Kitesurfing Jeneponto Terancam Tutup Permanen, Ini Penyebabnya
loading...
A
A
A
JENEPONTO - Lokasi olahraga kitesurfing atau selancar parasut atau selancar layang yang berada di Kabupaten Jeneponto terancam tutup permanen. Polemik yang terjadi antara pengelola dan petani rumput laut setempat menjadi pemicunya.
Kitesurfing ini tepatnya berlokasi di Batikite Resort, Desa Malassoro, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto. Di sana, puluhan petani juga membudidayakan rumput laut sebagai mata pencaharian.
Instruktur kitesurfing , Muhammad Alfarouq, membeberkan polemik yang terjadi antara pihaknya dan petani rumput laut bermula saat petani rumput laut makin banyak yang beraktivitas di sana. Sementara hal itu juga dianggap menganggu aktivitas kitesurfing.
Pada akhirnya, pemberian kompensasi dari pengelola resort ke petani menjadi salah satu jalan keluar. Namun rupanya hal itu juga tidak berjalan baik.
Tak ada titik temu yang disepakati antara pengelola dan petani menyangkut masalah nilai kompensasi. Alfarouq menyebut, petani rumput laut setempat meminta kompensasi sebesar Rp5 juta setiap orang.
"Mereka mintanya Rp5 juta, cuma kan kami nggak mampu penuhi permintaan mereka, karena itu terlalu besar sekali. Untuk 37 orang dengan nilai Rp5 juta itu sekitar Rp450 juta kami harus keluarkan uang selama 6 bulan," ungkapnya.
Dia mengaku sudah pernah mencoba bernegosiasi dengan para petani terkait nilai kompensasi. Hanya saja, tetap berakhir tanpa hasil lantaran petani tak ingin menurunkan nilai kompensasi.
"Kami bilang ke warga bahwa kami mampunya itu per orang Rp 2 juta. Tapi mereka tidak mau segitu karena menurut mereka hasil rumput laut lebih menjanjikan dari kompensasi kitesurfing ," jelasnya.
Akibat tak ada jalan keluar, Alfarouq menyebut jika pengelola resort mengambil keputusan untuk menutup semua aktivitas di resort, termasuk aktivitas olahraga kitesurfing.
"Tidak ada lagi aktivitas, kami sama sekali closed, tidak terima tamu. Walaupun tamu lokal dari Makassar mau weekend juga nggak bisa ngapa-ngapain. Nggak bisa renang, nggak bisa snorkeling karena penuh rumput laut," ungkapnya.
Alfarouq menyayangkan tak ada langkah konkret yang ditempuh pemerintah setempat terkait permasalahan ini. Padahal menurutnya, pemerintah berperan penting untuk menengahi persoalan ini.
Pemerintah seharusnya bisa membantu mencari jalan keluar agar mata pencaharian petani rumput laut tidak hilang, dan potensi pariwisata serta pemasukan daerah tetap bisa dimaksimalkan.
"Mudah-mudahan pemerintah lebih serius, lebih profesional, lebih tanggung jawab. Maksudnya dari segi kinerja, supaya dapat membantu menyelesaikan permasalahan di bawah. Kasih pandangan berwisata supaya masyarakat bisa ikut bekerja sama mengembangkan pariwisata Jeneponto ," bebernya.
Sejak beroperasi pertama kali di tahun 2019, nilai investasi Batikite Resort mencapai Rp7 miliar, dan telah menyetorkan pajak daerah senilai Rp177 juta. Pada tahun 2020 mereka menghentikan aktivitas akibat pandemi Covid-19, dan di tahun 2021 aktivitas mulai tersendat akibat rumput laut yang semakin banyak.
"Jadi sama sekali tidak ada lokasi untuk bisa main kitesurfing dan itu berbahaya untuk tamu kalau mereka membentangkan tali yang mengapung di atas permukaan air. Makanya saya sudah sempat bilang ke pemerintah alangkah sayangnya kalau tutup, ini pajak pendapatan daerah nggak ada lagi," urai Alfarouq.
