Perda Perlindungan Guru di Makassar Dikritisi Aktivis Perlindungan Anak
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar baru saja mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Guru. Sayangnya, Perda ini mendapat kritikan dari sejumlah aktivis perlindungan anak.
Sebut saja Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulsel, Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib), Institute of Community Justice (ICJ), Dewi Keadilan Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) Sulsel, dan penggiat literasi.
Mereka menilai, guru bukanlah kelompok rentan seperti anak. Sehingga, mereka membuat catatan kritis terhadap substansi Perda Perlindungan Guru Kota Makassar untuk disampaikan kepada Biro Hukum Setda Provinsi Sulawesi Selatan.
"Guru itu bukan kelompok rentan, berbeda dengan anak yang secara psikis, fisik, dan sosial mesti dilindungi untuk menjamin tumbuh kembangnya," tegas Ketua LPA Sulsel, Fadiah Machmud.
Dalam catatan kritis itu disampaikan bahwa kebijakan Pemerintah Kota Makassar tentang perlindungan anak telah memberikan capaian yang maksimal. Beberapa kabupaten/kota bahkan terinspirasi dari keberhasilan yang dicapai oleh Kota Makassar.
Aktivis FPMP Sulsel, Itha Karen menyebutkan, capaian yang dimaksud antara lain telah dicanangkannya Makassar sebagai Kota Layak Anak, sejak tahun 2014. Dengan pencanangan ini, Pemerintah Kota Makassar telah menunjukkan komitmennya terhadap kewajiban Negara untuk melakukan upaya penghargaan, pemenuhan, perlindungan dan pemajuan terhadap hak-hak anak.
Bahkan, pada pertengahan tahun 2022, Kota Makassar telah meraih penghargaan sebagai Kota Layak Anak kategori Nindya oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) RI. Pemeringkatan ini merupakan indikator capaian kebijakan perlindungan anak.
"Salah satu indikator KLA yang menunjukkan kemajuan signifikan adalah terbentuknya Sekolah Ramah Anak (SRA) di sejumlah sekolah. Kondisi ini tentunya kontradiktif dengan disahkannya Perda Perlindungan Guru," katanya.
Berdasarkan hasil kajian Perda Perlindungan Guru Kota Makassar yang dilakukan maka para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Provinsi Sulawesi Selatan menyatakan menolak Perda Perlindungan Guru tersebut. Ada beberapa alasan yang disampaikan terkait penolakan tersebut.
Sebut saja Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulsel, Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib), Institute of Community Justice (ICJ), Dewi Keadilan Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) Sulsel, dan penggiat literasi.
Mereka menilai, guru bukanlah kelompok rentan seperti anak. Sehingga, mereka membuat catatan kritis terhadap substansi Perda Perlindungan Guru Kota Makassar untuk disampaikan kepada Biro Hukum Setda Provinsi Sulawesi Selatan.
"Guru itu bukan kelompok rentan, berbeda dengan anak yang secara psikis, fisik, dan sosial mesti dilindungi untuk menjamin tumbuh kembangnya," tegas Ketua LPA Sulsel, Fadiah Machmud.
Dalam catatan kritis itu disampaikan bahwa kebijakan Pemerintah Kota Makassar tentang perlindungan anak telah memberikan capaian yang maksimal. Beberapa kabupaten/kota bahkan terinspirasi dari keberhasilan yang dicapai oleh Kota Makassar.
Aktivis FPMP Sulsel, Itha Karen menyebutkan, capaian yang dimaksud antara lain telah dicanangkannya Makassar sebagai Kota Layak Anak, sejak tahun 2014. Dengan pencanangan ini, Pemerintah Kota Makassar telah menunjukkan komitmennya terhadap kewajiban Negara untuk melakukan upaya penghargaan, pemenuhan, perlindungan dan pemajuan terhadap hak-hak anak.
Bahkan, pada pertengahan tahun 2022, Kota Makassar telah meraih penghargaan sebagai Kota Layak Anak kategori Nindya oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) RI. Pemeringkatan ini merupakan indikator capaian kebijakan perlindungan anak.
"Salah satu indikator KLA yang menunjukkan kemajuan signifikan adalah terbentuknya Sekolah Ramah Anak (SRA) di sejumlah sekolah. Kondisi ini tentunya kontradiktif dengan disahkannya Perda Perlindungan Guru," katanya.
Berdasarkan hasil kajian Perda Perlindungan Guru Kota Makassar yang dilakukan maka para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Provinsi Sulawesi Selatan menyatakan menolak Perda Perlindungan Guru tersebut. Ada beberapa alasan yang disampaikan terkait penolakan tersebut.