Retaknya Hubungan Dwitunggal Soekarno-Hatta hingga Mundur sebagai Wapres, Begini Cerita Sebenarnya

Kamis, 16 Juni 2022 - 07:00 WIB
loading...
Retaknya Hubungan Dwitunggal...
Hubungan Dwitunggal Soekarno-Hatta akhirnya retak hingga Bung Hatta mundur sebagai Wapres. Foto: Istimewa
A A A
Hubungan Proklamator RI Soekarno atau Bung Karno dan Bung Hatta yang mendapat sebutan rakyat Dwitunggal, pada akhirnya retak. Pada masa demokrasi parlementer, pemikiran Bung Karno dan Bung Hatta tak lagi sejalan, dan bahkan berselisih paham.

Peristiwa pemecatan Sosrodanukusumo pada tahun 1955 oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I salah satunya. Tanpa berembuk dulu dengan Bung Hatta, Bung Karno tiba-tiba menandatangani surat pemecatan yang sudah disetujui Kabinet Ali.

Hatta menyesali langkah itu. Soekarno menurutnya tidak melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Didorong semangat meletakkan aturan pada tempatnya, pada 25 Maret 1955 Bung Hatta berkirim surat kepada Bung Karno. Inti surat adalah mempertanyakan penandatanganan sekaligus mengingatkan arti Dwitunggal.



“Kalau Saudara memandang Dwitunggal-yang begitu banyak dibicarakan di waktu akhir ini-lebih dari show saja, sebenarnya dalam hal-hal yang mengenai dasar-dasar negara Saudara sepatutnya berembuk dengan saya lebih dahulu, sebelum mengambil tindakan,” demikian isi surat Bung Hatta seperti dikutip dari buku Deliar Noer, “Mohammad Hatta, Biografi Politik”.

Kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, Bung Hatta juga meminta dilakukannya peninjauan ulang, karena alasan prosedur pemecatan yang tak wajar. Hatta menghubungkan pemecatan Sosrodanukusumo dengan prikemanusiaan dari Pancasila.

Bagi Hatta, pemecatan seorang pegawai tinggi, walau mengenai seseorang, hal itu sudah menyangkut dasar negara. Pada perkara Djody Gondokusumo, Menteri Kehakiman (1953-1955) di era Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Bung Karno dan Bung Hatta juga kembali berselisih paham.

Djody yang terjerat perkara penyelewengan (gratifikasi) dijatuhi vonis hukuman satu tahun penjara. Namun ahli hukum yang juga Ketua Umum Partai Rakyat Nasional (PRN) itu, kemudian diberi grasi Bung Karno. Bung Hatta tak bisa memahami jalan pikiran Bung Karno.

Silang pendapat antara Bung Karno dan Bung Hatta juga muncul dalam masalah Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Pada tahun 1956 rapat DPR menghasilkan kesepakatan menyetujui terbitnya RUU tentang pembatalan perjanjian KMB. Perjanjian KMB dinilai tidak menguntungkan kedaulatan Indonesia.

Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2269 seconds (0.1#10.140)