"Jadi karena pemerintah Jeneponto dan pemerintah Sulsel kurang sigap untuk mengatasi masalah ini, di bulan ini kami terima tamu terakhir dan kami putuskan bulan depan akan tutup sampai waktu yang ditentukan," tegasnya.
Sampai saat ini, pihaknya masih menanti tanggapan dari Pemerintah Kabupaten Jeneponto dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Jika hingga akhir tahun tak ada kejelasan, maka kemungkinan besar resort tersebut akan dijual, dan aktivitas kitesurfing di Sulsel tak akan ada lagi.
Padahal, kitesurfing Jeneponto sudah cukup dikenal di mancanegara. Sebab lokasi ini memiliki potensi angin dan keamanan pantai yang menjadi salah satu yang terbaik di dunia.
"Kalau pemerintah tidak mau membantu menyelesaikan, maka tahun depan mungkin kami jual resortnya, dan kemungkinan paling sedih itu kitesurfing gak ada lagi di Jeneponto. Sedangkan ini sudah mulai dikenal dunia karena rata-rata tamu kita dari mancanegara," pungkasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Sulsel, Devo Khaddafi, mengaku pihaknya masih berkoordinasi dengan Pemkab Jeneponto untuk mencari solusi. Dia berharap, pertemuan yang akan dilaksanakan nanti sudah bisa menghasilkan titik temu antara kedua bela pihak.
"Kami sangat menyayangkan adanya persoalan yang timbul di Pantai Malassoro ini. Hal ini seharusnya jadi objek wisata baru di Sulsel, dan ini sangat unik karena wisata angin ini adalah kedua terbaik di dunia di bawah Brazil," katanya.
Devo menginginkan agar tak ada pihak yang dirugikan. Pihak investor yang sudah menanamkan modal besar diharapkan bisa melanjutkan kegiatan kepariwisataan, dan mata pencaharian masyarakat juga bisa tetap diakomodir.
"Kami sangat berharap Pemkab Jeneponto segera melakukan kembali pendekatan kepada masyarakat supaya ada titik temu agar investor juga tidak dirugikan, masyarakat dapat tetap melaksanakan kegiatan sehari-harinya, yaitu budidaya rumput laut," jelas Devo.
Kitesurfing ini tepatnya berlokasi di Batikite Resort, Desa Malassoro, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto. Di sana, puluhan petani juga membudidayakan rumput laut sebagai mata pencaharian.
Instruktur kitesurfing , Muhammad Alfarouq, membeberkan polemik yang terjadi antara pihaknya dan petani rumput laut bermula saat petani rumput laut makin banyak yang beraktivitas di sana. Sementara hal itu juga dianggap menganggu aktivitas kitesurfing.
Pada akhirnya, pemberian kompensasi dari pengelola resort ke petani menjadi salah satu jalan keluar. Namun rupanya hal itu juga tidak berjalan baik.
Tak ada titik temu yang disepakati antara pengelola dan petani menyangkut masalah nilai kompensasi. Alfarouq menyebut, petani rumput laut setempat meminta kompensasi sebesar Rp5 juta setiap orang.
"Mereka mintanya Rp5 juta, cuma kan kami nggak mampu penuhi permintaan mereka, karena itu terlalu besar sekali. Untuk 37 orang dengan nilai Rp5 juta itu sekitar Rp450 juta kami harus keluarkan uang selama 6 bulan," ungkapnya.
Dia mengaku sudah pernah mencoba bernegosiasi dengan para petani terkait nilai kompensasi. Hanya saja, tetap berakhir tanpa hasil lantaran petani tak ingin menurunkan nilai kompensasi.
"Kami bilang ke warga bahwa kami mampunya itu per orang Rp 2 juta. Tapi mereka tidak mau segitu karena menurut mereka hasil rumput laut lebih menjanjikan dari kompensasi kitesurfing ," jelasnya.
Akibat tak ada jalan keluar, Alfarouq menyebut jika pengelola resort mengambil keputusan untuk menutup semua aktivitas di resort, termasuk aktivitas olahraga kitesurfing.
