Kehadiran Lembaga Peradilan Pemilu Diyakini Mampu Tekan Politik Uang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masalah politik uang (money politics), dinasti politik, dan dugaan menggerakkan aparatur sipil negara (ASN) masih menjadi momok mengkhawatirkan dalam pada pilkada 9 Desember 2020 mendatang.
Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie menilai munculnya berbagai masalah itu, khususnya politik uang karena belum ada lembaga peradilan khusus pemilu dan pilkada.
"Selama ini saya lihat proses itu hanya dilakukan di Gakkumdu dan jumlah yang vonis pidana hanya dihitung dengan jari," kata Jerry kepada SINDOnews, Minggu (5/7/2020).
Untuk itu, kata Jerry, perlu adanya lembaga peradilan khusus atau yang langsung ditangani Bawaslu sebagai lembaga pengawasan. Ia melihat, praktik demokrasi yang berlangsung, ukuran uang lebih tinggi dari harga diri.
"Misal di militer ada Mahmil, di ASN ada SatPol PP (ada), di kepemiluan harus ada. Nanti pemberi uang barang dan jasa bisa dijerat Undang-undang. Apakah UU No 7 Tahun 2017 atau seperti apa," katanya.
Dia mencontohkan, 7 kasus politik uang jelang pemilu dan Rp1 Miliar di mobil hingga Rp500 juta di lobi hotel sudah tak terdengar. Bahkan survei dari satu lembaga 2014 silam 34% pemilih pernah ditawari suap.
Jerry juga mengungkapkan, survei dari LIPI pada 2019 lalu menyebutkan 40% responden menerima uang, tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka.
"37% lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih," katanya.
Jadi, menurut Jerry, untuk memutus rantai ini harus ada polisi kepemiluan. Begitu pula menurut survei SPD, sekitar 60% pemilih ketika ditawari politik uang dari kandidat beserta perangkat turunannya mengaku akan menerima. Bahkan, katanya, 7.132 kasus yang ditangani Bawaslu pada pemilu 2019 lalu, ada 343 kasus pelanggaran pidana, 5.167 kasus pelanggaran administratif, 121 kasus pelanggaran kode etik, dan 696 kasus pelanggaran hukum lainnya.
"Kalau tak ada lembaga khusus peradilan pemilu, maka praktik politik uang dan mahar politik bahkan transaksional masih tumbuh subur di negeri ini. Sementara kalau ada polisi pemilu maka semua kasus bisa ditangani dan bisa dipidana," ujarnya.
Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie menilai munculnya berbagai masalah itu, khususnya politik uang karena belum ada lembaga peradilan khusus pemilu dan pilkada.
"Selama ini saya lihat proses itu hanya dilakukan di Gakkumdu dan jumlah yang vonis pidana hanya dihitung dengan jari," kata Jerry kepada SINDOnews, Minggu (5/7/2020).
Untuk itu, kata Jerry, perlu adanya lembaga peradilan khusus atau yang langsung ditangani Bawaslu sebagai lembaga pengawasan. Ia melihat, praktik demokrasi yang berlangsung, ukuran uang lebih tinggi dari harga diri.
"Misal di militer ada Mahmil, di ASN ada SatPol PP (ada), di kepemiluan harus ada. Nanti pemberi uang barang dan jasa bisa dijerat Undang-undang. Apakah UU No 7 Tahun 2017 atau seperti apa," katanya.
Dia mencontohkan, 7 kasus politik uang jelang pemilu dan Rp1 Miliar di mobil hingga Rp500 juta di lobi hotel sudah tak terdengar. Bahkan survei dari satu lembaga 2014 silam 34% pemilih pernah ditawari suap.
Jerry juga mengungkapkan, survei dari LIPI pada 2019 lalu menyebutkan 40% responden menerima uang, tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka.
"37% lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih," katanya.
Jadi, menurut Jerry, untuk memutus rantai ini harus ada polisi kepemiluan. Begitu pula menurut survei SPD, sekitar 60% pemilih ketika ditawari politik uang dari kandidat beserta perangkat turunannya mengaku akan menerima. Bahkan, katanya, 7.132 kasus yang ditangani Bawaslu pada pemilu 2019 lalu, ada 343 kasus pelanggaran pidana, 5.167 kasus pelanggaran administratif, 121 kasus pelanggaran kode etik, dan 696 kasus pelanggaran hukum lainnya.
"Kalau tak ada lembaga khusus peradilan pemilu, maka praktik politik uang dan mahar politik bahkan transaksional masih tumbuh subur di negeri ini. Sementara kalau ada polisi pemilu maka semua kasus bisa ditangani dan bisa dipidana," ujarnya.
(luq)