Penyakit Mematikan di Era Pangeran Diponegoro, Ratusan Ribu Warga Meninggal
loading...
A
A
A
Situasi pandemi layaknya Covid-19 saat ini pernah dihadapi di era Pangeran Diponegoro . Saat itu penyakit kolera menyebabkan ratusan ribu masyarakat yang terkena paparannya meninggal dunia dengan cepat. Wabah kolera dilaporkan pertama kali pada April 1821, dimana saat itu kondisi di pedesaan Jawa selatan - tengah terus memburuk.
Panen padi yang kurang memuaskan dan krisis dalam industri gula pribumi ikut memberi andil. Pada awal 1821, situasi semakin parah karena gagalnya panen di banyak tempat lantaran kemarau panjang yang tidak biasanya terjadi, sebagaimana dikutip dari buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro : 1785 - 1855" dari Peter Carey.
Baca juga: Cerita Pangeran Diponegoro Menolak Bantuan Nyai Roro Kidul di Gua Langse
Di Pacitan dilaporkan wabah kolera menyebabkan bahwa penduduknya terjangkit dan memakan banyak korban. Penduduk yang sudah dalam kondisi lemas karena kurangnya bahan pangan lantas, diperparah terkena kolera yang menyebabkan begitu banyaknya warga yang meninggal dunia.
Setiap hari bahkan ada saja petani yang harus diangkat dari perkebunan lada dan kopi karena meninggal kelelahan dan menderita demam. Memasuki bulan November petugas pengawas menulis tentang demoralisasi total di kalangan pekerja pribuminya banyak di antara mereka terancam hidupnya dan hanya bisa mengandalkan makan akar - akaran dan daun-daunan.
Antara bulan April - Agustus 1821 wabah kolera benar-benar begitu ganas. Di Jawa wabah itu menyerang penduduk yang tidak memiliki kekebalan alamiah terhadap penyakit tersebut. Dibawa oleh para pelaut dari Pulau Pinang dan Melaka ke Pantai Utara Jawa, wabah itu pertama kali menjangkiti Kampung Melayu (kompleks kaum pendatang dari Semenanjung Melayu) di Terboyo, Semarang.
Pada awal Mei, wabah itu kian menyebar ke sepanjang Pantai Utara dengan serangan yang sangat mematikan terjadi di ibu kota kolonial Batavia. Dimana ada 156 orang yang dilaporkan tewas dalam sehari. Wabah itu terus merambah hingga Surabaya, dimana warga yang meninggal setiap harinya mencapai jumlah 76 orang.
Di awal Agustus serangan kolera mematikan masih terjadi di Jawa Timur, terutama di Surabaya, Madura, dan ujung timur. Tercatat total korban mencapai 110.000 orang atau sekitar 7 persen dari seluruh jumlah penduduknya.
Langka dan mahalnya kebutuhan pokok dan kenyataan bahwa wabah itu sedang ganas - ganasnya selama bulan puasa, ketika pertahanan penduduk terhadap serangan penyakit sedang lemah, mungkin menjadi salah satu faktor penyebab tingginya angka kematian. Bagi mereka yang beruntung bisa bertahan hidup, ingatan akan bulan-bulan yang mengerikan di tahun 1821 tetap sangat mengguncang jiwa.
Panen padi yang kurang memuaskan dan krisis dalam industri gula pribumi ikut memberi andil. Pada awal 1821, situasi semakin parah karena gagalnya panen di banyak tempat lantaran kemarau panjang yang tidak biasanya terjadi, sebagaimana dikutip dari buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro : 1785 - 1855" dari Peter Carey.
Baca juga: Cerita Pangeran Diponegoro Menolak Bantuan Nyai Roro Kidul di Gua Langse
Di Pacitan dilaporkan wabah kolera menyebabkan bahwa penduduknya terjangkit dan memakan banyak korban. Penduduk yang sudah dalam kondisi lemas karena kurangnya bahan pangan lantas, diperparah terkena kolera yang menyebabkan begitu banyaknya warga yang meninggal dunia.
Setiap hari bahkan ada saja petani yang harus diangkat dari perkebunan lada dan kopi karena meninggal kelelahan dan menderita demam. Memasuki bulan November petugas pengawas menulis tentang demoralisasi total di kalangan pekerja pribuminya banyak di antara mereka terancam hidupnya dan hanya bisa mengandalkan makan akar - akaran dan daun-daunan.
Antara bulan April - Agustus 1821 wabah kolera benar-benar begitu ganas. Di Jawa wabah itu menyerang penduduk yang tidak memiliki kekebalan alamiah terhadap penyakit tersebut. Dibawa oleh para pelaut dari Pulau Pinang dan Melaka ke Pantai Utara Jawa, wabah itu pertama kali menjangkiti Kampung Melayu (kompleks kaum pendatang dari Semenanjung Melayu) di Terboyo, Semarang.
Pada awal Mei, wabah itu kian menyebar ke sepanjang Pantai Utara dengan serangan yang sangat mematikan terjadi di ibu kota kolonial Batavia. Dimana ada 156 orang yang dilaporkan tewas dalam sehari. Wabah itu terus merambah hingga Surabaya, dimana warga yang meninggal setiap harinya mencapai jumlah 76 orang.
Di awal Agustus serangan kolera mematikan masih terjadi di Jawa Timur, terutama di Surabaya, Madura, dan ujung timur. Tercatat total korban mencapai 110.000 orang atau sekitar 7 persen dari seluruh jumlah penduduknya.
Langka dan mahalnya kebutuhan pokok dan kenyataan bahwa wabah itu sedang ganas - ganasnya selama bulan puasa, ketika pertahanan penduduk terhadap serangan penyakit sedang lemah, mungkin menjadi salah satu faktor penyebab tingginya angka kematian. Bagi mereka yang beruntung bisa bertahan hidup, ingatan akan bulan-bulan yang mengerikan di tahun 1821 tetap sangat mengguncang jiwa.
(msd)