Kasus Pemaksaan Jilbab, Waspadai Intoleransi dan Radikalisme di Sekolah

Jum'at, 05 Agustus 2022 - 20:22 WIB
loading...
Kasus Pemaksaan Jilbab,...
Rektor IAIN Metro, Siti Nurjanah menyebut kasus pemaksaan jilbab di sekolah yang hingga kini ramai diperdebatkan dinilai sarat akan potensi intoleransi dan diskriminasi. Foto/Ist
A A A
BANTUL - Kasus pemaksaan jilbab di SMA 1 Banguntapan, Bantul, DIY yang hingga kini ramai diperdebatkan dinilai sarat akan potensi intoleransi dan diskriminasi.

Hal itu kedepannya dikhawatirkan akan membawa kepada sikap radikalisme yang mengancam persatuan bangsa.



“Tidak boleh ada pemaksaan itu! Itulah yang disebut dengan intoleransi karena melakukan pemaksaan. Lalu kemudian ada diskriminasi di sana. Kenapa? Karena itu tadi guru tersebut memaksa kepada siswa tersebut, yang belum memiliki pemahaman yang utuh tentang penggunaan jilbab,” kata Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro, Siti Nurjanah, Jumat (5/8/2022).

Menurutnya, masalah ini semakin diperparah karena kasus itu justru terjadi di sekolah negeri yang notabene terdiri dari berbagai macam agama, suku dan ada keragaman didalamnya.

“Karena ini sekolah negeri, jadi tidak boleh ada pemaksaan. Juga proses yang dilakukan tidak boleh memaksa, tapi berikanlah pemahaman terlebih dahulu kepada siswa tersebut tentang pentingnya jilbab itu. Itupun ditujukan bagi siswa yang beragama Islam saja,” jelasnya.

Dia menilai, akibat adanya insiden tersebut, tidak menutup kemungkinan akan terjadinya konflik berkepanjangan, baik konflik internal agama maupun konflik antar-agama.


“Kalau guru BK-nya muslim, kemudian muridnya juga muslim berarti kan sudah terjadi konflik internal agama, karena adanya pemaksaan tadi itu. Sehingga bukan tidak mungkin akan timbul dendam, bahkan trauma dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena politik identitas seperti ini justru membahayakan serta berpotensi menimbulkan konflik sosial dan agama yang destruktif bagi keutuhan bangsa yang beragam ini.

Siti Nurjanah berharap kasus semacam ini tidak boleh terjadi lagi. Semua aturan harus mengimplementasikan toleransi dan membangun kesadaran akan keberagaman diantara semua pihak.

“Pemahaman dan kesadaran akan keberagaman, menjadi bukti konkrit untuk tidak boleh diteruskannya atau tidak boleh dilakukannya diskriminasi, baik apakah itu diskriminasi golongan, budaya, agama bahkan politik. Mahasiswa dan pelajar butuh sekali sosialisasi pemahaman akan hal tersebut,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, yang perlu bekali kepada para pendidik adalah bagaimana mereka bisa memahami aturan-aturan, baik ditetapkan oleh oleh negara dan yang ada dalam agama masing-masing.

“Khususnya bagi guru BK, harus memahami secara utuh bagaimana Islam memberikan pesan ataupun agama Islam memberikan pesan terkait dengan pentingnya menutup aurat bagi perempuan itu pentingnya apa sih. Itu harus utuh dalammenyampaikannya,” jelas Siti Nurjanah.

Dia mengungkapkan, menciptakan kondisi sekolah atau lembaga pendidikan yang nyaman bagi pelajar itu sangat penting. Itu bisa dilakukan dengan memperkuat moderasi beragama yang terdiri dari empat indikator.

“Cinta terhadap tanah air, toleransi, mencintai kearifan local dan yang keempat, jauh dari pemahaman radikalisme,” tandasnya.

Sebelumnya, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X bersikap tegas dengan menonaktifkan (mencopot) kepala sekolah (Kepsek) dan dua guru Bimbingan Konseling (BK) serta satu guru wali kelas SMAN 1 Banguntapan, Bantul.

Kebijakan tersebut diberlakukan karena sekolah tersebut terang-terangan melanggar aturan penggunaan seragam di sekolah.

Selain melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut, juga Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Seragam Sekolah sesuai dengan jenjang tingkat satuan pendidikan, termasuk tata cara penggunaan warna dan model.

"Satu kepala sekolah dan tiga guru (SMAN 1 Banguntapan) saya bebaskan dari jabatannya, tidak boleh mengajar dulu sambil nanti ada kepastian," papar Sri Sultan di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Kamis (4/8/2022).



Pemda DIY, lanjut Sri Sultan, sudah membentuk Satuan Tugas atau Satgas untuk melakukan investigasi kasus pemaksaan penggunaan jilbab pada siswi di SMAN 1 Banguntapan.

"Saya menunggu rekomendasi tim (Satgas) ya, karena kebijakan itu ada unsur melanggar keputusan Menteri Pendidikan, kan tidak bisa memaksa siswi mengenakan jilbab," tegas Sri Sultan.

Sultan mengaku heran siswi di sekolah justru diminta pindah dari sekolah bila tidak merasa nyaman bersekolah di SMAN 1 Banguntapan. Padahal jelas-jelas siswi tersebut yang menjadi korban kebijakan sekolah.
(shf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1597 seconds (0.1#10.140)