Pil Pahit Sunda Galuh Pertahankan Hubungan dengan Sriwijaya dan Majapahit
loading...
A
A
A
KERAJAAN Sunda Galuh merupakan penyatuan dua kerajaan pecahan Tarumanegara di Tanah Sunda, yang didirikan oleh Sanjaya, pada 723. Namun, penggabungan kedua kerajaan itu lebih dikenal juga dengan Kerajaan Sunda.
Penyebutan Kerajaan Sunda Galuh sendiri berasal dari catatan perjalanan pertama Prabu Jaya Pakuan (Bujangga Manik) yang mengelilingi Pulau Jawa, dan catatan perjalanan Tom Pires, pada 1513.
Catatan itu diperkuat juga dengan prasasti yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Dari sumber-sumber itu juga diketahui, Kerajaan Sunda Galuh bermula dari Pemerintahan Sanjaya hingga Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati.
Selama berlangsungnya, Kerajaan Sunda dikuasai oleh 33 raja, dari yang pertama Sanjaya pada 723-732 hingga yang ke-33 Prabu Susuktunggal pada 1475-1482. Selama itu, banyak dinamika yang terjadi.
Di antara dinamika itu adalah hubungan Kerajaan Galuh dengan kerajaan-kerajaan lain, seperti Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Hubungan Kerajaan Sunda Galuh dengan kedua kerajaan besar itu berlangsung sangat menarik.
Merunut sejarahnya, hubungan Kerajaan Sunda Galuh dengan Sriwijaya sudah terjalin sejak masa Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati yang berkuasa pada 1030-1042. Disebutkan, bahwa dia adalah putra Sanghiyang Ageng.
Sri Jayabupati memiliki ibu yang juga seorang putri keturunan Sriwijaya dan masih memiliki ikatan kerabat dengan Raja Wurawuri. Sedangkan permaisuri Jayabupati adalah putri dari Dharmawangsa, pemimpin Kerajaan Medang.
Dharmawangsa merupakan adik Dewi Laksmi yang merupakan istri Airlangga. Jayabupati bahkan mendapatkan gelar dari Dharmawangsa dari pernikahannya itu. Gelar ini tercatat juga dalam Prasasti Cibadak.
Dalam prasasti itu juga disebutkan bahkan Jayabupati adalah Raja Galuh ke-20. Namun, ada yang menyebutnya yang ke-19. Sedangkan yang ke-20 adalah Darmaraja yang memerintah kerajaan itu, pada 1042-1065.
Hubungan Kerajaan Galuh dengan Sriwijaya sempat serba salah. Peristiwa itu terjadi akibat permusuhan antara Sriwijaya dengan mertuanya Dharmawangsa. Saat itu merupakan masa yang sulit bagi Raja Jayabupati.
Saat permusuhan tersebut memuncak, Jayabupati hanya melihat mertuanya Dharmawangsa dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Jayabupati sebenarnya sudah diberi tahu serangan itu.
Namun, dia tidak berdaya dan harus menelan pil pahit dengan hanya melihat, serta membiarkan mertuanya dihabisi oleh Raja Wurawuri demi mempertahankan Kerajaan Sunda Galuh agar tidak ikut dihancurkan Sriwijaya.
Dalam prasasti Calcutta, peristiwa serangan Raja Wurawuri itu disebut sebagai Pralaya, pada 1019 Masehi. Dari angka prasasti itu, tampak adanya perbedaan tahun dan masa Raja Jayabupati berkuasa.
Tentang adanya perbedaan angka ini, penulis serahkan kepada sidang pembaca untuk menelisik sumber lainnya.
Sementara hubungan Kerajaan Sunda Galuh dengan Majapahit, adalah karena ikatan kekeluargaan. Disebutkan bahwa leluhur pendiri Kerajaan Majapahit Raden Wijaya atau Dyah Wijaya berasal dari Sunda dan Singhasari.
Bermula dari Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu yang memiliki putra mahkota bernama Rakryan Jayadarma yang berkedudukan di Pakuan. Rakryan Jayadarma merupakan menantu Mahisa Campaka dari Kerajaan Singasari.
Rakryan Jayadarma kemudian menikah dengan Dyah Lembu Tal dan memiliki anak yang diberi bernama Nararaya Sanggamawijaya atau yang dikenal dengan Raden Wijaya atau Dyah Wijaya, yang lahir di Pakuan.
Tetapi karena Jayadarma wafat di usia muda, dikisahkan pada Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi Nusantara Parwa II sarga 3, Raden Wijaya dan ibunya kembali ke Jawa Timur.
Pada Babad Tanah Jawa, Dyah Wijaya juga dikenal dengan Jaka Sesuruh dari Pasundan. Sebagai keturunan Jayadarma, Raden Wijaya merupakan penerus tahta Kerajaan Sunda yang sah, yakni jika Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu meninggal.
Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putra mahkota, karena Jaka Sesuruh yang seharusnya menjadi raja Sunda justru menjadi pendiri kerajaan baru Majapahit, dan menjadi raja pertamanya.
Sampai di sini ulasan Cerita Pagi diakhiri. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk menyempurnakan penulisan ini. Semoga bermanfaat.
