Pemerintah Tak Larang Mudik, Penyebaran Corona Makin Luas
A
A
A
JAKARTA - Penyebaran virus Corona (Covid-19) dinilai berpontensi meluas lantaran pemerintah tidak tegas mudik Lebaran 2020.
Pengamat kebijakan publik Achmad Nur Hidayat mengatakan, kebijakan mudik ini sangat dilematis. Bagi kalangan atas yang secara ekonomi mapan, akan memilih tidak mudik karena mereka melihat mudik memiliki risiko tinggi.
Namun, bagi kalangan bawah yang hidup pas-pasan di Jakarta, kampung merupakan tempat terbaik untuk bertahan hidup sehingga mereka akan tetap mudik mengabaikan imbauan pemerintah tidak mudik. Begitu juga, imbauan 14 hari karantina tetap di kampung halaman akan dilanggar juga dengan alasan mencari nafkah.
"Bila ada kalangan yang tetap mengikuti aturan 14 hari karantina di kampung halaman akan lebih berbahaya dibandingkan mereka melakukan karantina di kota Jakarta. Alasannya adalah kepadatan (density) penduduk per rumah tangga rerata Jakarta dan kota besar adalah 3,9 orang, sedangkan density penduduk pedesaan per rumah tangga sebesar 6-8 orang," jelas Achmad Nur Hidayat, Minggu (5/4/2020).
Pengamat yang akrab disapa Matnoer ini mengatakan, jelas sekali bahwa tingkat penyebaran Covid-19 di kampung halaman akan jauh lebih besar jika para pemudik ODP tiba di desanya masing-masing. Bila otoritas dapat melakukan seleksi ketat terhadap pemudik yang ODP, dampak penyebaran CoVid-19 di kampung halaman mungkin dapat diminimalisasi.
"Masalahnya adalah kemampuan pemerintah daerah dalam mendeteksi pemudik apakah sehat atau tidak sangat terbatas kalau boleh dibilang tidak memiliki kompetensi sama sekali. Solusi masif tes CV19 bagi warga kota adalah tepat bila pemerintah ingin membuka ritual mudik tetap ada. Hal itu disebabkan masing-masing individu perkotaan dapat memutuskan secara sukarela apakah dirinya lebih baik mudik atau tidak. Bila mengetahui positif maka individu tersebut memiliki kemungkinan mudik yang lebih kecil kecuali bila dirinya sengaja ingin menyebarkan virusnya kepada keluarga tercinta di kampung halaman," paparnya.
Sayangnya, kata Matnoer, tes massal belum dilakukan karena alat rapid tes yang kemarin diujicobakan ternyata memiliki tingkat error (kesalahan) besar.
Dalam kondisi individu perkotaan tidak mengetahui apakah dirinya terinfeksi atau tidak dan dalam kondisi opsi mudik terbuka lebar maka potensi tersebar Covid-19 di kampung halaman menjadi sangat besar.
"Hal ini lebih membahayakan karena potensi kematian warga kampung mudik lebih besar daripada risiko kematian warga di kota. Layanan kesehatan di pedesaan sangat minim. Kelengkapan APD tenaga medis belum tersebar di kampung mudik dan banyak kabupaten yang tidak dilengkapi dengan ventilator akan menjadi beban tambahan masyarakat di kampung halaman yang terpapar Covid-19."
Matnoer mengakui, ide mengganti hari libur panjang di luar hari libur Lebaran merupakan ide yang menarik. Dengan begitu liburan Lebaran akan pendek, Liburan Lebaran yang diperpendek akan menyebabkan warga kota berpikir panjang untuk mudik namun hal tersebut berlaku bagi kalangan atas perkotaan. Lagi, bagi kalangan bawah liburan panjang atau pendek liburan ebaran tidak mempengaruhi keinginan rindu mereka pada keluarga di kampung halaman. Pengaturan liburan akan efektif bagi mereka yang merupakan pekerja formal, bagi kalangan bawah yang merupakan pekerja informal, panjang pendek liburan sama sekali tidak berpengaruh.
"Pemberian bansos khusus kepada warga perkotaan untuk meredam mudik akan efektif bila diberikan kepada semua orang yang berada di zona merah Jakarta. Pemberian bansos khusus hanya kepada 2,5 juta penduduk Kota Jakarta yang miskin saja tidak tepat karena begitu mereka menerima bansos khusus tersebut, mereka lebih banyak memiliki insensif (banyak uang) untuk mudik meski di pasca (H+7) Lebaran. Mudik pasca-Lebaran biasa dilakukan oleh pekerja informal dan miskin perkotaan karena mereka terbiasa berburu rezeki saat Lebaran tiba."
