Kisah Penculikan Sutan Sjahrir dan Kudeta Pertama di RI
loading...
A
A
A
Hari ini, 74 tahun lalu, tepatnya 3 Juli 1946, dalam sejarah Republik Indonesia terjadi upaya kudeta pertama dimana saat itu RI belum genap berusia 1 tahun.
Kudeta terjadi akibat adanya perbedaan jalan pemikiran dalam memperjuangkan kemerdekaan RI di antara pemimpin bangsa pada saat itu. Di satu sisi ada kelompok yang menempuhnya dengan jalan berdiplomasi dengan Belanda. Sebaliknya di sisi lain ada kelompok yang anti diplomasi dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Kelompok pertama yang menempuh jalan diplomasi di antaranya seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifudin. (Baca juga: Saling Culik Tan Malaka dan Sutan Sjahrir )
Kelompok kedua, mengusung slogan merdeka 100%. Tokoh-tokohnya di antaranya yaitu, Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri, dan Chaerul Saleh, yang dikenal dengan Kelompok Persatuan Perjuangan.
Kelompok yang berseberangan dengan kabinet pada saat itu adalah kelompok diplomasi yang ingin "merdeka 100%" dari Belanda, yakni para pengikut Tan Malaka dengan Kelompok Persatuan Perjuangannya.
Mereka tidak puas dengan pemerintahan kabinet Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang hanya menuntut pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara de facto atas Jawa dan Madura. Kelompok Persatuan Perjuangan menuntut kedaulatan kedaulatan penuh 100% di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Akhirnya kelompok ini menculik Sutan Sjahrir, Menteri Kemakmuran Darmawan Mangunkusumo, dan beberapa anggota kabinet lainnya, pada 26 Juni 1946 ketika singgah di Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
Sutan Sjahrir tidak sadar ada kelompok yang mengintai kedatangannya di Surakarta, 25 Juni 1946. Saat itu Sjahrir baru saja melakukan safari politik dari Jawa Timur, satu di antara beberapa daerah yang tensi revolusinya dinamis. Dalam rombongan Sjahrir, antara lain dr Soedarsono, Mayor Jenderal Sudibyo, dan Sumitro Jayohadikusumo.
Rencananya, mereka mampir untuk berehat sejenak di Surakarta sebelum ke Yogyakarta untuk menghadiri sidang kabinet lengkap di Istana Yogya, bersama Bung Karno dan Bung Hatta.
Di Surakarta, "tamu agung" menginap di bekas kediaman kepala Javaasche Bank. Sebuah tempat eksklusif. Untuk urusan keamanan ditangani Polisi Militer.
"Tanpa sepengetahuan mereka, sekelompok tentara telah mulai bergerak. Yakni, golongan tentara yang menolak opsi diplomasi," tulis M Yuanda Zara dalam buku Peristiwa 3 Juli 1946-Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia.
Penculikan itu dilengkapi surat penangkapan dari Jenderal Mayor Soedarsono, Komandan Batalyon 63 dan juga “di-acc” Panglima Divisi IV, Kolonel Sutarto. Berbekal surat itulah Abdul Kadir (AK) Yusuf tidak menemui halangan berarti dari Kepolisian Solo. AK Yusuf dan pasukannya masuk ke Javaasche Bank.
Polisi Militer yang bertugas menjaga rombongan Sjahrir, yakni Kepala Polisi, Domopranoto, sedianya ingin mengklarifikasi hal tersebut kepada Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno. Namun Kolonel Sutarto bersikeras bahwa surat ini sudah resmi tanpa harus diklarifikasi. AK Yusuf dan Sutarto pun dengan mudah menculik Sjahrir di Hotel Merdeka, pukul 01.00 WIB.
Anggota polisi pengawal Sjahrir pun tak melawan ketika dibawa komplotan PP itu dan diperlihatkan surat perintah penangkapan untuk Sjahrir. Seperti dalam buku “Peristiwa 3 Juli 1946: menguak kudeta pertama dalam sejarah Indonesia”, Penculikan terjadi tanpa kekerasan. Sjahrir juga dibawa dengan sopan, tidak selayaknya orang yang tengah diculik.
“Saudara mesti saya tangkap,” kata AK Yusuf sembari menyodorkan surat penangkapan. Lantas Sjahrir menjawab, “Bagaimana ini, saya masih dibutuhkan oleh rakyat”. Meski begitu, Sjahrir pun akhirnya menuruti Yusuf.
Dalam pendaran lampu-lampu rumah yang tak begitu terang di tengah malam, Sutan Sjahrir dan kawan-kawan digiring ke mobil-mobil yang sedari tadi sudah menunggu dan langsung tancap gas.
