Kerajaan Majapahit, Dibentengi Gapura Megah dengan Alun-alun yang Dikelilingi Jalur Air Pengendali Banjir
loading...
A
A
A
KERAJAAN Majapahit selalu menarik untuk diulas. Kerajaan terbesar di Nusantara itu meninggalkan terlalu banyak peninggalan penting untuk dipelajari. Salah satunya bentuk bangunan kerajaan masa Hayam Wuruk.
Masa Hayam Wuruk menjadi penting, karena pada masanya Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaan.
Namun, banyak ahli silang pendapat mengenai bentuk bangunan kerajaan Majapahit itu. Penggalian informasi mengenai hal itu pun terus dilakukan hingga kini, bagai sumber mata air yang tidak pernah kering.
Demikian Cerita Pagi akan mengulas secara singkat bangunan Kerajaan Majapahit yang megah tersebut.
Dilansir dari buku Geografi Kesejarahan Indonesia, diketahui keraton Majapahit menghadap ke utara. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan, bahwa ada gerbang di utara kompleks keraton yang luar biasa besar.
Pintu gerbang itu terbuat dari besi dengan hiasan yang sangat indah dan cukup panjang. Itulah pintu gerbang utama keraton Kerajaan Majapahit. Di depan pintu gerbang itu, terdapat tanah lapang bernama Wanguntur.
Posisi keraton yang menghadap utara dengan depannya lapangan atau alun-alun ini ternyata dijadikan model oleh Kasepuhan Cirebon, Keraton Surasowan di Banten lama, Keraton Jogjakarta dan Surakarta.
Tidak hanya itu, model bangunan menghadap utara dengan alun-alun di depannya juga digunakan pada sejumlah kantor pemerintahan di Jawa hingga saat ini. Baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi.
Pengendalian banjir pada masa Kerajaan Majapahit juga banyak diadopsi. Diketahui, ibu kota Kerajaan Majapahit dikelilingi oleh jaringan jalur air yang lebar dan dalam, serta mempunyai jalan keluar ke Kali Brantas.
Adapun sumber air ibu kota Kerajaan Majapahit berasal dari sungai-sungai yang ada di sebelah selatan ibu kota.
Sayang, peta utuh Kerajaan Majapahit hingga saat ini tidak pernah ditemukan. Para ahli telah berusaha membuat gambar peta itu, dengan acuan kitab Negarakertagama yang ditemukan pertama kali di Lombok, pada 1902.
Tercatat, rekonstruksi Kota Majapahit telah dilakukan oleh Kern pada 1905 dan 1914. Hasilnya lalu dipublikasikan oleh Kern dan Poerbatjaraka. Tetapi sketsa kasar itu menuai kritik dari sejumlah peneliti lainnya.
Mengikuti jejak Kern, Stuterheim pada 1914 dan Pigeaud tahun 1960-1963 membuat kembali rekonstruksi ibu kota Majapahit itu. Kedua peneliti ini juga saling silang pendapat. Acuan terhadap peta itu pun terus berpolemik.
Sementara para ahli terus berpolemik, kitab Negarakertagama terus menjadi acuan penulisan Kerajaan Majapahit.
Dalam kitab itu disebutkan, bahwa inti pusat Kerajaan Majapahit terdiri dari sebuah sentrum ganda dan terdapat beberapa daerah suci. Salah satu yang terpenting adalah tempat pemujaan di sebelah timur alun-alun Lor.
Di tengah-tengah tempat pemujaan itu, terdapat viraha Siva, lengkap dengan tempat upacara pengorbanan.
Menurut Maclaine Ponnt, luas seluruh kota Majapahit kurang lebih 8-9 km persegi dan tidak memiliki benteng kota. Hanya istana raja saja yang memiliki benteng. Dengan demikian, tidak ada jarak antara kerajaan dan warganya.
Sementara keraton kerajaan terdiri dari tiga bagian dan bagian timur digunakan sebagai tempat tinggal.
Dengan melihat pembangunan Kerajaan Majapahit dapat diketahui juga bahwa kerajaan itu telah melakukan pembagian kota menjadi satuan-satuan teritorial pada sistem perkampungan di kota-kota Jawa.
Sistem ini kemudian diadopsi dalam pemerintahan, di mana kota-kota di Jawa memiliki satuan teritorial sendiri.
Menurut Adara Primadia, ada 10 peninggalan Majapahit yang ada saat ini. Terdiri dari candi-candi dan gapura. Yang menarik dari peninggalan itu adalah Gapura Bajang Ratu di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto.
Baca: Kesaktian Raden Patah, Taklukkan Kerajaan Majapahit Tanpa Peperangan
Gapura ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Struktur bangunan gerbang ini dibentuk vertikal dengan tiga bagian, yakni kaki, badan, dan atap. Apabila dilihat dari atas, candi ini berbentuk segi empat.
Panjang gapura ini mencapai 11,5x10,5 meter persegi dengan tinggi 16,5 meter dan memiliki lorong 1,4 meter. Gapura ini merupakan gapura terbesar yang ada selama Kerajaan Majapahit berdiri.
