Limbah PT Kahatex diduga cemari ratusan hektare sawah
A
A
A
Sindonews.com - Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan (Dispertanhutbun) Kabupaten Bandung mendata sekitar 700 hektare areal persawahan yang berada di kawasan Rancaekek tercemar limbah PT Kahatex.
Untuk itu, perusahaan tekstil yang berada di Kabupaten Sumedang itu diminta bertanggung jawab atas terjadinya hal tersebut.
Kadispetanhutbun Kabupaten Bandung Tisna Umaran menyambut baik adanya upaya pembongkaran bangunan diatas Sungai Cikijing yang berada di kawasan PT Kahatex.
"Namun kami meminta Pemprov Jabar, jajaran Polda Jabar dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang ikut menangani kasus ini dapat menjerat perusahan tersebut terkait dugaan pencemaran lingkungan," ujar Tisna, Rabu (7/5/2014).
Kini ratusan hektare sawah milik warga itu dibiarkan para pemiliknya karena sudah tidak bisa ditanami.
"Akibat rusaknya tanah pertanian warga ini, tentu menimbulkan kerugian besar bagi para pemilik lahan serta para pekerja yang selama ini menggantungkan hidup dari sawah tersebut," ungkapnya.
Dia menegaskan, PT Kahatex harus bertanggunjawab dengan ganti rugi kepada warga serta melakukan upaya pemulihan kondisi lingkungan.
Di era 1990 padi di wilayah tersebut memiliki kualitas unggulan di Kabupaten Bandung namun kini nyaris tidak menghasilkan apapun.
"Sebenarnya, sejak beberapa tahun yang lalu kami telah melayangkan surat keberatan atas kerusakan lahan pesawahan warga ini ke Pemprov Jabar maupun ke PT Kahatex. Namun tidak pernah ditindaklanjuti," tuturnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jabar Anang Sudarna menjelaskan, bila kondisi lahan pesawahan milik warga seluas kurang lebih 753 hektare dalam keadaan tercemar.
Tak hanya itu penurunan produktivitas pun terjadi antara 30% hingga 70%. "Kedalaman tanah yang telah terkontaminasi zat kimia berbahaya, antara 30 hingga 100 sentimeter. Begitu juga dengan sumur milik warga yang sudah tidak bisa dikonsumsi," katanya.
Dia menerangkan, penanganan yang tengah dilakukan pihaknya saat ini yakni melakukan mediasi dengan PT Kahatex, serta beberapa stoke holder lainnya. Namun, mediasi yang dimulai Juni hingga akhir Februari lalu itu tidak mendapatkan kesepakatan.
Karena, diketahui perusahaan itu tidak mau mengaku perbuatannya yang telah merusak lingkungan serta tidak mau mengganti rugi kepada negara senilai Rp392 miliar.
"PT Kahatex juga tidak mau mengakui kesalahannya, makanya kami tengah mempersiapkan langkah tuntutan perdata maupun pidana," jelasnya.
Untuk itu, perusahaan tekstil yang berada di Kabupaten Sumedang itu diminta bertanggung jawab atas terjadinya hal tersebut.
Kadispetanhutbun Kabupaten Bandung Tisna Umaran menyambut baik adanya upaya pembongkaran bangunan diatas Sungai Cikijing yang berada di kawasan PT Kahatex.
"Namun kami meminta Pemprov Jabar, jajaran Polda Jabar dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang ikut menangani kasus ini dapat menjerat perusahan tersebut terkait dugaan pencemaran lingkungan," ujar Tisna, Rabu (7/5/2014).
Kini ratusan hektare sawah milik warga itu dibiarkan para pemiliknya karena sudah tidak bisa ditanami.
"Akibat rusaknya tanah pertanian warga ini, tentu menimbulkan kerugian besar bagi para pemilik lahan serta para pekerja yang selama ini menggantungkan hidup dari sawah tersebut," ungkapnya.
Dia menegaskan, PT Kahatex harus bertanggunjawab dengan ganti rugi kepada warga serta melakukan upaya pemulihan kondisi lingkungan.
Di era 1990 padi di wilayah tersebut memiliki kualitas unggulan di Kabupaten Bandung namun kini nyaris tidak menghasilkan apapun.
"Sebenarnya, sejak beberapa tahun yang lalu kami telah melayangkan surat keberatan atas kerusakan lahan pesawahan warga ini ke Pemprov Jabar maupun ke PT Kahatex. Namun tidak pernah ditindaklanjuti," tuturnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jabar Anang Sudarna menjelaskan, bila kondisi lahan pesawahan milik warga seluas kurang lebih 753 hektare dalam keadaan tercemar.
Tak hanya itu penurunan produktivitas pun terjadi antara 30% hingga 70%. "Kedalaman tanah yang telah terkontaminasi zat kimia berbahaya, antara 30 hingga 100 sentimeter. Begitu juga dengan sumur milik warga yang sudah tidak bisa dikonsumsi," katanya.
Dia menerangkan, penanganan yang tengah dilakukan pihaknya saat ini yakni melakukan mediasi dengan PT Kahatex, serta beberapa stoke holder lainnya. Namun, mediasi yang dimulai Juni hingga akhir Februari lalu itu tidak mendapatkan kesepakatan.
Karena, diketahui perusahaan itu tidak mau mengaku perbuatannya yang telah merusak lingkungan serta tidak mau mengganti rugi kepada negara senilai Rp392 miliar.
"PT Kahatex juga tidak mau mengakui kesalahannya, makanya kami tengah mempersiapkan langkah tuntutan perdata maupun pidana," jelasnya.
(sms)