Akhirnya, desain mudik 2020 yang disampaikan oleh pemerintah melalui pemberian bansos khusus, pergantian liburan Lebaran, masa 14 karantina pemudik sampai pengetatan aturan PSBB dan physical distancing saat mudik akan tidak efektif mengurangi jumlah pemudik bahkan berdampak menyebabkan inflasi lebih tinggi.
"Tidak diperdebatkan lagi bahwa dalam kondisi normal, mudik bermanfaat bagi ekonomi nasional, mempercepat pertumbuhan ekonomi pedesaan dan memperkuat distribusi pendapatan dari kota ke desa, dan mudik juga meningkatkan indeks kebahagiaan dan kohesifitas masyarakat. Namun di tengah wabah Covid, nilai manfaatnya tersebut lebih kecil daripada biaya keberlangsungan hidup dan jiwa masyarakat. Oleh sebab itu, MUI menimbang manfaat dan mudarat mudik 2020 tersebut. Tanpa ragu MUI mengambil kesimpulan bahwa mudarat mudik jauh lebih besar daripada manfaatnya sehingga MUI menyatakan mudik adalah haram bagi muslim di tengah wabah Covid-19," jelasnya.
Karena itu, lanjut mantan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) ini, dalam analisis kebijakan publik, satu-satunya langkah efektif dalam desain mudik 2020 di situasi Covid-19 adalah melalui pelarangan mudik total yang disertai edukasi dan law enforcement aparat keamanan.
Menurutnya, edukasi yang masif akan melahirkan kesadaran bahayanya mudik ke kampung halaman. Berbekal kesadaran tersebut, warga dengan sukarela menunda mudiknya sampai wabah Covid-19 mereda. Edukasi sama pentingnya dengan penggunaan law enforcement untuk menghindari otoritas melanggar prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi.
"Bila jumlah yang mudik 2020 sama masifnya seperti 2019 lalu, maka berarti pemerintah gagal menghindari orang kampung mudik dari serangan Covid-19. Itu sama artinya pemerintah secara sadar membiakkan Covid-19 dari perkotaan ke kampung-kampung halaman."
Pengamat kebijakan publik Achmad Nur Hidayat mengatakan, kebijakan mudik ini sangat dilematis. Bagi kalangan atas yang secara ekonomi mapan, akan memilih tidak mudik karena mereka melihat mudik memiliki risiko tinggi.
Namun, bagi kalangan bawah yang hidup pas-pasan di Jakarta, kampung merupakan tempat terbaik untuk bertahan hidup sehingga mereka akan tetap mudik mengabaikan imbauan pemerintah tidak mudik. Begitu juga, imbauan 14 hari karantina tetap di kampung halaman akan dilanggar juga dengan alasan mencari nafkah.
"Bila ada kalangan yang tetap mengikuti aturan 14 hari karantina di kampung halaman akan lebih berbahaya dibandingkan mereka melakukan karantina di kota Jakarta. Alasannya adalah kepadatan (density) penduduk per rumah tangga rerata Jakarta dan kota besar adalah 3,9 orang, sedangkan density penduduk pedesaan per rumah tangga sebesar 6-8 orang," jelas Achmad Nur Hidayat, Minggu (5/4/2020).
Pengamat yang akrab disapa Matnoer ini mengatakan, jelas sekali bahwa tingkat penyebaran Covid-19 di kampung halaman akan jauh lebih besar jika para pemudik ODP tiba di desanya masing-masing. Bila otoritas dapat melakukan seleksi ketat terhadap pemudik yang ODP, dampak penyebaran CoVid-19 di kampung halaman mungkin dapat diminimalisasi.
"Masalahnya adalah kemampuan pemerintah daerah dalam mendeteksi pemudik apakah sehat atau tidak sangat terbatas kalau boleh dibilang tidak memiliki kompetensi sama sekali. Solusi masif tes CV19 bagi warga kota adalah tepat bila pemerintah ingin membuka ritual mudik tetap ada. Hal itu disebabkan masing-masing individu perkotaan dapat memutuskan secara sukarela apakah dirinya lebih baik mudik atau tidak. Bila mengetahui positif maka individu tersebut memiliki kemungkinan mudik yang lebih kecil kecuali bila dirinya sengaja ingin menyebarkan virusnya kepada keluarga tercinta di kampung halaman," paparnya.
