Upah Pemetik Teh Rp800/Kg Harus Terhenti Gara-gara Corona
loading...
A
A
A
PURWAKARTA - Buruh pemetik teh di Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarya, menjadi pihak paling terdampak dari pandemi COVID-19. Meskipun pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sudah berakhir, mereka tetap saja belum bisa memetik teh secara normal. Bahkan, profesi andalan untuk menghidupi keluarganya itu sempat terhenti beberapa bulan terakhir.
Terhentinya memetik menurut sebagian pemilik kebun teh, karena tidak ada bandar yang mau membeli. Sehingga pucuk teh dibiarkan menua tanpa dipetik untuk menghindari kerugian yang cukup besar. Para pemetik teh seakan menghilang dari perkebunan-perkebunan disaat pandemi COVID-19. Biasanya perkebunan itu akan dipenuhi para pemetik teh setiap hari antara pukul 06.00-11.00 WIB.
Salah seorang pemilik perkebunan teh, Ika Novianti (39) warga Kampung Sukamaju RT 2/3 Desa Cileunca, Kecamatan Bojong mengaku, baru beberapa hari terakhir ini pemetiknya mulai kembali beraktivitas. Itu pun setelah adanya bandar yang mau menampung teh dari kebunnya dengan harga yang cukup murah. (Baca: New Normal, Layanan BP Jamsostek Melonjak hingga 15 Ribu Orang per Hari)
"Kasihan pemetik yang biasa bekerja di kebun saya. Mereka dibayar jika memetik dengan perhitungan volume harian dari teh yang dipetik. Selama pandemi COVID-19 kemarin, mereka seolah banting stir mencari sumber nafkah lainnya di kampung. Terkadang diminta bantuan untuk mengurus domba yang saya punya,"ungkap Ika kepada SINDOnews, Jumat (10/7/2020).
Dia menyebutkan, rata-rata teh yang dihasilkan di kebunnya sebanyak 100 kg untuk setiap harinya. Pengepul atau bandar menghargai sebesar Rp1.700/kg. Sedangkan upah untuk pemetik Rp800/kg dan sisanya Rp900 untuk pemilik kebun. "Biasanya setiap pemetik dapat upah Rp20.000 setiap hari,"sebutnya. (Baca: XL Axiata Perkuat Layanan di Kawasan Industri Jawa Barat)
Dia berharap, ada perhatian pemerintah kepada buruh pemetik teh. Mereka selama ini jarang atau bahkan tak pernah terpehatikan. Padahal peran pemetik dalam industri teh sangatlah besar. termasuk di Purwakarta.
Lihat Juga: Kisah Inspiratif Desa Umong Seuribee, dari Petani Subsisten Menjadi Eksportir Minyak Nilam
Terhentinya memetik menurut sebagian pemilik kebun teh, karena tidak ada bandar yang mau membeli. Sehingga pucuk teh dibiarkan menua tanpa dipetik untuk menghindari kerugian yang cukup besar. Para pemetik teh seakan menghilang dari perkebunan-perkebunan disaat pandemi COVID-19. Biasanya perkebunan itu akan dipenuhi para pemetik teh setiap hari antara pukul 06.00-11.00 WIB.
Salah seorang pemilik perkebunan teh, Ika Novianti (39) warga Kampung Sukamaju RT 2/3 Desa Cileunca, Kecamatan Bojong mengaku, baru beberapa hari terakhir ini pemetiknya mulai kembali beraktivitas. Itu pun setelah adanya bandar yang mau menampung teh dari kebunnya dengan harga yang cukup murah. (Baca: New Normal, Layanan BP Jamsostek Melonjak hingga 15 Ribu Orang per Hari)
"Kasihan pemetik yang biasa bekerja di kebun saya. Mereka dibayar jika memetik dengan perhitungan volume harian dari teh yang dipetik. Selama pandemi COVID-19 kemarin, mereka seolah banting stir mencari sumber nafkah lainnya di kampung. Terkadang diminta bantuan untuk mengurus domba yang saya punya,"ungkap Ika kepada SINDOnews, Jumat (10/7/2020).
Dia menyebutkan, rata-rata teh yang dihasilkan di kebunnya sebanyak 100 kg untuk setiap harinya. Pengepul atau bandar menghargai sebesar Rp1.700/kg. Sedangkan upah untuk pemetik Rp800/kg dan sisanya Rp900 untuk pemilik kebun. "Biasanya setiap pemetik dapat upah Rp20.000 setiap hari,"sebutnya. (Baca: XL Axiata Perkuat Layanan di Kawasan Industri Jawa Barat)
Dia berharap, ada perhatian pemerintah kepada buruh pemetik teh. Mereka selama ini jarang atau bahkan tak pernah terpehatikan. Padahal peran pemetik dalam industri teh sangatlah besar. termasuk di Purwakarta.
Lihat Juga: Kisah Inspiratif Desa Umong Seuribee, dari Petani Subsisten Menjadi Eksportir Minyak Nilam
(don)