Saling Culik Tan Malaka dan Sutan Sjahrir

Sabtu, 03 Oktober 2015 - 05:05 WIB
Saling Culik Tan Malaka...
Saling Culik Tan Malaka dan Sutan Sjahrir
A A A
PERINTAH Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin untuk menangkap Tan Malaka dilakukan dengan cara yang sangat licik. Dimulai dengan undangan kepada Tan Malaka ke rumah Residen Madiun oleh Presiden Soekarno.

Setibanya di tempat tujuan, Wakil Polisi Tentara memberitahu, "Tuan (Tan Malaka) akan diantarkan ke Jogja dengan wujud hendak berunding dengan Presiden," demikian kata petugas itu, dan dijawab setuju oleh Tan Malaka.

Bersama sejumlah rekannya, para pemimpin Persatuan Perjuangan itu akhirnya mengikuti rombongan tentara polisi tadi. Di luar dugaan, rombongan Tan Malaka tak jadi dibawa ke Jogjakarta.

Sesampainya di Kadipolo, Surakarta, Polisi Tentara Madiun malah menyerahkan rombongan Tan Malaka kepada polisi tentara Solo. Rombongan pun langsung ditahan dalam kamar terpisah.

Selain Tan Malaka, rombongan yang ikut ditahan di antaranya adalah Soekarni, Muhammad Yamin, dan Abikusno. Selain itu, ada tokoh penasehat pemerintah, yakni Ahmad Subardjo dan Iwa Kusuma Sumantri.

Penangkapan Tan Malaka ini diutarakan oleh Abu Bakar Lubis. Menurutnya, ketetapan penangkapan Tan Malaka tertuang dalam surat perintah yang dia terima dari Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin, dan Menteri Dalam Negeri Dr Sudarsono.

Manurut Abu Bakar Lubis yang ikut hadir dalam rapat akbar Persatuan Perjuangan di Alun-alun Kota Madiun, dia sempat menunjukkan surat penangkapan Tan Malaka ke Residen Madiun Susanto Tirtoprojo.

Awalnya, Susanto terkejut melihat surat penangkapan itu. Tetapi, setelah dijelaskan bahwa yang menangkap polisi tentara, Susanto tenang kembali. Saat keduanya sedang berbincang, datanglah Kiai Wali Alfatah.

Alfatah melapor kepada Susanto tentang serangkaian penangkapan tokoh Persatuan Perjuangan, dan sangat mengkhawatirkan keselamatan Tan Malaka. Saat ditanyakan kepada Susanto, dia akhirnya menjelaskan perihal itu kepada Alfatah.

Susanto menegaskan, tidak melakukan penangkapan. Lalu menunjuk Lubis dan rekannya yang ditugaskan melakukan penangkapan.
Alfatah balik bertanya kepada Lubis soal penangkapan. Lubis menjawab tidak tahu persis, namun memberikan indikasi.

Menurutnya, penangkapan Tan Malaka dkk diakibatkan oleh agitanya yang mengancam keberhasilan perundingan pemerintah dengan Belanda dan Inggris. Alfatah juga menanyakan undangan Tan Malaka menemui Presiden Soekarno.

Namun, Lubis menjawab, perintah itu tidak ada. Tetapi, Lubis menjamin keselamatan Tan Malaka dan meminta kepada sang Kiai untuk menyampaikan dan menemui Tan Malaka dan menyebut nama Lubis.

Antara Tan Malaka dan Lubis, keduanya sudah saling kenal. Kiai Alfatah pamit pulang. Satu jam kemudian, muncul lagi sang kiai bersama Tan Malaka yang dikawal dua laskar dengan senjata sten gun.

Kepada Tan Malaka, Lubis menceritakan surat penangkapan yang sedang dia laksanakan. Menurut Tan Malaka, kedatangannya ke residen disebabkan janji akan dibawa ke Jogjakarta untuk bertemu Presiden Soekarno.

Namun, dalam pertemuan itu Lubis mengatakan tidak ada undangan dari Presiden Soekarno di Jogjakarta. Tan Malaka dkk lalu ditahan di Solo, dan dipindahkan ke Rumah Tengah Sawah, di Jetis, yang berada di luar Kota Solo.

Di tempat itu, Jendral Jokokusumo utusan Menteri Pertahanan sempat menemui Tan Malaka dkk. Utusan itu menyampaikan maksud Amir Syarifuddin yang ingin menemui Tan Malaka dkk. Tetapi, Tan Malaka menolak menemui Amir Syarifuddin.

Sejak itu, hari-hari penahanan Tan Malaka diwarnai ancaman pembunuhan. Tidak hanya Tan Malaka, Sukarni, Mohammad Yamin, dan Abikusmo juga. Itu setelah rumah tahanan mereka yang sebenarnya kandang kuda ditulisi tempelan OPSIR NICA.

