Kampung Jagir, Revolusi Karya Melawan Binasa
loading...
A
A
A
SURABAYA - Nama Wonokromo sudah tersohor sejak dulu sebagai sarang copet, dan pelaku kriminal. Tempat prostitusi yang menjadi idaman pria hidung belang. Lokasinya yang berada di dekat stasiun serta pintu air, menjadikan Wonkromo begitu populer.
Kampung Jagir yang berada di dekat stasiun, menjalani peran sebagai pemantik revolusi perubahan masyarakat di Wonokromo. Menghapus berbagai stigma negatif Wonokromo, melalui perubahan prilaku masyarakat yang menunjukan identitas sebenarnya sebuah nilai dari kerja keras warga Surabaya.
Deru Kereta Api Sancaka terdengar riuh, berjalan pelan dengan gesekan besi yang nyaring terdengar ke perkampungan. Niki Firmansyah (38) masih belum menyelesaikan 50 pesanan pot bunga ketika jam di dinding sudah menunjukan pukul 15.30 WIB. Hanya sebuah pembatas tembok tipis dari batu bata yang memisahkan antara stasiun dengan Kampung Jagir.
Senja yang akan segera menjemput tak begitu dihiraukan. Ia tetap terampil memainkan kedua tangganya untuk mengolah sampah dari limbah pampers yang dibuang warga ke sungai Kalimas. Sampah yang tak bisa terurai itu disulap menjadi pot bunga dan batako. "Ini ada pesanan dari kampus, jadi semua pot bunga berbahan dasar pampers bayi yang saya ambil dari sampah di sungai," kata Niki.
Sejak pagi Niki belum berhenti berproduksi. Hanya istirahat sekali untuk menghabiskan makan siang serta kembali mengolah limbah pampers menjadi barang yang bernilai. "Nggak ada yang nganggur di sini sekarang," sahut Fifie Indarti dari ujung gang, hanya berjarak tiga rumah dari Niki duduk.
Ibu dua anak itu sudah selesai melipat ratusan keset yang dibuatnya dari kain perca. Barang sisa yang dia rangkai kembali menjadi barang yang berguna bagi masyarakat. Di rumahnya, ada tiga perempuan lainnya yang ikut membantu. Saling melepas tawa, sesekali mereka saling adu canda sampai terlupa adzan maghrib berkumandang.
Meskipun berusia senja, mereka tak patah arang. Dari tangan kelompok rentan itu, mereka bisa mendulang rupiah. Kelompok rentan yang ada di kampung sempit itu diajak berkarya. Mereka yang sebelumnya hanya menantungkan rezeki dari sang suami kini ikut menambah pundi rezeki buat keluarganya.
"Suami tukang becak, alhamdulilah dari kerajinan ini saya bisa membantu menambah uang belanjaan di rumah," kata Sopiah, salah satu warga.
Uniknya, sebagian besar dari karya warga di Kampung Jagir berasal dari sampah. Ada yang dibuat pigora, hiasan dinding, jam tangan, sampai tas belanja. Bahkan, para pemuda yang dulunya pengangguran pun diserap tenaganya pada ruang produktif untuk membuat batako dan pot bunga dari limbah yang sulit terurai di sungai, yakni pempers dan pembalut.
"Dulu di sini dikenal dengan kampung copet, jadi ketika ada dompet atau barang yang hilang dari stasiun nyarinya ya kesini," tambah Niki sambil menyelesaikan pot terakhir pesanan untuk hari ini.
Tak ada yang terbuang, katanya, dari pampers maupun pembalut. Bahan luar pampers dan pembalut dibuat menjadi pot bunga. Sementara perekat bahan di dalam pampers dipakai dalam campuran media tanam yang dicampur bersama sekam. Hasilnya pun banyak yang mengapresiasi, bahkan tiap hari pesanan selalu datang untuk dibuatkan oleh para warga Jagir.
Menjelang petang, suara mesin jahit masih bersahutan. Tiga perempuan duduk bersimpu di lantai berwarna coklat yang di tiap sudutnya berhamburan berbagai jenis kain. Mereka memotong beberapa bagian, ada yang bertugas untuk membetulkan kancing baju. "Kebetulan ada pesanan seragam dari ibu PKK," kata mereka.