Dalam kejadian itu, ada dua anggota kabinet Sjahrir yang berhasil lolos dari aksi penculikan dengan menyeberangi sungai kecil di belakang hotel. Yakni Dr Soedarsono dan Subadio. Sedangkan Sjahrir dibawa ke Kasunanan Paras, Boyolali, Jawa Tengah.
Selanjutnya, Sutan Sjahrir dijaga Komandan Batalyon Paras, Mayor Soekarto. Yakni ke "sebuah rumah peristirahatan," tulis AH Nasution dalam buku berjudul Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 3: Diplomasi Sambil Bertempur, mengungkapkan, bahwa Sutan Sjahrir dibawa ke sebuah rumah peristirahatan di Boyolali.
Lantaran kondisi dianggap sangat membahayakan negara, pada 28 Juni 1946 Pemerintah Indonesia menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Sehingga pada 29 Juni 1946 seluruh kekuasaan diserahkan kepada Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno dalam pidatonya yang dipancarkan melalui radio melakukan imbauan untuk meredakan kondisi politik yang memanas. Setelah itu kelompok Persatuan Perjuangan yang menculik tokoh-tokoh Kabinet Sjahrir pun dibebaskan.
“Ini Presidenmu! Kalau engkau cinta kepada proklamasi dan Presidenmu, engkau cinta kepada perjuangan bangsa Indonesia yang insya Allah, de jure akan diakui oleh seluruh dunia. Tidak ada jalan kecuali. Hai, pemuda-pemudaku, kembalikanlah Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang engkau tawan di Negara Republik Indonesia yang kita cintai. Sadarlah bahwa perjuangan tidak akan berhasil dengan cara-cara kekerasan!"
Kelompok yang menculik tokoh-tokoh Kabinet Sjahrir kemudian membebaskan Sjahrir. Meski sudah diredakan oleh Presiden Soekarno, namun tetap saja upaya kudeta terhadap pemerintahan terus berjalan.
Menurut ajudan Presiden Soekarno, Mangil Martowidjojo dalam bukunya—Kesaksian Bung Karno 1945-1947, di Istana Yogya, pada saat itu sudah beredar desas-desus pasukan tentara mau menyerbu Istana untuk kudeta.
Lalu pada 3 Juli 1946 di Istana Negara Gedung Agung, Yogya (saat itu pusat pemerintahan memang pindah ke Yogya) datang satu truk berisi belasan Persatuan Perjuangan dan Barisan Banteng. Di antaranya yakni, Chairul Saleh, Muwardi, Abikusno, M. Yamin, Sukarno, Iwa Koesoema Soemantri, dan Ahmad Soebardjo.
Panglima Divisi III Yogyakarta Mayor Jenderal Soedarsono juga terlihat memimpin rombongan, dan masuk Istana dengan mobil lain. Mangil menceritakan, saat kejadian itu rombongan Soedarsono dilucuti dan dibawa ke paviliun Istana Yogya. Dari sekian orang yang hadir, hanya Soedarsono yang diizinkan bertemu Presiden Soekarno setelah Presiden Soekarno rapat dengan Wakil Presiden Muhammad Hatta dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin.
Pada kesempatan itu, Mayjen Soedarsono menyodorkan surat empat naskah berisi maklumat kepada Presiden Soekarno untuk ditandatangani. Isinya menuntut: (1) Presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir; (2) Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik; (3) Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik (yang nama-namanya tercantum dalam naskah); (4) Presiden mengangkat 13 menteri negara (yang nama-namanya tercantum dalam naskah).
Maklumat tersebut pada intinya menuntut agar pimpinan pemerintahan diserahkan kepada para pengikut kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka. Presiden Soekarno didesak mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, dr. Boentaran Martoatmodjo, RS. Budhyarto Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri.
Namun Presiden Soekarno setelah berdiskusi dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta menolak permintaan tersebut. Bahkan Mayjen Soedarsono dan rekan-rekannya pun ditangkap saat itu juga.
Sebanyak 14 orang yang diduga terlibat dalam usaha kudeta 3 Juli 1946 diajukan ke depan Mahkamah Tentara Agung. Dari 14 orang, sebanyak 7 terdakwa dibebaskan dari tuntutan. Dalam persidangan pengadilan tersebut, selain Mayor Jenderal Soedarsono, Muhammad Yamin juga dipersalahkan memimpin percobaan kudeta. Soedarsono dan M Yamin dijatuhi hukuman 4 tahun. Sedangkan 5 terdakwa lainnya dihukum 2-3 tahun. Tan Malaka Cs masuk jeruji besi di Penjara Wirogunan, Yogyakarta.