"Tidak ada lagi aktivitas, kami sama sekali closed, tidak terima tamu. Walaupun tamu lokal dari Makassar mau weekend juga nggak bisa ngapa-ngapain. Nggak bisa renang, nggak bisa snorkeling karena penuh rumput laut," ungkapnya.
Alfarouq menyayangkan tak ada langkah konkret yang ditempuh pemerintah setempat terkait permasalahan ini. Padahal menurutnya, pemerintah berperan penting untuk menengahi persoalan ini.
Pemerintah seharusnya bisa membantu mencari jalan keluar agar mata pencaharian petani rumput laut tidak hilang, dan potensi pariwisata serta pemasukan daerah tetap bisa dimaksimalkan.
"Mudah-mudahan pemerintah lebih serius, lebih profesional, lebih tanggung jawab. Maksudnya dari segi kinerja, supaya dapat membantu menyelesaikan permasalahan di bawah. Kasih pandangan berwisata supaya masyarakat bisa ikut bekerja sama mengembangkan pariwisata Jeneponto ," bebernya.
Sejak beroperasi pertama kali di tahun 2019, nilai investasi Batikite Resort mencapai Rp7 miliar, dan telah menyetorkan pajak daerah senilai Rp177 juta. Pada tahun 2020 mereka menghentikan aktivitas akibat pandemi Covid-19, dan di tahun 2021 aktivitas mulai tersendat akibat rumput laut yang semakin banyak.
"Jadi sama sekali tidak ada lokasi untuk bisa main kitesurfing dan itu berbahaya untuk tamu kalau mereka membentangkan tali yang mengapung di atas permukaan air. Makanya saya sudah sempat bilang ke pemerintah alangkah sayangnya kalau tutup, ini pajak pendapatan daerah nggak ada lagi," urai Alfarouq.
"Jadi karena pemerintah Jeneponto dan pemerintah Sulsel kurang sigap untuk mengatasi masalah ini, di bulan ini kami terima tamu terakhir dan kami putuskan bulan depan akan tutup sampai waktu yang ditentukan," tegasnya.
Sampai saat ini, pihaknya masih menanti tanggapan dari Pemerintah Kabupaten Jeneponto dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Jika hingga akhir tahun tak ada kejelasan, maka kemungkinan besar resort tersebut akan dijual, dan aktivitas kitesurfing di Sulsel tak akan ada lagi.
Padahal, kitesurfing Jeneponto sudah cukup dikenal di mancanegara. Sebab lokasi ini memiliki potensi angin dan keamanan pantai yang menjadi salah satu yang terbaik di dunia.
"Kalau pemerintah tidak mau membantu menyelesaikan, maka tahun depan mungkin kami jual resortnya, dan kemungkinan paling sedih itu kitesurfing gak ada lagi di Jeneponto. Sedangkan ini sudah mulai dikenal dunia karena rata-rata tamu kita dari mancanegara," pungkasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Sulsel, Devo Khaddafi, mengaku pihaknya masih berkoordinasi dengan Pemkab Jeneponto untuk mencari solusi. Dia berharap, pertemuan yang akan dilaksanakan nanti sudah bisa menghasilkan titik temu antara kedua bela pihak.
"Kami sangat menyayangkan adanya persoalan yang timbul di Pantai Malassoro ini. Hal ini seharusnya jadi objek wisata baru di Sulsel, dan ini sangat unik karena wisata angin ini adalah kedua terbaik di dunia di bawah Brazil," katanya.
Devo menginginkan agar tak ada pihak yang dirugikan. Pihak investor yang sudah menanamkan modal besar diharapkan bisa melanjutkan kegiatan kepariwisataan, dan mata pencaharian masyarakat juga bisa tetap diakomodir.
"Kami sangat berharap Pemkab Jeneponto segera melakukan kembali pendekatan kepada masyarakat supaya ada titik temu agar investor juga tidak dirugikan, masyarakat dapat tetap melaksanakan kegiatan sehari-harinya, yaitu budidaya rumput laut," jelas Devo.
(tri)