Di luar tahanan, Laskar Pertahanan Rakyat yang tidak mengetahui hal itu langsung menyerbu ruang tahanan sambil mengacungkan senjata api. Beruntung, Komandan Pertahanan Rakyat Suwiryo datang.

Saat bertatap muka dengan tahanan OPSIR NICA, Suwiryo kaget. Sebab, di dalamnya berisi Tan Malaka dkk. "Tidak mungkin Tan Malaka jadi opsir NICA," tegas Suwiryo, saat itu.

Suwiryo mengaku sangat mengenal Tan Malaka. Dia mengenal Tan Malaka sejak tahun 1921. Bahkan, Suwiryo pernah bersua dengan Tan Malaka dua kali saat Kongres Rakyat di Purwokerto dan Solo. Setelah itu, Suwiryo memerintahkan para laskar mundur.

Tak lama kemudian, Tan Malaka dkk dipindahkan ke tahanan di Tawangmangu, di bawah penjagaan Batalyon Sastro Lawu. Sejak itu, para pendukungan Tan Malaka telah mengetahui adanya serangan terhadap mereka dari pemerintah.

Namun begitu, mereka tetap berusaha menahan diri, kendati masih ditemukan gesekan-gesekan kecil. Puncak kesabaran kelompok Tan Malaka akhirnya membuncah saat mendengar pidato Bung Hatta, di alun-alun utara Jogjakarta, pada 25 Juni 1946.

Saat peringatan Isra Miraj itu, Bung Hatta menyatakan perkembangan politik diplomasi dan kompromi pemerintah, bahwa Pemerintah Indonesia meminta kepada Belanda agar mengakui secara de facto atas Jawa, Sumatera dan Madura.

Permintaan Pemerintah Indonesia itu dinilai sangat merugikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, bahkan dinilai sebagai tindakan yang sangat merendahkan pengorbanan rakyat yang telah tewas dalam pertempuran melawan penjajah.

Panglima Jenderal Sudirman yang masih menaruh perhatian kepada Tan Malaka sempat membesuknya di tahanan Tawangmangu. Para tahanan yang ditemui Sudirman saat itu sempat mengeluhkan sikap pemerintah yang terlalu lunak dengan Belanda.

Muhammad Yamin, satu satu tahanan yang tidak puas atas sikap pemerintah sempat menitipkan surat kepada Sudirman untuk disampaikan kepada pemerintah. Surat itu meminta agar kepemimpinan nasional segera diganti.

Pergantian pimpinan nasional itu mulai dari Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Para pemimpin itu dianggap sangat lembek dalam menghadapi Belanda dan sekutunya.

Sejumlah tokoh sipil-militer yang berseberangan dengan pemerintah pun akhirnya menggelar pertemuan di rumah Penasehat Panglima Divisi III Budyarto Martoatmojo, di Baciro, Jogjakarta.

Ikut hadir dalam pertemuan itu Sutarjo, Chaerul Saleh, Dokter Buntaran, Iwa Kusuma Sumantri, Sayuti Melik, Jendral Marjohan, Jendral Sudarsono (Panglima Divisi III yang membawahi Kedu, Pekalongan, Jogjakarta) dan Mayor Abdul Kadir Yusuf.

Usai rapat,Jendral Sudarsono pulang ditemani Mayor Abdul Kadir Yusuf. Dalam obrolan, Abdul Kadir dengan tajam menyerang pengkhianatan PM Sutan Sjahrir. Dia mendesak atasannya untuk mengizinkan menyingkirkan Sjahrir.

Jendral Sudarsono tak kuasa mengelak permintaan anak buahnya. Dia pun memberi restu lewat surat perintah yang ditandatangani. Jendral Sudarsono memberi kuasa kepada Abdul Kadir untuk menangkap Syahrir.

Untuk memudahkan rencana di atas, Jendral Sudarsono pun menunjuk Abdul Kadir Yusuf menjadi komandan Batalion 63 yang memiliki kewenangan mengamankan Ibu Kota Jogjakarta. Abdul Kadir sendiri dikenal sebagai pendukung Tan Malaka.

Hari-hari penculikan Sjahrir dimulai pada 25 Juni 1946. Saat itu, Sjahrir dan rombongannya tengah berada di Kota Solo. Rencananya, dia bersama dr Sudarsono, Mayjen Sudibyo, Sumotro Joyohadikusumo, akan mengikuti sidang kabinet di Jogjakarta.

Di Solo, rombongan Syahrir menginap di bekas kediaman Kepala Jawaasche Bank, di kawasan Gladak, dengan penjagaan polisi militer. Mayor Abdul Kadir lalu menghubungi Panglima Divisi IV Kolonel Sutarto.

Dia menceritakan rencana penangkapan Sjahrir. Di luar dugaan, Sutarto sepakat bekerjasama. Abdul Kadir dan pasukannya lalu bergerak ke rumah penginapan Sjahrir dan rombongannya.