Sumber tulisan:
1. Sri Wintala Achmad, Perang Bubat, 1279 Saka, Araska Publisher, 2019.
2. Peri Mardiono, Genealogi kerajaan Islam di Jawa, Araska Publisher, 2021.
3. Sri Wintala Achmad, Sejarah Raja-raja Majapahit, Araska Publisher, 2019.
Penyebutan Kerajaan Sunda Galuh sendiri berasal dari catatan perjalanan pertama Prabu Jaya Pakuan (Bujangga Manik) yang mengelilingi Pulau Jawa, dan catatan perjalanan Tom Pires, pada 1513.
Catatan itu diperkuat juga dengan prasasti yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Dari sumber-sumber itu juga diketahui, Kerajaan Sunda Galuh bermula dari Pemerintahan Sanjaya hingga Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati.
Selama berlangsungnya, Kerajaan Sunda dikuasai oleh 33 raja, dari yang pertama Sanjaya pada 723-732 hingga yang ke-33 Prabu Susuktunggal pada 1475-1482. Selama itu, banyak dinamika yang terjadi.
Di antara dinamika itu adalah hubungan Kerajaan Galuh dengan kerajaan-kerajaan lain, seperti Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Hubungan Kerajaan Sunda Galuh dengan kedua kerajaan besar itu berlangsung sangat menarik.
Merunut sejarahnya, hubungan Kerajaan Sunda Galuh dengan Sriwijaya sudah terjalin sejak masa Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati yang berkuasa pada 1030-1042. Disebutkan, bahwa dia adalah putra Sanghiyang Ageng.
Sri Jayabupati memiliki ibu yang juga seorang putri keturunan Sriwijaya dan masih memiliki ikatan kerabat dengan Raja Wurawuri. Sedangkan permaisuri Jayabupati adalah putri dari Dharmawangsa, pemimpin Kerajaan Medang.
Dharmawangsa merupakan adik Dewi Laksmi yang merupakan istri Airlangga. Jayabupati bahkan mendapatkan gelar dari Dharmawangsa dari pernikahannya itu. Gelar ini tercatat juga dalam Prasasti Cibadak.
Dalam prasasti itu juga disebutkan bahkan Jayabupati adalah Raja Galuh ke-20. Namun, ada yang menyebutnya yang ke-19. Sedangkan yang ke-20 adalah Darmaraja yang memerintah kerajaan itu, pada 1042-1065.
Hubungan Kerajaan Galuh dengan Sriwijaya sempat serba salah. Peristiwa itu terjadi akibat permusuhan antara Sriwijaya dengan mertuanya Dharmawangsa. Saat itu merupakan masa yang sulit bagi Raja Jayabupati.
Saat permusuhan tersebut memuncak, Jayabupati hanya melihat mertuanya Dharmawangsa dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Jayabupati sebenarnya sudah diberi tahu serangan itu.
Namun, dia tidak berdaya dan harus menelan pil pahit dengan hanya melihat, serta membiarkan mertuanya dihabisi oleh Raja Wurawuri demi mempertahankan Kerajaan Sunda Galuh agar tidak ikut dihancurkan Sriwijaya.
Dalam prasasti Calcutta, peristiwa serangan Raja Wurawuri itu disebut sebagai Pralaya, pada 1019 Masehi. Dari angka prasasti itu, tampak adanya perbedaan tahun dan masa Raja Jayabupati berkuasa.
Tentang adanya perbedaan angka ini, penulis serahkan kepada sidang pembaca untuk menelisik sumber lainnya.
Sementara hubungan Kerajaan Sunda Galuh dengan Majapahit, adalah karena ikatan kekeluargaan. Disebutkan bahwa leluhur pendiri Kerajaan Majapahit Raden Wijaya atau Dyah Wijaya berasal dari Sunda dan Singhasari.
Bermula dari Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu yang memiliki putra mahkota bernama Rakryan Jayadarma yang berkedudukan di Pakuan. Rakryan Jayadarma merupakan menantu Mahisa Campaka dari Kerajaan Singasari.
Rakryan Jayadarma kemudian menikah dengan Dyah Lembu Tal dan memiliki anak yang diberi bernama Nararaya Sanggamawijaya atau yang dikenal dengan Raden Wijaya atau Dyah Wijaya, yang lahir di Pakuan.
Tetapi karena Jayadarma wafat di usia muda, dikisahkan pada Pustaka Rajya-Rajya I Bhumi Nusantara Parwa II sarga 3, Raden Wijaya dan ibunya kembali ke Jawa Timur.
Pada Babad Tanah Jawa, Dyah Wijaya juga dikenal dengan Jaka Sesuruh dari Pasundan. Sebagai keturunan Jayadarma, Raden Wijaya merupakan penerus tahta Kerajaan Sunda yang sah, yakni jika Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu meninggal.
Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putra mahkota, karena Jaka Sesuruh yang seharusnya menjadi raja Sunda justru menjadi pendiri kerajaan baru Majapahit, dan menjadi raja pertamanya.
Sampai di sini ulasan Cerita Pagi diakhiri. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk menyempurnakan penulisan ini. Semoga bermanfaat.
Sumber tulisan:
1. Sri Wintala Achmad, Perang Bubat, 1279 Saka, Araska Publisher, 2019.
2. Peri Mardiono, Genealogi kerajaan Islam di Jawa, Araska Publisher, 2021.
3. Sri Wintala Achmad, Sejarah Raja-raja Majapahit, Araska Publisher, 2019.
(san)