Kebutuhan Minyak Kayu Putih Indonesia Masih Didominasi Impor
A
A
A
GUNUNGKIDUL - Kebutuhan minyak kayu putih di Indonesia tergolong tinggi. Dalam satu tahun, rata-rata kebutuhan minyak kayu putih mencapai 3500 ton. Namun sayang dari total kebutuhan tersebut batu 10 persen yang bisa dipenuhi dari hasil hutan Indonesia. Sisayanya yang mencapai 90 persen, masih mengandalkan impor.
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro mengatakan, untuk mengatasi kondisi produktivitas kayu putih yang belum maksimal dibutuhkan upaya memperbaiki kualitas bibit kayu putih. Dengan demikian produksinya akan meningkat. Dengan peningkatan produktivitas, diharapkan memenuhi kebutuhan sehingga mengurangi impor.
"Pangsa pasar besar kebutuhan besar namun baru 10 persen yang berasal dari hasil dalam negeri sisanya campuran impor," terangnya saat penanaman bibit unggul kayu putih di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Dusun Kepek I, Banyusoco, Playen, Gunungkidul, Rabu (18/12/2019).
Untuk meningkatkan produktivitas selain bibit unggul juga perlu dikembangkan sistem inti plasma. Dengan sistem ini diharapkan masyarakat atau petani kayu putih bisa menikmati langsung terutama di daerah Gunungkidul. "Inti plasma harus dikembangkan karena bisa dinikmati petani langsung," ulasnya.
Bambang menambahkan, saat ini pihak swasta juga sudah menyatakan kesiapan melakukan pembelian hasil minyak kayu putih. Pemerintah sudah menyiapakn oengolahan mulai dari daun diubah menjadi minyak atas bantuan dari Kemenristek," lanjut Kepala Balai Riset Inovasi Nasional ini.
Sementara Peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPPBPTH) Kementerian Lingkungan Hidup dana Kehutanan (LHK), Anto Rimbawanto mengatakan, saat ini pihaknya berhasil menemukan bibit kayu putih unggul. Jenis ini menurutnya memiliki hasil minyak lebih banyak. Selainan itu juga masa panen yang cepat yaitu 25 bulan.
"Kita berusaha kembangkan jenis ini. Salah satunya ditanam di lahan seluas sepuluh hektare di Gunungkidul. Pengembangan juga dilaksanakan di Biak, Bangkalan, Lampung dan Riau," pungkasnya.
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro mengatakan, untuk mengatasi kondisi produktivitas kayu putih yang belum maksimal dibutuhkan upaya memperbaiki kualitas bibit kayu putih. Dengan demikian produksinya akan meningkat. Dengan peningkatan produktivitas, diharapkan memenuhi kebutuhan sehingga mengurangi impor.
"Pangsa pasar besar kebutuhan besar namun baru 10 persen yang berasal dari hasil dalam negeri sisanya campuran impor," terangnya saat penanaman bibit unggul kayu putih di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Dusun Kepek I, Banyusoco, Playen, Gunungkidul, Rabu (18/12/2019).
Untuk meningkatkan produktivitas selain bibit unggul juga perlu dikembangkan sistem inti plasma. Dengan sistem ini diharapkan masyarakat atau petani kayu putih bisa menikmati langsung terutama di daerah Gunungkidul. "Inti plasma harus dikembangkan karena bisa dinikmati petani langsung," ulasnya.
Bambang menambahkan, saat ini pihak swasta juga sudah menyatakan kesiapan melakukan pembelian hasil minyak kayu putih. Pemerintah sudah menyiapakn oengolahan mulai dari daun diubah menjadi minyak atas bantuan dari Kemenristek," lanjut Kepala Balai Riset Inovasi Nasional ini.
Sementara Peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPPBPTH) Kementerian Lingkungan Hidup dana Kehutanan (LHK), Anto Rimbawanto mengatakan, saat ini pihaknya berhasil menemukan bibit kayu putih unggul. Jenis ini menurutnya memiliki hasil minyak lebih banyak. Selainan itu juga masa panen yang cepat yaitu 25 bulan.
"Kita berusaha kembangkan jenis ini. Salah satunya ditanam di lahan seluas sepuluh hektare di Gunungkidul. Pengembangan juga dilaksanakan di Biak, Bangkalan, Lampung dan Riau," pungkasnya.
(nun)