Ikut bergerak Polisi Militer Solo dan komandan batalion yang berkedududkan di Tawangmangu Mayor Sastrolawu dan Sudiro biasa disapa Mbah dan dokter Kartono.

Menjelang tengah malam, pasukan bergerak ke Javaasche Bank. Kamar Syahrir digedor, Mayor Sastrolawu berbicara kepada Sjahrir tentang adanya pasukan dari Jogjakarta. Pembicaraan lalu bergeser pada perintah penangkapan Syahrir dan rombongan.

Mayor Abdul Kadir lalu menyodorkan surat penangkapan Sjahrir. Mendapati surat itu, Sjahrir sangat kaget. Sebab, dia sedang ditunggu oleh Presiden Soekarno. Dia bahkan sempat keberatan, tetapi tidak digubris.

Sjahrir dan rombongan akhirnya ditahan. Bahkan, Menteri Kemakmuran Dermawan Mangunkusumo dan Sekretaris Kabinet Mr Sumitro yang tidak masuk daftar tangkap terpaksa dibawa serta, agar tidak membahayakan misi penculikan.

Sebaliknya, dr Sudarsono yang masuk daftar penangkapan justru lolos, karena menginap terpisah di Hotel Merdeka Solo. Dia melonpat tembok belakang hotel sebelum pasukan penculik yang dipimpin Mayor Abdul Kadir menangkapanya.

Setelah itu, Syahrir dan rombongan dipaksa naik truk untuk ditahan di rumah peristirahatan, di lereng Gunung Merbabu. Tak lama, Sjahrir dkk dibawa ke Paras, Boyolali, sekitar 35 kilometer dari Solo.

Komandan Batalion Paras Mayor Soekarto ditunjuk mengawasi para tahanan. Setelah misi penculikan sukses, Mayor Abdul Kadir berkunjung ke rumah dr Kartono, lalu berdua ke Jogjakarta untuk melapor keatasannya.

Presiden Soekarno yang mengatahui penculikan terhadap Sjahrir menjadi sangat marah. Itu tak lain karena strategisnya posisi Sjahrir dalam perundingan dengan Belanda dan Inggris. Sjahrir adalah tokoh kunci perundingan.

Karena kehilangan Sjahrir, maka jalannya perundingan Indonesia dengan Belanda-Inggris menjadi terganggu dan terancam batal. Maka, Soekarno-Hatta dan jajaran menteri menggelar rapat kabinet, pada 28 Juni 1946, di Jogjakarta.

Rapat dipimpin Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin dan berlangsung tegang. Amir pun mengusulkan semua kekuasaan dikembalikan kepada Presiden Soekarno. Menteri juga bertanggungjkawab kepada Presiden.

Rapat berlangsung cepat dan singkat, karena Presiden Soekarno harus mengucapkan pidato terkait penculikan Sutan Sjahrir. Saat berpidato, Bung Karno minta rakyat tenang dan memberitahukan jika tahu keberadaan Sjahrir.

Saat Bung Karno tengah berpidato, tiba-tiba siaran radio itu disabotase oleh siaran radio lain yang menyela pidato Bung karno. "Bung Tomo, kembalikan Bung Syahrir," demikian selaan siaran itu.

Interupsi itu menimbulkan kecurigaan, bahwa Bung Tomo sebagai pimpinan Barisan Pemberontak RI terlibat sebagai dalang penculikan. Belakangan diketahui, itu hanya sebagai propaganda kelompok yang tidak suka terhadap Bung Tomo.

Esoknya, Presiden Soekarno melalui maklumat menyatakan, Indonesia dalam keadaan bahaya akibat penculikkan Sjahrir. Akhirnya, penculik melepas Sutan Sjahrir, pada 30 Juni 1946 malam, menjelang 1 Juli 1946.

Atas peranan Komandan Resimen 2 Divisi IV Letkol Sunarto Kusumodiharjo, Sjahrir dkk dilepas, lalu dibawa dari Paras ke Jogjakarta. Mereka diangkut menggunakan truk milik Barisan Banteng. Rombongan Sjahrir lalu diserahkan ke Presiden.

Sekembalinya Sjahrir, ketegangan kembali terjadi. Kali ini akibat beredarnya kabar rencana penculikan terhadap Bung Karno. Kabar ini disambut dengan penjagaan yang super ketat terhadap Soekarno.

Laskar bersenjata pendukung utama Sjahrir, seperti Pesindo Jatim, bergiliran datang ke Jogjakarta dan Surakarta. Disusul Batalion Sujanuji dari Malang, ikut mengamankan Jogjakarta.

Pemerintah pun bersiap mengambil tindakan tegas begitu laporan lengkap terkait penculikan Sjahrir lengkap. Tuduhan atas kabar itu langsung dialamatkan kepada kelompok Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan.

