Kharisma Sultan HB IX Membuat Komandan Pasukan Belanda Gemetar saat Hendak Menyerbu Keraton
loading...
A
A
A
Lahir di Ngasem, Sompilan, Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun, Hamengkubuwana IX merupakan anak kesembilan Gusti Pangeran Puruboyo dari istri utamanya, Raden Ajeng Kustilah.
Pada tahun 1914, ketika Dorodjatun belum genap tiga tahun, Gusti Pangeran Puruboyo diangkat menjadi Putra Mahkota Yogyakarta. Karena suaminya menjadi Putra Mahkota, Raden Ajeng Kustilah mendapat gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom pada tahun 1915.
Meskipun demikian, KRA Adipati Anom tidak sempat menjadi Ratu Yogyakarta. Ia dipulangkan ke rumah ayahnya sekitar tahun 1918–1919.
Penyebab pemulangan ini diduga karena retaknya hubungan antara KRA Adipati Anom dengan mertuanya. Namun ada juga yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah KRA Adipati Anom merupakan keturunan Untung Suropati yang merupakan musuh Belanda, sehingga kejadian ini bermaksud untuk melindungi KRA Adipati Anom.
Ketika berumur empat tahun, Dorodjatun diperintah ayahnya untuk mulai tinggal terpisah dari keraton. Dorodjatun kecil menangis keras dan terus memeluk salah satu tiang di keraton sebelum dapat dipisahkan.
Ia tinggal bersama keluarga Mulder, orang Belanda yang menjabat sebagai Kepala Sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School dan tinggal di daerah Gondokusuman.
Ketika tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie ("Henk kecil") yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari Belanda.
Nama panggilan ini terus ia gunakan hingga bersekolah dan kuliah di Belanda, serta oleh teman-teman dekatnya tetap digunakan sampai masa tuanya sebagai Hamengkubuwana IX.
Ada kisah menarik mengenai keberanian Sultan Hemngku Buwono IX melawan Belanda. Saat itu Pasukan tank Belanda pernah mengancam akan meledakkan pintu gerbang Keraton Yogyakarta pada 1 Maret 1949 lalu.
Namun, begitu berhadapan dengan Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX nyali komandan pasukan tank Belanda langsung menciut. Peristiwa sejarah ini dikenal Serangan Umum 1 Maret 1949.
Sri Sultan HB IX mengusir pasukan tank Belanda yang masuk ke Keraton. Cerita ini dilansir dalam buku Sri Sultan HB IX Inspirasi dari Sang Pemimpin Rakyat, Selasa (1/3/2022).
Pria bernama kecil Gusti Raden Mas Dorodjatun ini dicurigai intel Belanda terlibat serangan dadakan yang mengguncang dunia internasional tersebut.
Saat itu pasukan berlapis baja di depan pintu gerbang Keraton, mereka mengancam akan mendobrak dan menyerbu jika tidak segera dibuka.
Sultan HB IX akhirnya memerintahkan untuk membuka gerbang pintu. Komandan pasukan tank Belanda dan anak buahnya masuk ke dalam Keraton.
Saat Komandan pasukan tank Belanda berada di hadapan Sultan HB IX langsung gemetar. Nyalinya langsung menciut. Sultan yang fasih bahasa Belanda menang wibawa dan menguasai keadaan.
Namun ada suatu kebiasaan yang mengakar di Belanda. Sultan yang pernah belajar di Universitas Leiden memiliki posisi lebih unggul. Sebab kampus tersebut tertua di Belanda.
Baca: Karya Sastra Pujangga Kerajaan Majapahit Prapanca Masih Banyak Belum Terungkap.
Sedangkan Komandan pasukan tank Belanda lulusan Universitas Delft, sehingga tidak sembarangan untuk berbicara. Tradisi Belanda itu membuat Komandan pasukan tank Belanda segan dan berbicara hormat kepada Sultan.
Tak hanya itu, Komandan pasukan tank Belanda tidak berani menuduh Sultan membantu para pejuang RI dan berhasil melancarkan serangan umum.