Demikian, ulasan Cerita Pagi ini diakhiri. Semoga bermanfaat.
Masa Hayam Wuruk menjadi penting, karena pada masanya Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaan.
Namun, banyak ahli silang pendapat mengenai bentuk bangunan kerajaan Majapahit itu. Penggalian informasi mengenai hal itu pun terus dilakukan hingga kini, bagai sumber mata air yang tidak pernah kering.
Demikian Cerita Pagi akan mengulas secara singkat bangunan Kerajaan Majapahit yang megah tersebut.
Dilansir dari buku Geografi Kesejarahan Indonesia, diketahui keraton Majapahit menghadap ke utara. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan, bahwa ada gerbang di utara kompleks keraton yang luar biasa besar.
Pintu gerbang itu terbuat dari besi dengan hiasan yang sangat indah dan cukup panjang. Itulah pintu gerbang utama keraton Kerajaan Majapahit. Di depan pintu gerbang itu, terdapat tanah lapang bernama Wanguntur.
Posisi keraton yang menghadap utara dengan depannya lapangan atau alun-alun ini ternyata dijadikan model oleh Kasepuhan Cirebon, Keraton Surasowan di Banten lama, Keraton Jogjakarta dan Surakarta.
Tidak hanya itu, model bangunan menghadap utara dengan alun-alun di depannya juga digunakan pada sejumlah kantor pemerintahan di Jawa hingga saat ini. Baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi.
Pengendalian banjir pada masa Kerajaan Majapahit juga banyak diadopsi. Diketahui, ibu kota Kerajaan Majapahit dikelilingi oleh jaringan jalur air yang lebar dan dalam, serta mempunyai jalan keluar ke Kali Brantas.
Adapun sumber air ibu kota Kerajaan Majapahit berasal dari sungai-sungai yang ada di sebelah selatan ibu kota.
Sayang, peta utuh Kerajaan Majapahit hingga saat ini tidak pernah ditemukan. Para ahli telah berusaha membuat gambar peta itu, dengan acuan kitab Negarakertagama yang ditemukan pertama kali di Lombok, pada 1902.
Tercatat, rekonstruksi Kota Majapahit telah dilakukan oleh Kern pada 1905 dan 1914. Hasilnya lalu dipublikasikan oleh Kern dan Poerbatjaraka. Tetapi sketsa kasar itu menuai kritik dari sejumlah peneliti lainnya.
Mengikuti jejak Kern, Stuterheim pada 1914 dan Pigeaud tahun 1960-1963 membuat kembali rekonstruksi ibu kota Majapahit itu. Kedua peneliti ini juga saling silang pendapat. Acuan terhadap peta itu pun terus berpolemik.
Sementara para ahli terus berpolemik, kitab Negarakertagama terus menjadi acuan penulisan Kerajaan Majapahit.
Dalam kitab itu disebutkan, bahwa inti pusat Kerajaan Majapahit terdiri dari sebuah sentrum ganda dan terdapat beberapa daerah suci. Salah satu yang terpenting adalah tempat pemujaan di sebelah timur alun-alun Lor.
Di tengah-tengah tempat pemujaan itu, terdapat viraha Siva, lengkap dengan tempat upacara pengorbanan.
Menurut Maclaine Ponnt, luas seluruh kota Majapahit kurang lebih 8-9 km persegi dan tidak memiliki benteng kota. Hanya istana raja saja yang memiliki benteng. Dengan demikian, tidak ada jarak antara kerajaan dan warganya.
Sementara keraton kerajaan terdiri dari tiga bagian dan bagian timur digunakan sebagai tempat tinggal.
Dengan melihat pembangunan Kerajaan Majapahit dapat diketahui juga bahwa kerajaan itu telah melakukan pembagian kota menjadi satuan-satuan teritorial pada sistem perkampungan di kota-kota Jawa.
Sistem ini kemudian diadopsi dalam pemerintahan, di mana kota-kota di Jawa memiliki satuan teritorial sendiri.
Menurut Adara Primadia, ada 10 peninggalan Majapahit yang ada saat ini. Terdiri dari candi-candi dan gapura. Yang menarik dari peninggalan itu adalah Gapura Bajang Ratu di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto.
Baca: Kesaktian Raden Patah, Taklukkan Kerajaan Majapahit Tanpa Peperangan
Gapura ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Struktur bangunan gerbang ini dibentuk vertikal dengan tiga bagian, yakni kaki, badan, dan atap. Apabila dilihat dari atas, candi ini berbentuk segi empat.
Panjang gapura ini mencapai 11,5x10,5 meter persegi dengan tinggi 16,5 meter dan memiliki lorong 1,4 meter. Gapura ini merupakan gapura terbesar yang ada selama Kerajaan Majapahit berdiri.
Demikian, ulasan Cerita Pagi ini diakhiri. Semoga bermanfaat.
(san)