Dengan cepat, nama-nama petinggi Persatuan Perjuangan yang dicurigai sebagai otak penculikan pun akhirnya ditangkap. Presiden Soekarno langsung menandatangani persetujuan penangkapan.

Pada 1 Juli 1946, terjadi serangkaian penangkapan. Mr Sundoro Budhyarto Martoatmojo, Dr R Buntaran Martoatmojo, Muhammad Ibu Sayuti atau Sayuti Melik, Sumantoro, Maruto Nitimihardjo, Muhammad Saleh, dan Wiranakusumo lalu ditangkap.

Mereka kemudian dijebloskan ke penjara Wirogunan. Jendral Sudarsono yang disebut-sebut sebagai otak penculikan, lalu diserahkan ke pejabat militer yang lebih tinggi, yakni Panglima TRI Jendral Sudirman.

Keyakinan terlibatnya Jendral Sudarsono dan anak buah Mayor Abdul Kadir Yusuf berdasarkan testimoni mereka sendiri. Menurut AH Nasution, keduanya mengakui mereka bertanggungjawab atas penculikan Sutan Sjahrir dkk.

Sebagai komandan sekaligus panglima divisi, Jendral Sudarsono memiliki wewenang untuk memerintahkan penangkapan terhadap seorang pengkhianat dengan tidak memandang pangkat dan kedudukan.

Tindakan berani pemerintah menangkapi tokoh Persatuan Perjuangan mendorong krisis keamanan di Surakarta dan Jogjakarta. Kedua kota ini dengan cepat dipenuhi Laskar bersenjata yang beralifiasi kepada kelompok atau partai yang berbeda.

Di Surakarta misalnya, moncong meriam diarahkan ke halaman depan keraton. Senjata berat seperti stelling mitraliyur dipasang di ruas jalan seantero kota. Gesekan kecil saja bisa memantik perang saudara berskala besar saat itu.

Pada 1 Juli 1946, beberapa pentolan Persatuan Perjuangan kembali ditangkap. Mereka adalah Chaerul Saleh, Pandu Kartawiguna, Adam Malik, Ibnu Parna, Surip Suparsito, dan Joyopranoto alias Darman.

Berdasar keterangan Iwa Kusuma Sumantri, seorang tokoh Persatuan Perjuangan, ada satu tokoh lagi yang ditangkap, yakni RP Supatmo Suryodiningrat. Tapi, alasannya karena ketidaksukaan Wapres Hatta terhadap yang bersangkutan.

Penangkapan itu menimbulkan reaksi para pendukungn Persatuan Perjuangan. Pada 3 Juli 1946, di Loji Gandrung Solo, dikabarkan ada pertemuan Komandan Divisi III Jendral Sudarsono bersama Mayor Abdul Kadir Yusuf dan Jendral Sudirman.

Dalam catatan Iwa Kusuma Sumantri, Sudarsono mendapat perintah lisan Sudirman untuk menghadap Presiden Soekarno bersama tahanan politik tokoh Persatuan Perjuangan yang ditahan penjara Wirogunan, Jogjakarta.

Jendral Sudasono ditemani Muhammad Yamin ke penjara Wirogunan untuk menemui direktur penjara Wongsowadono. Sudarsono menjelaskan terkait perintah lisan Sudirman untuk membawa serta 14 tahanan tokoh Persatuan Perjuangan ke muka Presiden.

Akhirnya, Jendral Sudarsono bersama 14 tahanan yang dikenal gigih sebagai pendukung Tan Malaka, dibawa ke Resimen Wiyara atau Wiyoro, dibawah komando Suharto yang kelak menjadi pemimpin Orde Baru Presiden Indonesia kedua.

Para tahanan yang dibawa diantaranya adalah Budyarto Martoatmojo, Moh Ibnu Sayuti atau Sayuti Melik, Pandu Kartawiguna, Suumantoro, Joyopranoto, Suryodiningrat, Marlan, Chaerul Saleh, Adam Malik dan Ibnu Parna.

Karena waktu itu pukul 04.00 WIB atau subuh, maka tak memungkinkan menghadap langsung Presiden Soekarno. Muhammad Yamin lalu menyusun tiga maklumat bernomor 2, 3 dan 4, untuk disetujui Presiden Soekarno.

Maklumat inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai kudeta kelompok Tan Malaka. Demikian konflik kelompok Tan Malaka dengan pemerintah Soekarno-Hatta menemui babak baru.

Bersambung..

Ulasan Sebelumnya
Tan Malaka Duri dalam Daging Perundingan Indonesia-Belanda

Baca Juga
Jalan Sunyi Sutan Sjahrir
Surat Wasiat Presiden Soekarno untuk Tan Malaka
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1316 seconds (0.1#10.140)