Namun pada akhirnya seluruh tahanan peristiwa kudeta 3 Juli 1946 dibebaskan dengan grasi Presiden Soekarno saat peringatan Hari Proklamasi yang ketiga yakni, pada 17 Agustus 1948.
Kudeta terjadi akibat adanya perbedaan jalan pemikiran dalam memperjuangkan kemerdekaan RI di antara pemimpin bangsa pada saat itu. Di satu sisi ada kelompok yang menempuhnya dengan jalan berdiplomasi dengan Belanda. Sebaliknya di sisi lain ada kelompok yang anti diplomasi dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Kelompok pertama yang menempuh jalan diplomasi di antaranya seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifudin. (Baca juga: Saling Culik Tan Malaka dan Sutan Sjahrir )
Kelompok kedua, mengusung slogan merdeka 100%. Tokoh-tokohnya di antaranya yaitu, Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri, dan Chaerul Saleh, yang dikenal dengan Kelompok Persatuan Perjuangan.
Kelompok yang berseberangan dengan kabinet pada saat itu adalah kelompok diplomasi yang ingin "merdeka 100%" dari Belanda, yakni para pengikut Tan Malaka dengan Kelompok Persatuan Perjuangannya.
Mereka tidak puas dengan pemerintahan kabinet Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang hanya menuntut pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara de facto atas Jawa dan Madura. Kelompok Persatuan Perjuangan menuntut kedaulatan kedaulatan penuh 100% di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Akhirnya kelompok ini menculik Sutan Sjahrir, Menteri Kemakmuran Darmawan Mangunkusumo, dan beberapa anggota kabinet lainnya, pada 26 Juni 1946 ketika singgah di Surakarta (Solo), Jawa Tengah.
Sutan Sjahrir tidak sadar ada kelompok yang mengintai kedatangannya di Surakarta, 25 Juni 1946. Saat itu Sjahrir baru saja melakukan safari politik dari Jawa Timur, satu di antara beberapa daerah yang tensi revolusinya dinamis. Dalam rombongan Sjahrir, antara lain dr Soedarsono, Mayor Jenderal Sudibyo, dan Sumitro Jayohadikusumo.
Rencananya, mereka mampir untuk berehat sejenak di Surakarta sebelum ke Yogyakarta untuk menghadiri sidang kabinet lengkap di Istana Yogya, bersama Bung Karno dan Bung Hatta.
Di Surakarta, "tamu agung" menginap di bekas kediaman kepala Javaasche Bank. Sebuah tempat eksklusif. Untuk urusan keamanan ditangani Polisi Militer.
"Tanpa sepengetahuan mereka, sekelompok tentara telah mulai bergerak. Yakni, golongan tentara yang menolak opsi diplomasi," tulis M Yuanda Zara dalam buku Peristiwa 3 Juli 1946-Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia.
Penculikan itu dilengkapi surat penangkapan dari Jenderal Mayor Soedarsono, Komandan Batalyon 63 dan juga “di-acc” Panglima Divisi IV, Kolonel Sutarto. Berbekal surat itulah Abdul Kadir (AK) Yusuf tidak menemui halangan berarti dari Kepolisian Solo. AK Yusuf dan pasukannya masuk ke Javaasche Bank.
Polisi Militer yang bertugas menjaga rombongan Sjahrir, yakni Kepala Polisi, Domopranoto, sedianya ingin mengklarifikasi hal tersebut kepada Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno. Namun Kolonel Sutarto bersikeras bahwa surat ini sudah resmi tanpa harus diklarifikasi. AK Yusuf dan Sutarto pun dengan mudah menculik Sjahrir di Hotel Merdeka, pukul 01.00 WIB.
Anggota polisi pengawal Sjahrir pun tak melawan ketika dibawa komplotan PP itu dan diperlihatkan surat perintah penangkapan untuk Sjahrir. Seperti dalam buku “Peristiwa 3 Juli 1946: menguak kudeta pertama dalam sejarah Indonesia”, Penculikan terjadi tanpa kekerasan. Sjahrir juga dibawa dengan sopan, tidak selayaknya orang yang tengah diculik.
“Saudara mesti saya tangkap,” kata AK Yusuf sembari menyodorkan surat penangkapan. Lantas Sjahrir menjawab, “Bagaimana ini, saya masih dibutuhkan oleh rakyat”. Meski begitu, Sjahrir pun akhirnya menuruti Yusuf.
Dalam pendaran lampu-lampu rumah yang tak begitu terang di tengah malam, Sutan Sjahrir dan kawan-kawan digiring ke mobil-mobil yang sedari tadi sudah menunggu dan langsung tancap gas.
Dalam kejadian itu, ada dua anggota kabinet Sjahrir yang berhasil lolos dari aksi penculikan dengan menyeberangi sungai kecil di belakang hotel. Yakni Dr Soedarsono dan Subadio. Sedangkan Sjahrir dibawa ke Kasunanan Paras, Boyolali, Jawa Tengah.