Di rumah paling ujung, dekat pos RW, mereka memiliki tempat pamer baju. Lokasi yang strategis karena dipakai lalu lalang kendaraan. Beberapa produk dipamerkan sebagai contoh dan sebagian lainnya sudah siap untuk dipakai. "Kami rutin untuk memberikan pelatihan pada ibu-ibu, sesuai dengan minat mereka," kata Fifie.
Warga di Kampung Jagir menyadari betul bagaimana stigma dulu yang terbangun ketika orang-orang memandang Wonokromo. Citra minor sebagai sarang copet dan kawasan yang kerap jadi mangkal para pekerja seks komersial (PSK) di dekat pintu air. Mereka pun mengubah wajah Wonokromo, revolusi kecil yang dibangun dari gang sempit, dengan menonjolkan produktifitas serta semangat untuk berubah dari para warganya.
Energi Alternatif Ramah Lingkungan
Warga di Kelurahan Jagir juga mencoba untuk mandiri, mengola kebutuhan dari hulu sampai hilir dengan memaksimalkan apa yang ada di lingkungannya. Di kawasan yang terik dan di tengah bangunan yang menjulang Kota Surabaya, Kampung Jagir hadir sebagai sebuah anomali kota urban. Mereka masih bisa panen buah anggur, pisang, delima, telang, serta umbi-umbian. Bahkan, mereka memenuhi kebutuhan air secara mandiri.
Energi alternatif pun dikembangkan warga dengan memaksimalkan sampah. Mereka menyadari sampah domestik di Surabaya sangat tinggi, termasuk di Jagir. Dari limbah rumah tanga itu yang paling besar dari sisa makanan diubah oleh mereka menjadi biogas yang menjadi salah satu energi baru terbarukan.
"Biogas itu juga dipakai untuk berproduksi, kita menggoreng emping dan keripik singkong dengan energi baru itu," kata Fifie yang juga menjadi salah satu kader lingkungan di Jagir.
Setiap hari, sampah dari masing-masing rumah dikumpulkan dengan tabungan sampah yang bisa dinikmati oleh para warga. Sampah yang kerap dipandang sebelah mata diubah menjadi biogas yang bisa kembali dimanfaatkan oleh warga. "Ada juga maggot yang bisa dipakai untuk mengurai sampah. Sekaligus kami juga punya budidaya lele yang bisa diberikan makanan rutin dari maggot," sambungnya.
Produksi berbagai keripik yang digoreng dengan biogas itu juga memberikan efek domino bagi penghasilan warga. Mereka menjualnya ke berbagai marketplace serta toko kelontong yang ada di Surabaya. Aplikasi e-peken yang dibuat oleh pemerintah kota juga dimaksimalkan untuk menambah daya jual produk buatan Kampung Jagir.
Ketua RW 4 Kelurahan Jagir, Ambarwati menuturkan, ada banyak perjalanan yang harus dilalui ketika mengubah wajah kampung dari yang dulunya kumuh menjadi hijau seperti sekarang ini. Sebelum Pertamina masuk, kampungnya sudah mafhum dikenal sebagai kampung yang kumuh. Apalagi dekat dengan tempat prostitusi. "Tapi semenjak ada support dari Pertamina, kampung kita jadi kampung yang hijau dengan kemandirian mengelola sampah," kata Ambar.
Ambar mengakui memang tidak mudah ketika pertama kali menggerakkan warga. Pengurus kampung seperti dirinya harus mau aktif untuk turun langsung di setiap kegiatan dan menjaring masukan dari warga. "Sekarang di sini lengkap. Mulai dari kebun ketahanan pangan, biogas, biopori, hidroponik sampai pemadam kebakaran juga disiapkan. Apalagi kampungnya kan sempit, jadi mobil pemadam sulit masuk, tapi kami sudah siapkan jalur untuk airnya," ucapnya.
Bahkan, para lansia juga tetap diajak untuk menikmati masa senjanya dengan ceria. Mereka diajak serta dalam pengembangan karya berupa produk dan mengisi masa senjanya dengan bahagia. "Semua warga diajak serta, tak ada yang tertinggal," jelasnya.
