trucuk longsor sepanjang 75 cm.
Tidak jauh dari bendungan yang dibangun pada 2012 itu, tebing Bengawan Solo di Desa Mlaten, Kecamatan Kalitidu, longsor sepanjang 200 meter. “Mereka menggunakan perahu proton (mesin penyedot ditaruh di perahu, perahu bisa keliling), jika mereka masuk ke tubuh bendungan bisa merusak bangunan. Paling rawan penambang di sekitar Jembatan Malo karena jumlahnya banyak sekali. Kalau tidak ditertibkan, Jembatan Malo akan runtuh,” ujar Mucharom.
Maraknya penambang menggunakan mesin penyedot membuat kondisi di sekitar Sungai Bengawan Solo memprihatinkan. Bahkan, beberapa waktu lalu Bupati Bojonegoro Suyoto sudah menyatakan darurat lingkungan. Data PSDA menyebutkan, hingga akhir 2014 ada 210 pemilik penambang pasir di 13 kecamatan di 45 desa. Ketiga belas kecamatan itu ada di Kecamatan Bojonegoro, Trucuk, Dander, Kalitidu, Malo, Kasiman, Padangan, Ngraho, Margomulyo, Balen, Kanor, Baureno, dan Purwosari.
“Ada 225 penambang menggunakan mesin penyedot, 70 unit penambangan manual. Penambangan menggunakan mesin dinyatakan ilegal karena tidak diperbolehkan,” paparnya. Mucharom mengatakan, sesuai Pasal 20 Perda Provinsi Jatim No 1/2005 ayat 1, setiap orang yang melanggar Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 (1), Pasal 11 (4), Pasal 16 diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp50 juta.
“Pasal tiga, kegiatan pelaksanaan penambangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan sarana prasarana pengairan termasuk penambangan tanpa izin diancam sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” bebernya. Kepala Satpol PP Bojonegoro Arwan mengaku tidak berani menertibkan penambangan liar itu. Hal itu karena eskalasi perlawanan warga ketika ditertibkan luar biasa.
Eskalasi itu ditimbulkan dari kebutuhan pasir sendiri untuk pembangunan saat ini kebutuhannya sangat tinggi. “Kedua, penambangan pasir dibeberapa wilayah ditutup(disekitar Sungai Brantas). Ini menyebabkan penambangan pasir di Bojonegoro luar biasa jumlah penambangnya.
Kalau kami melihat pengalaman menertibkan penambang di Kecamatan Kasiman tanggal 3 Februari 2015, kami sempat balik kanan karena ada anarki warga,” ujarnya.
Muhammad roqib
(ars)