Selanjutnya, Sutan Sjahrir dijaga Komandan Batalyon Paras, Mayor Soekarto. Yakni ke "sebuah rumah peristirahatan," tulis AH Nasution dalam buku berjudul Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 3: Diplomasi Sambil Bertempur, mengungkapkan, bahwa Sutan Sjahrir dibawa ke sebuah rumah peristirahatan di Boyolali.
Lantaran kondisi dianggap sangat membahayakan negara, pada 28 Juni 1946 Pemerintah Indonesia menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Sehingga pada 29 Juni 1946 seluruh kekuasaan diserahkan kepada Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno dalam pidatonya yang dipancarkan melalui radio melakukan imbauan untuk meredakan kondisi politik yang memanas. Setelah itu kelompok Persatuan Perjuangan yang menculik tokoh-tokoh Kabinet Sjahrir pun dibebaskan.
“Ini Presidenmu! Kalau engkau cinta kepada proklamasi dan Presidenmu, engkau cinta kepada perjuangan bangsa Indonesia yang insya Allah, de jure akan diakui oleh seluruh dunia. Tidak ada jalan kecuali. Hai, pemuda-pemudaku, kembalikanlah Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang engkau tawan di Negara Republik Indonesia yang kita cintai. Sadarlah bahwa perjuangan tidak akan berhasil dengan cara-cara kekerasan!"
Kelompok yang menculik tokoh-tokoh Kabinet Sjahrir kemudian membebaskan Sjahrir. Meski sudah diredakan oleh Presiden Soekarno, namun tetap saja upaya kudeta terhadap pemerintahan terus berjalan.
Menurut ajudan Presiden Soekarno, Mangil Martowidjojo dalam bukunya—Kesaksian Bung Karno 1945-1947, di Istana Yogya, pada saat itu sudah beredar desas-desus pasukan tentara mau menyerbu Istana untuk kudeta.
Lalu pada 3 Juli 1946 di Istana Negara Gedung Agung, Yogya (saat itu pusat pemerintahan memang pindah ke Yogya) datang satu truk berisi belasan Persatuan Perjuangan dan Barisan Banteng. Di antaranya yakni, Chairul Saleh, Muwardi, Abikusno, M. Yamin, Sukarno, Iwa Koesoema Soemantri, dan Ahmad Soebardjo.
Panglima Divisi III Yogyakarta Mayor Jenderal Soedarsono juga terlihat memimpin rombongan, dan masuk Istana dengan mobil lain. Mangil menceritakan, saat kejadian itu rombongan Soedarsono dilucuti dan dibawa ke paviliun Istana Yogya. Dari sekian orang yang hadir, hanya Soedarsono yang diizinkan bertemu Presiden Soekarno setelah Presiden Soekarno rapat dengan Wakil Presiden Muhammad Hatta dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin.
Pada kesempatan itu, Mayjen Soedarsono menyodorkan surat empat naskah berisi maklumat kepada Presiden Soekarno untuk ditandatangani. Isinya menuntut: (1) Presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir; (2) Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik; (3) Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik (yang nama-namanya tercantum dalam naskah); (4) Presiden mengangkat 13 menteri negara (yang nama-namanya tercantum dalam naskah).
Maklumat tersebut pada intinya menuntut agar pimpinan pemerintahan diserahkan kepada para pengikut kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka. Presiden Soekarno didesak mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, dr. Boentaran Martoatmodjo, RS. Budhyarto Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri.
Namun Presiden Soekarno setelah berdiskusi dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta menolak permintaan tersebut. Bahkan Mayjen Soedarsono dan rekan-rekannya pun ditangkap saat itu juga.
Sebanyak 14 orang yang diduga terlibat dalam usaha kudeta 3 Juli 1946 diajukan ke depan Mahkamah Tentara Agung. Dari 14 orang, sebanyak 7 terdakwa dibebaskan dari tuntutan. Dalam persidangan pengadilan tersebut, selain Mayor Jenderal Soedarsono, Muhammad Yamin juga dipersalahkan memimpin percobaan kudeta. Soedarsono dan M Yamin dijatuhi hukuman 4 tahun. Sedangkan 5 terdakwa lainnya dihukum 2-3 tahun. Tan Malaka Cs masuk jeruji besi di Penjara Wirogunan, Yogyakarta.
Namun pada akhirnya seluruh tahanan peristiwa kudeta 3 Juli 1946 dibebaskan dengan grasi Presiden Soekarno saat peringatan Hari Proklamasi yang ketiga yakni, pada 17 Agustus 1948.
(nth)