Sayangnya, kata Matnoer, tes massal belum dilakukan karena alat rapid tes yang kemarin diujicobakan ternyata memiliki tingkat error (kesalahan) besar.
Dalam kondisi individu perkotaan tidak mengetahui apakah dirinya terinfeksi atau tidak dan dalam kondisi opsi mudik terbuka lebar maka potensi tersebar Covid-19 di kampung halaman menjadi sangat besar.
"Hal ini lebih membahayakan karena potensi kematian warga kampung mudik lebih besar daripada risiko kematian warga di kota. Layanan kesehatan di pedesaan sangat minim. Kelengkapan APD tenaga medis belum tersebar di kampung mudik dan banyak kabupaten yang tidak dilengkapi dengan ventilator akan menjadi beban tambahan masyarakat di kampung halaman yang terpapar Covid-19."
Matnoer mengakui, ide mengganti hari libur panjang di luar hari libur Lebaran merupakan ide yang menarik. Dengan begitu liburan Lebaran akan pendek, Liburan Lebaran yang diperpendek akan menyebabkan warga kota berpikir panjang untuk mudik namun hal tersebut berlaku bagi kalangan atas perkotaan. Lagi, bagi kalangan bawah liburan panjang atau pendek liburan ebaran tidak mempengaruhi keinginan rindu mereka pada keluarga di kampung halaman. Pengaturan liburan akan efektif bagi mereka yang merupakan pekerja formal, bagi kalangan bawah yang merupakan pekerja informal, panjang pendek liburan sama sekali tidak berpengaruh.
"Pemberian bansos khusus kepada warga perkotaan untuk meredam mudik akan efektif bila diberikan kepada semua orang yang berada di zona merah Jakarta. Pemberian bansos khusus hanya kepada 2,5 juta penduduk Kota Jakarta yang miskin saja tidak tepat karena begitu mereka menerima bansos khusus tersebut, mereka lebih banyak memiliki insensif (banyak uang) untuk mudik meski di pasca (H+7) Lebaran. Mudik pasca-Lebaran biasa dilakukan oleh pekerja informal dan miskin perkotaan karena mereka terbiasa berburu rezeki saat Lebaran tiba."
Akhirnya, desain mudik 2020 yang disampaikan oleh pemerintah melalui pemberian bansos khusus, pergantian liburan Lebaran, masa 14 karantina pemudik sampai pengetatan aturan PSBB dan physical distancing saat mudik akan tidak efektif mengurangi jumlah pemudik bahkan berdampak menyebabkan inflasi lebih tinggi.
"Tidak diperdebatkan lagi bahwa dalam kondisi normal, mudik bermanfaat bagi ekonomi nasional, mempercepat pertumbuhan ekonomi pedesaan dan memperkuat distribusi pendapatan dari kota ke desa, dan mudik juga meningkatkan indeks kebahagiaan dan kohesifitas masyarakat. Namun di tengah wabah Covid, nilai manfaatnya tersebut lebih kecil daripada biaya keberlangsungan hidup dan jiwa masyarakat. Oleh sebab itu, MUI menimbang manfaat dan mudarat mudik 2020 tersebut. Tanpa ragu MUI mengambil kesimpulan bahwa mudarat mudik jauh lebih besar daripada manfaatnya sehingga MUI menyatakan mudik adalah haram bagi muslim di tengah wabah Covid-19," jelasnya.
Karena itu, lanjut mantan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) ini, dalam analisis kebijakan publik, satu-satunya langkah efektif dalam desain mudik 2020 di situasi Covid-19 adalah melalui pelarangan mudik total yang disertai edukasi dan law enforcement aparat keamanan.
Menurutnya, edukasi yang masif akan melahirkan kesadaran bahayanya mudik ke kampung halaman. Berbekal kesadaran tersebut, warga dengan sukarela menunda mudiknya sampai wabah Covid-19 mereda. Edukasi sama pentingnya dengan penggunaan law enforcement untuk menghindari otoritas melanggar prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi.
"Bila jumlah yang mudik 2020 sama masifnya seperti 2019 lalu, maka berarti pemerintah gagal menghindari orang kampung mudik dari serangan Covid-19. Itu sama artinya pemerintah secara sadar membiakkan Covid-19 dari perkotaan ke kampung-kampung halaman."
(nun)