Menjaga Buah Hati, Menanamkan Mandiri Sejak Dini
Lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan ketika petang datang. Neon warna kuning dan merah begitu dominan menerpa tembok kampung yang dicat warna biru dan hijau. Beberapa ruas kampung juga asri dengan tanaman hijau yang menjalar di berbagai sudut perkampungan.
Lebar jalan hanya 3 meter, cukup untuk dipakai sepeda motor berpapasan. Kampung sempit yang kini mulai muncul pamornya itu menegaskan aliran rezeki tetap datang di malam hari. Tentu bukan dari prostitusi seperti dulu yang tersohor dari kawasan Wonokromo, tapi dari UMKM yang bertumbuh di Jagir.
Di bawah purnama itu, para ibu duduk di teras rumah. Ada yang membungkus minuman herbal, meletakan kemasan makanan ringan, serta sebagian ada yang membuat manik-manik dari kain perca. "Ini lagi coba juga buat olahan kunyit dan sere jadi minuman. Dari hasil tanam di depan rumah," kata Sofia, salah satu warga.
Celoteh anak terdengar lirih, ada tepuk tangan, dan sesekali teriakan keras yang diakhiri dengan tertawa bersama dalam libasan angin yang malam itu merayap pelan di permukaan kulit ketika duduk di teras rumah Kampung Jagir.
Sebuah lahan gambut yang ta terpakai disulap warga menjadi sebuah taman bacaan bagi anak. Sekaligus menjadi tempat berkumpul anak yang nyaman. Beberapa rak tersusun rapi, deretan buku berjejar dengan beberapa mainan yang tersebar di tiap sudutnya.
Ada anak yang duduk bersila, ada yang bersandar di dinding, sebagian lainnya juga berkerumun sambil selonjoran di sebuah tikar sederhana berwarna merah yang cukup nyaman buat anak-anak itu belajar. Di lahan yang juga bekan tempat sampah itu, mereka menemukan rumah yang bisa dipakai untuk belajar anak.
Para orang tuanya merasa aman anak-anaknya di sana. Mereka bisa memantau anaknya setiap saat. Di sela-sela mereka membungkus keripik, meramu minuman herbal maupun membuat kreasi manik-manik yang menjadikan Kampung Jagir salah satu kampung produktif dan kreatif di Kota Pahlawan.
Mereka pun bersyukur kini anak-anak mereka terbangun dalam lingkaran sehat dalam proses pengasuhan. Di masa emas mereka bertumbuh, banyak kesematan yang dilakukan oleh anak-anak dalam mengembangkan bakat dan minatnya.
Bahkan, anak-anak di Kelurahan Jagir juga diajari mandiri sejak dini. Mereka berkolaborasi dengan berbagai UMKM yang ada di kampung yang bersebalahan dengan kantor Pertamina itu. Anak-anak memainkan peran seperti generasinya yang pure digital. Mereka membantu membuatkan desain produk UMKM, membuka lapak digital serta membantu memasarkan barang di marketplace.
Kolaborasi strategis itu juga membawa dampak baik bagi anak-anak yang bisa produktif sejak usia muda. Mereka pun bisa berpenghasilan dengan ragam desain yang sudah mereka buat. Menyiapkan foto produk sampai pembuatan video pendek yang membantu para UMKM di Kampung Jagir dikenal secara luas.
"Kami berdiskusi dulu tentang produk yang dikembangkan. Apa keunggulannya serta manfaat bagi masyarakat. Sama anak-anak nanti diterjemahkan dalam desain, foto dan video," kata Thony, salah satu pemuda karang taruna Kampung Jagir.
Program CSR Pertamina bersama masyarakat mencoba untuk mencapai tujuan, memecahkan permasalahan di lingkungannya dan memberikan kesejahteraan serta kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat di sekitar area operasi Pertamina. Revolusi lingkungan yang dilakukan di Kelurahan Jagir menjadi bukti gerakan kolaborasi itu mampu untuk mengubah kebiasaan menuju produktifitas.
Langkah kecil yang dilakukan di Kelurahan Jagir mampu mengubah perwajahan Surabaya. Bukan hanya mandiri dalam meraup rezeki, namun juga mampu menghadirkan kebudayaan baik yang tumbuh di tengah pergerakan masyarakat urban di Kota Pahlawan.
