Rudenim Makassar Gelar Diseminasi Implikasi Perkawinan Pengungsi Luar Negeri-WNI
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Makassar menggelar Diseminasi Implikasi Perkawinan antara Pengungsi Luar Negeri dengan Warga Negara Indonesia (WNI) di Hotel Four Point Makassar, Selasa (23/8/2022).
Kakanwil Kemenkumham Sulsel, Liberti Sitinjak, dalam sambutannya mengatakan, Indonesia saat ini tidak menjadi negara pihak yang meratifikasi konvensi pengungsi tahun 1951 dan protokol status pengungsi 1967. Namun, atas dasar kemanusiaan, Indonesia mempersilahkan pengungsi asing untuk tinggal sementara, sebelum memperoleh pemukiman kembali di negara ketiga yang bersedia menerimanya.
"Sebagai negara yang tidak menandatangani konvensi tersebut, maka Indonesia tidak bertanggung jawab atas kehidupan pengungsi. Kewenangan untuk menjalankan mandat perlindungan pengungsi ada di UNHCR," kata Liberti.
Lebih lanjut, Liberti menjelaskan keberadaan WNA pengungsi di Indonesia berpotensi menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Namun, untuk alasan kemanusiaan dari perspektif HAM, maka Indonesia harus menampung pengungsi sambil menunggu penerimaan tujuan negara ketiga.
Atas hal tersebut, Liberti berharap agar program diseminasi ini melibatkan semua pihak, seperti lurah, camat, Kementerian Agama, juga harus melibatkan ketua RT dan RW-nya. "Karena bagaimanapun persoalan ini harus benar-benar bisa melindungi bangsa kita dan warga kita dengan memberikan edukasi konsekuensi atas perkawinan campuran untuk masyarakat agar paham," terang Liberti.
Kepala Rudenim Makassar , Alimuddin Husain Jafar, selaku penyelenggara menyampaikan diseminasi ini diadakan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap dampak perkawinan antara pengungsi luar negeri dengan WNI.
"Tujuan diseminasi ini yaitu: memberikan gambaran umum tentang perkawinan campuran berikut hukum dan administrasi kependudukan, memberikan pemahaman tentang kebijakan lembaga internasional yang menangani pengungsi luar negeri terkait pengungsi yang melakukan perkawinan dengan WNI, implikasi perkawinan campur terhadap izin tinggal dan kewarganegaraan," jelas Alimuddin.
Narasumber akademisi Universitas Hasanuddin, Padma D Liman, mengingatkan WNI sebaiknya tidak melakukan pernikahan campuran dengan WNA pengungsi yang belum jelas legalitasnya. Musababnya, bakal ada dampak yang ditimbulkan dan korbannya adalah anak.
Narasumber lain, Analis Keimigrasian Utama Ari Budijanto mengatakan, Indonesia tidak dalam kapasitas menerima pengungsi, melainkan Indonesia menjadi tempat perlintasan menuju negara ketiga sebagai tempat tinggal. Selain itu Indonesia tidak boleh memulangkan pencari suaka atau pengungsi ke negara asal, begitupun meneruskan ke negara ketiga ada mekanisme aturan tersendiri oleh negara tujuan.
Kakanwil Kemenkumham Sulsel, Liberti Sitinjak, dalam sambutannya mengatakan, Indonesia saat ini tidak menjadi negara pihak yang meratifikasi konvensi pengungsi tahun 1951 dan protokol status pengungsi 1967. Namun, atas dasar kemanusiaan, Indonesia mempersilahkan pengungsi asing untuk tinggal sementara, sebelum memperoleh pemukiman kembali di negara ketiga yang bersedia menerimanya.
"Sebagai negara yang tidak menandatangani konvensi tersebut, maka Indonesia tidak bertanggung jawab atas kehidupan pengungsi. Kewenangan untuk menjalankan mandat perlindungan pengungsi ada di UNHCR," kata Liberti.
Lebih lanjut, Liberti menjelaskan keberadaan WNA pengungsi di Indonesia berpotensi menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Namun, untuk alasan kemanusiaan dari perspektif HAM, maka Indonesia harus menampung pengungsi sambil menunggu penerimaan tujuan negara ketiga.
Atas hal tersebut, Liberti berharap agar program diseminasi ini melibatkan semua pihak, seperti lurah, camat, Kementerian Agama, juga harus melibatkan ketua RT dan RW-nya. "Karena bagaimanapun persoalan ini harus benar-benar bisa melindungi bangsa kita dan warga kita dengan memberikan edukasi konsekuensi atas perkawinan campuran untuk masyarakat agar paham," terang Liberti.
Kepala Rudenim Makassar , Alimuddin Husain Jafar, selaku penyelenggara menyampaikan diseminasi ini diadakan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap dampak perkawinan antara pengungsi luar negeri dengan WNI.
"Tujuan diseminasi ini yaitu: memberikan gambaran umum tentang perkawinan campuran berikut hukum dan administrasi kependudukan, memberikan pemahaman tentang kebijakan lembaga internasional yang menangani pengungsi luar negeri terkait pengungsi yang melakukan perkawinan dengan WNI, implikasi perkawinan campur terhadap izin tinggal dan kewarganegaraan," jelas Alimuddin.
Narasumber akademisi Universitas Hasanuddin, Padma D Liman, mengingatkan WNI sebaiknya tidak melakukan pernikahan campuran dengan WNA pengungsi yang belum jelas legalitasnya. Musababnya, bakal ada dampak yang ditimbulkan dan korbannya adalah anak.
Narasumber lain, Analis Keimigrasian Utama Ari Budijanto mengatakan, Indonesia tidak dalam kapasitas menerima pengungsi, melainkan Indonesia menjadi tempat perlintasan menuju negara ketiga sebagai tempat tinggal. Selain itu Indonesia tidak boleh memulangkan pencari suaka atau pengungsi ke negara asal, begitupun meneruskan ke negara ketiga ada mekanisme aturan tersendiri oleh negara tujuan.