Akhirnya Komandan pasukan tank Belanda mundur dari keraton. Anak buahnya heran pasukan dipukul mundur tanpa ada ketegangan sama sekali.
Sumber:
wikipedia
diolah dari berbagai sumber
Pada tahun 1914, ketika Dorodjatun belum genap tiga tahun, Gusti Pangeran Puruboyo diangkat menjadi Putra Mahkota Yogyakarta. Karena suaminya menjadi Putra Mahkota, Raden Ajeng Kustilah mendapat gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom pada tahun 1915.
Meskipun demikian, KRA Adipati Anom tidak sempat menjadi Ratu Yogyakarta. Ia dipulangkan ke rumah ayahnya sekitar tahun 1918–1919.
Penyebab pemulangan ini diduga karena retaknya hubungan antara KRA Adipati Anom dengan mertuanya. Namun ada juga yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah KRA Adipati Anom merupakan keturunan Untung Suropati yang merupakan musuh Belanda, sehingga kejadian ini bermaksud untuk melindungi KRA Adipati Anom.
Ketika berumur empat tahun, Dorodjatun diperintah ayahnya untuk mulai tinggal terpisah dari keraton. Dorodjatun kecil menangis keras dan terus memeluk salah satu tiang di keraton sebelum dapat dipisahkan.
Ia tinggal bersama keluarga Mulder, orang Belanda yang menjabat sebagai Kepala Sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School dan tinggal di daerah Gondokusuman.
Ketika tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie ("Henk kecil") yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari Belanda.
Nama panggilan ini terus ia gunakan hingga bersekolah dan kuliah di Belanda, serta oleh teman-teman dekatnya tetap digunakan sampai masa tuanya sebagai Hamengkubuwana IX.
Ada kisah menarik mengenai keberanian Sultan Hemngku Buwono IX melawan Belanda. Saat itu Pasukan tank Belanda pernah mengancam akan meledakkan pintu gerbang Keraton Yogyakarta pada 1 Maret 1949 lalu.
Namun, begitu berhadapan dengan Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX nyali komandan pasukan tank Belanda langsung menciut. Peristiwa sejarah ini dikenal Serangan Umum 1 Maret 1949.
Sri Sultan HB IX mengusir pasukan tank Belanda yang masuk ke Keraton. Cerita ini dilansir dalam buku Sri Sultan HB IX Inspirasi dari Sang Pemimpin Rakyat, Selasa (1/3/2022).
Pria bernama kecil Gusti Raden Mas Dorodjatun ini dicurigai intel Belanda terlibat serangan dadakan yang mengguncang dunia internasional tersebut.
Saat itu pasukan berlapis baja di depan pintu gerbang Keraton, mereka mengancam akan mendobrak dan menyerbu jika tidak segera dibuka.
Sultan HB IX akhirnya memerintahkan untuk membuka gerbang pintu. Komandan pasukan tank Belanda dan anak buahnya masuk ke dalam Keraton.
Saat Komandan pasukan tank Belanda berada di hadapan Sultan HB IX langsung gemetar. Nyalinya langsung menciut. Sultan yang fasih bahasa Belanda menang wibawa dan menguasai keadaan.
Namun ada suatu kebiasaan yang mengakar di Belanda. Sultan yang pernah belajar di Universitas Leiden memiliki posisi lebih unggul. Sebab kampus tersebut tertua di Belanda.
Baca: Karya Sastra Pujangga Kerajaan Majapahit Prapanca Masih Banyak Belum Terungkap.
Sedangkan Komandan pasukan tank Belanda lulusan Universitas Delft, sehingga tidak sembarangan untuk berbicara. Tradisi Belanda itu membuat Komandan pasukan tank Belanda segan dan berbicara hormat kepada Sultan.
Tak hanya itu, Komandan pasukan tank Belanda tidak berani menuduh Sultan membantu para pejuang RI dan berhasil melancarkan serangan umum.
Akhirnya Komandan pasukan tank Belanda mundur dari keraton. Anak buahnya heran pasukan dipukul mundur tanpa ada ketegangan sama sekali.
Sumber:
wikipedia
diolah dari berbagai sumber
(nag)