Lihat Juga: 11 Perwakilan Kampus dari Sumatera hingga Papua Deklarasi Dukungan Program DEB SoBI di Yogyakarta
Kampung Jagir yang berada di dekat stasiun, menjalani peran sebagai pemantik revolusi perubahan masyarakat di Wonokromo. Menghapus berbagai stigma negatif Wonokromo, melalui perubahan prilaku masyarakat yang menunjukan identitas sebenarnya sebuah nilai dari kerja keras warga Surabaya.
Deru Kereta Api Sancaka terdengar riuh, berjalan pelan dengan gesekan besi yang nyaring terdengar ke perkampungan. Niki Firmansyah (38) masih belum menyelesaikan 50 pesanan pot bunga ketika jam di dinding sudah menunjukan pukul 15.30 WIB. Hanya sebuah pembatas tembok tipis dari batu bata yang memisahkan antara stasiun dengan Kampung Jagir.
Senja yang akan segera menjemput tak begitu dihiraukan. Ia tetap terampil memainkan kedua tangganya untuk mengolah sampah dari limbah pampers yang dibuang warga ke sungai Kalimas. Sampah yang tak bisa terurai itu disulap menjadi pot bunga dan batako. "Ini ada pesanan dari kampus, jadi semua pot bunga berbahan dasar pampers bayi yang saya ambil dari sampah di sungai," kata Niki.
Sejak pagi Niki belum berhenti berproduksi. Hanya istirahat sekali untuk menghabiskan makan siang serta kembali mengolah limbah pampers menjadi barang yang bernilai. "Nggak ada yang nganggur di sini sekarang," sahut Fifie Indarti dari ujung gang, hanya berjarak tiga rumah dari Niki duduk.
Ibu dua anak itu sudah selesai melipat ratusan keset yang dibuatnya dari kain perca. Barang sisa yang dia rangkai kembali menjadi barang yang berguna bagi masyarakat. Di rumahnya, ada tiga perempuan lainnya yang ikut membantu. Saling melepas tawa, sesekali mereka saling adu canda sampai terlupa adzan maghrib berkumandang.
Meskipun berusia senja, mereka tak patah arang. Dari tangan kelompok rentan itu, mereka bisa mendulang rupiah. Kelompok rentan yang ada di kampung sempit itu diajak berkarya. Mereka yang sebelumnya hanya menantungkan rezeki dari sang suami kini ikut menambah pundi rezeki buat keluarganya.
"Suami tukang becak, alhamdulilah dari kerajinan ini saya bisa membantu menambah uang belanjaan di rumah," kata Sopiah, salah satu warga.
Baca Juga
Uniknya, sebagian besar dari karya warga di Kampung Jagir berasal dari sampah. Ada yang dibuat pigora, hiasan dinding, jam tangan, sampai tas belanja. Bahkan, para pemuda yang dulunya pengangguran pun diserap tenaganya pada ruang produktif untuk membuat batako dan pot bunga dari limbah yang sulit terurai di sungai, yakni pempers dan pembalut.
"Dulu di sini dikenal dengan kampung copet, jadi ketika ada dompet atau barang yang hilang dari stasiun nyarinya ya kesini," tambah Niki sambil menyelesaikan pot terakhir pesanan untuk hari ini.
Tak ada yang terbuang, katanya, dari pampers maupun pembalut. Bahan luar pampers dan pembalut dibuat menjadi pot bunga. Sementara perekat bahan di dalam pampers dipakai dalam campuran media tanam yang dicampur bersama sekam. Hasilnya pun banyak yang mengapresiasi, bahkan tiap hari pesanan selalu datang untuk dibuatkan oleh para warga Jagir.
Menjelang petang, suara mesin jahit masih bersahutan. Tiga perempuan duduk bersimpu di lantai berwarna coklat yang di tiap sudutnya berhamburan berbagai jenis kain. Mereka memotong beberapa bagian, ada yang bertugas untuk membetulkan kancing baju. "Kebetulan ada pesanan seragam dari ibu PKK," kata mereka.
