Inderapura dalam Lembaran Sejarah

Senin, 11 Agustus 2014 - 05:02 WIB
Inderapura dalam Lembaran Sejarah
Inderapura dalam Lembaran Sejarah
A A A
DI antara sekian banyak kerajaan yang ada dalam lembaran sejarah Minangkabau, tersebutlah Kerajaan Inderapura. Bagaimana sejarah singkatnya?

Cerita Pagi kali ini mengulas tentang Kerajaan Inderapura, sebuah kerajaan yang berada di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat sekarang, berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Jambi. Dikutip dari Wikipedia, kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat Sumatera mulai dari Padang di utara sampai Sungai Hurai di selatan.

Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Kerajaan Inderapura yang beribu kota di Inderapura (selatan Painan) ini merupakan pecahan dari Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan ini muncul seiring melemahnya kekuasaan Pagaruyung pada abad ke-15. Beberapa daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti Inderagiri, Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri.

Perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Arus perdagangan yang tadinya melalui Selat Malaka, sebagian besar beralih ke pantai barat Sumatera dan Selat Sunda. Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada.

Kapan tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka? Hal itu tidak diketahui dengan pasti. Namun, diperkirakan bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut, pada pertengahan abad ke-16, didorong usaha penanaman lada batas selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di Provinsi Bengkulu). Pada masa ini, Inderapura menjalin persahabatan dengan Banten dan Aceh.

Ketika Kesultanan Aceh melakukan ekspansi sampai wilayah Pariaman, Inderapura menghentikan ekspansi tersebut dengan menjalin persahabatan dengan Aceh melalui ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura, dengan Sultan Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali Ri'ayat Syah (1568-1575).

Lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya, Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda Aceh). Bahkan, para hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri'ayat Syah, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik takhta dengan nama Sultan Sri Alam pada 1576. Namun, kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum tersingkir dari takhtanya karena pertentangan dengan para ulama di Aceh.

Pemerhati sejarah yang juga Dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif Sufyan mengatakan, Rusli Amran dalam karyanya berjudul "Sumatra Barat hingga Plakat Panjang" menjelaskan bahwa paruh kedua abad ke-16, Kesultanan Inderapura makin berkembang kekuasaannya di pesisir barat Sumatera. Wilayahnya menjangkau daratan Aceh di utara hingga Bengkulu selatan. Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I atau yang dikenal dengan Raja Kecil adalah salah seorang putra Pagaruyung pendiri Kesultanan Siak Sri Indropuro.

Sebelum mendirikan Kesultanan Siak pada tahun 1723, Raja Kecil sempat bertakhta di Kesultanan Johor (1717-1722). Namun kekuasaannya tak bertahan lama, karena aksi kudeta yang dilancarkan Bendahara Abdul Jalil dan pasukan Bugis.

Pada akhir abad ke-17, pusat wilayah Inderapura, menurut catatan van Bezel, mencakup lembah sungai Air Haji dan Batang Inderapura, terdiri atas 20 koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang menteri, yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lainnya. Sementara pada daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut Negeri XIV Koto), Muko-muko (V Koto), sistem pemerintahannya tak jauh berbeda. Untuk kawasan utara disebut dengan Banda X (Bandar Sepuluh) yang dipimpin oleh Rajo nan Ampek (empat orang yang bergelar raja, yakni Raja Air Haji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, dan Raja Palangai).

Fikrul menyebut, mereka yang pernah menjadi raja Inderapura adalah Sultan Munawar Syah, Raja Mamulia (1550), Raja Dewi (1580), Raja Itam (1616), Raja Besar (1624), Raja Puti (1625), Sultan Muzzaffar Syah, Raja Malfarsyah (1633), Sultan Muhammad Syah (1660), Sultan Mansur Syah, Raja Pesisir (1696), Raja Pesisir II (1760), dan Raja Pesisir III (1790).

Pada masa Sultan Muhammad Syah, Inderapura dikunjungi oleh para pelaut Bugis yang dipimpin oleh Daeng Maruppa yang kemudian menikah dengan saudara perempuan Sultan Muhammad Syah, lalu melahirkan Daeng Mabela yang bergelar Sultan Seian. Berdasarkan catatan arsip, Daeng Mabela pada tahun 1688 menjadi komandan pasukan Bugis untuk East India Company (EIC). Sultan Muhammad Syah digantikan oleh anaknya Sultan Mansur Syah (1691-1696). Pada masa pemerintahannya, bibit ketidakpuasan rakyatnya atas penerapan cukai yang tinggi serta dominasi monopoli dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) kembali muncul.

Puncak perlawanan rakyat Inderapura terjadi pada 6 Juni 1701, ketika menghancurkan pos VOC di Pulau Cingkuak. Nah, sebagai reaksi terhadap serbuan itu, tanggal 6 Juni 1701, VOC membalas dengan mengirim pasukan dan berhasil mengendalikan Inderapura. Akhirnya, Inderapura benar-benar runtuh pada 1792 ketika garnisun VOC di Air Haji menyerbu Inderapura karena pertengkaran komandannya dengan Sultan Inderapura. Sultan Inderapura lalu mengungsi ke Bengkulu dan meninggal tahun 1824.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9116 seconds (0.1#10.140)