Di rumah paling ujung, dekat pos RW, mereka memiliki tempat pamer baju. Lokasi yang strategis karena dipakai lalu lalang kendaraan. Beberapa produk dipamerkan sebagai contoh dan sebagian lainnya sudah siap untuk dipakai. "Kami rutin untuk memberikan pelatihan pada ibu-ibu, sesuai dengan minat mereka," kata Fifie.
Warga di Kampung Jagir menyadari betul bagaimana stigma dulu yang terbangun ketika orang-orang memandang Wonokromo. Citra minor sebagai sarang copet dan kawasan yang kerap jadi mangkal para pekerja seks komersial (PSK) di dekat pintu air. Mereka pun mengubah wajah Wonokromo, revolusi kecil yang dibangun dari gang sempit, dengan menonjolkan produktifitas serta semangat untuk berubah dari para warganya.
Energi Alternatif Ramah Lingkungan
Warga di Kelurahan Jagir juga mencoba untuk mandiri, mengola kebutuhan dari hulu sampai hilir dengan memaksimalkan apa yang ada di lingkungannya. Di kawasan yang terik dan di tengah bangunan yang menjulang Kota Surabaya, Kampung Jagir hadir sebagai sebuah anomali kota urban. Mereka masih bisa panen buah anggur, pisang, delima, telang, serta umbi-umbian. Bahkan, mereka memenuhi kebutuhan air secara mandiri.
Energi alternatif pun dikembangkan warga dengan memaksimalkan sampah. Mereka menyadari sampah domestik di Surabaya sangat tinggi, termasuk di Jagir. Dari limbah rumah tanga itu yang paling besar dari sisa makanan diubah oleh mereka menjadi biogas yang menjadi salah satu energi baru terbarukan.
"Biogas itu juga dipakai untuk berproduksi, kita menggoreng emping dan keripik singkong dengan energi baru itu," kata Fifie yang juga menjadi salah satu kader lingkungan di Jagir.
Setiap hari, sampah dari masing-masing rumah dikumpulkan dengan tabungan sampah yang bisa dinikmati oleh para warga. Sampah yang kerap dipandang sebelah mata diubah menjadi biogas yang bisa kembali dimanfaatkan oleh warga. "Ada juga maggot yang bisa dipakai untuk mengurai sampah. Sekaligus kami juga punya budidaya lele yang bisa diberikan makanan rutin dari maggot," sambungnya.
Produksi berbagai keripik yang digoreng dengan biogas itu juga memberikan efek domino bagi penghasilan warga. Mereka menjualnya ke berbagai marketplace serta toko kelontong yang ada di Surabaya. Aplikasi e-peken yang dibuat oleh pemerintah kota juga dimaksimalkan untuk menambah daya jual produk buatan Kampung Jagir.
Ketua RW 4 Kelurahan Jagir, Ambarwati menuturkan, ada banyak perjalanan yang harus dilalui ketika mengubah wajah kampung dari yang dulunya kumuh menjadi hijau seperti sekarang ini. Sebelum Pertamina masuk, kampungnya sudah mafhum dikenal sebagai kampung yang kumuh. Apalagi dekat dengan tempat prostitusi. "Tapi semenjak ada support dari Pertamina, kampung kita jadi kampung yang hijau dengan kemandirian mengelola sampah," kata Ambar.
Ambar mengakui memang tidak mudah ketika pertama kali menggerakkan warga. Pengurus kampung seperti dirinya harus mau aktif untuk turun langsung di setiap kegiatan dan menjaring masukan dari warga. "Sekarang di sini lengkap. Mulai dari kebun ketahanan pangan, biogas, biopori, hidroponik sampai pemadam kebakaran juga disiapkan. Apalagi kampungnya kan sempit, jadi mobil pemadam sulit masuk, tapi kami sudah siapkan jalur untuk airnya," ucapnya.
Bahkan, para lansia juga tetap diajak untuk menikmati masa senjanya dengan ceria. Mereka diajak serta dalam pengembangan karya berupa produk dan mengisi masa senjanya dengan bahagia. "Semua warga diajak serta, tak ada yang tertinggal," jelasnya.
Menjaga Buah Hati, Menanamkan Mandiri Sejak Dini
Lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan ketika petang datang. Neon warna kuning dan merah begitu dominan menerpa tembok kampung yang dicat warna biru dan hijau. Beberapa ruas kampung juga asri dengan tanaman hijau yang menjalar di berbagai sudut perkampungan.
Lebar jalan hanya 3 meter, cukup untuk dipakai sepeda motor berpapasan. Kampung sempit yang kini mulai muncul pamornya itu menegaskan aliran rezeki tetap datang di malam hari. Tentu bukan dari prostitusi seperti dulu yang tersohor dari kawasan Wonokromo, tapi dari UMKM yang bertumbuh di Jagir.
Di bawah purnama itu, para ibu duduk di teras rumah. Ada yang membungkus minuman herbal, meletakan kemasan makanan ringan, serta sebagian ada yang membuat manik-manik dari kain perca. "Ini lagi coba juga buat olahan kunyit dan sere jadi minuman. Dari hasil tanam di depan rumah," kata Sofia, salah satu warga.
Celoteh anak terdengar lirih, ada tepuk tangan, dan sesekali teriakan keras yang diakhiri dengan tertawa bersama dalam libasan angin yang malam itu merayap pelan di permukaan kulit ketika duduk di teras rumah Kampung Jagir.
Sebuah lahan gambut yang ta terpakai disulap warga menjadi sebuah taman bacaan bagi anak. Sekaligus menjadi tempat berkumpul anak yang nyaman. Beberapa rak tersusun rapi, deretan buku berjejar dengan beberapa mainan yang tersebar di tiap sudutnya.
Ada anak yang duduk bersila, ada yang bersandar di dinding, sebagian lainnya juga berkerumun sambil selonjoran di sebuah tikar sederhana berwarna merah yang cukup nyaman buat anak-anak itu belajar. Di lahan yang juga bekan tempat sampah itu, mereka menemukan rumah yang bisa dipakai untuk belajar anak.
Para orang tuanya merasa aman anak-anaknya di sana. Mereka bisa memantau anaknya setiap saat. Di sela-sela mereka membungkus keripik, meramu minuman herbal maupun membuat kreasi manik-manik yang menjadikan Kampung Jagir salah satu kampung produktif dan kreatif di Kota Pahlawan.
Mereka pun bersyukur kini anak-anak mereka terbangun dalam lingkaran sehat dalam proses pengasuhan. Di masa emas mereka bertumbuh, banyak kesematan yang dilakukan oleh anak-anak dalam mengembangkan bakat dan minatnya.
Bahkan, anak-anak di Kelurahan Jagir juga diajari mandiri sejak dini. Mereka berkolaborasi dengan berbagai UMKM yang ada di kampung yang bersebalahan dengan kantor Pertamina itu. Anak-anak memainkan peran seperti generasinya yang pure digital. Mereka membantu membuatkan desain produk UMKM, membuka lapak digital serta membantu memasarkan barang di marketplace.
Kolaborasi strategis itu juga membawa dampak baik bagi anak-anak yang bisa produktif sejak usia muda. Mereka pun bisa berpenghasilan dengan ragam desain yang sudah mereka buat. Menyiapkan foto produk sampai pembuatan video pendek yang membantu para UMKM di Kampung Jagir dikenal secara luas.
"Kami berdiskusi dulu tentang produk yang dikembangkan. Apa keunggulannya serta manfaat bagi masyarakat. Sama anak-anak nanti diterjemahkan dalam desain, foto dan video," kata Thony, salah satu pemuda karang taruna Kampung Jagir.
Program CSR Pertamina bersama masyarakat mencoba untuk mencapai tujuan, memecahkan permasalahan di lingkungannya dan memberikan kesejahteraan serta kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat di sekitar area operasi Pertamina. Revolusi lingkungan yang dilakukan di Kelurahan Jagir menjadi bukti gerakan kolaborasi itu mampu untuk mengubah kebiasaan menuju produktifitas.
Langkah kecil yang dilakukan di Kelurahan Jagir mampu mengubah perwajahan Surabaya. Bukan hanya mandiri dalam meraup rezeki, namun juga mampu menghadirkan kebudayaan baik yang tumbuh di tengah pergerakan masyarakat urban di Kota Pahlawan.
Lihat Juga: 11 Perwakilan Kampus dari Sumatera hingga Papua Deklarasi Dukungan Program DEB SoBI di Yogyakarta
(eyt)