Kisah Pangeran Diponegoro, Dilawan Rakyat yang Lapar Akibat Ulah Pejabat Culas
loading...
A
A
A
Cerita tentang korupsi dan pejabat yang culas, ternyata sudah terjadi di masa perjuangan Pangeran Diponegoro. Bahkan, pangeran dari Goa Selarong ini, beberapa kali harus dihadapkan dengan kemarahan rakyat akibat ulah pejabat korup dan culas.
Jalan terjal harus ditempuh Pangeran Diponegoro, ketika melawan penjajahan Belanda. Ada kalanya perjuangan itu berbalik menyulitkan sang pangeran sendiri. Suatu ketika, hal itu dialami Pangeran Diponegoro ketika rakyat yang seharusnya mengikuti perjuangannya, justru balik melawannya.
Dikisahkan Peter Carey dalam bukumnya yang berjudul "Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855". Dalam buku itu, disebutkan ada pejabat yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, dihukum cambuk di muka umum karena memungut pajak lebih banyak dari ketentuan.
Pada saat yang sama, pasokan makanan semakin menipis. Pejabat-pejabat lokal yang semula mendukung Pangeran Diponegoro, berbalik menentangnya. Banyak yang mengungsi ke wilayah yang berada kendali benteng Belanda, karena dirasa lebih terjamin dan kesempatan ekonomi lebih baik.
Bahkan, saat masa terakhir perang, ada kasus-kasus warga di daerah kekuasaan Pangeran Diponegoro, berbalik melawan pejabat-pejabat culas pendukung Pangeran Diponegoro, dan menghabisi mereka karena begitu besar hasrat penduduk akan perdamaian.
Kebijakan para komandan benteng Belanda, barangkali ikut berpengaruh. Mereka berhasil merebut hati penduduk setempat, dengan menjanjikan pemberian pajak gratis, hewan penghela, dan benih gratis jika mereka mau pindah ke wilayah Belanda.
Termasuk kebijakan Belanda juga adalah menurunkan pajak, mengurangi kewajiban kerja bakti, serta menaikkan upah buruh harian di sekitar benteng untuk mendorong para petani dan keluarga mereka tetap betah tinggal di dekat benteng.
Hasilnya, akhir September 1829 di tahun keempat perang, perlawanan terorganisasi terhadap Belanda di daerah-daerah yang subur pangan di Jawa Tengah, bagian selatan berakhir. Ikatan rasa saling percaya dan kerja sama antara pasukan Pangeran Diponegoro, dan penduduk desa setempat sudah rusak.
Tanpa ada dukungan rakyat, tidak mungkin dilancarkan perang gerilya yang berhasil. Pada waktu itu, Sentot sudah menyerah kepada Belanda. Di saat itulah nasib Pangeran Diponegoro, sudah berada di titik nadir.
Pada 21 September 1829 Pangeran Ngabehi, panglima senior yang tersisa, bersama dua putranya, terbunuh dalam pertempuran sengit di Pegunungan Kelir, yang ada di perbatasan Bagelen-Mataram.
Tak berselang lama, pada 11 November 1829 Pangeran Diponegoro, nyaris tertangkap di Pegunungan Gowong, oleh pasukan gerak cepat ke-11 yang dikomandoi oleh Mayor A.V. Michiels.
Pangeran Diponegoro akhirnya memutuskan untuk masuk ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen, dengan hanya ditemani dua punakawan atau pengiring terdekat, yakni Bantengwareng dan Roto, yang melayani segala kebutuhan Pangeran Diponegoro dan bertindak sebagai penunjuk jalan serta penasihatnya.
Baca Juga
Jalan terjal harus ditempuh Pangeran Diponegoro, ketika melawan penjajahan Belanda. Ada kalanya perjuangan itu berbalik menyulitkan sang pangeran sendiri. Suatu ketika, hal itu dialami Pangeran Diponegoro ketika rakyat yang seharusnya mengikuti perjuangannya, justru balik melawannya.
Dikisahkan Peter Carey dalam bukumnya yang berjudul "Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855". Dalam buku itu, disebutkan ada pejabat yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, dihukum cambuk di muka umum karena memungut pajak lebih banyak dari ketentuan.
Pada saat yang sama, pasokan makanan semakin menipis. Pejabat-pejabat lokal yang semula mendukung Pangeran Diponegoro, berbalik menentangnya. Banyak yang mengungsi ke wilayah yang berada kendali benteng Belanda, karena dirasa lebih terjamin dan kesempatan ekonomi lebih baik.
Bahkan, saat masa terakhir perang, ada kasus-kasus warga di daerah kekuasaan Pangeran Diponegoro, berbalik melawan pejabat-pejabat culas pendukung Pangeran Diponegoro, dan menghabisi mereka karena begitu besar hasrat penduduk akan perdamaian.
Kebijakan para komandan benteng Belanda, barangkali ikut berpengaruh. Mereka berhasil merebut hati penduduk setempat, dengan menjanjikan pemberian pajak gratis, hewan penghela, dan benih gratis jika mereka mau pindah ke wilayah Belanda.
Termasuk kebijakan Belanda juga adalah menurunkan pajak, mengurangi kewajiban kerja bakti, serta menaikkan upah buruh harian di sekitar benteng untuk mendorong para petani dan keluarga mereka tetap betah tinggal di dekat benteng.
Hasilnya, akhir September 1829 di tahun keempat perang, perlawanan terorganisasi terhadap Belanda di daerah-daerah yang subur pangan di Jawa Tengah, bagian selatan berakhir. Ikatan rasa saling percaya dan kerja sama antara pasukan Pangeran Diponegoro, dan penduduk desa setempat sudah rusak.
Tanpa ada dukungan rakyat, tidak mungkin dilancarkan perang gerilya yang berhasil. Pada waktu itu, Sentot sudah menyerah kepada Belanda. Di saat itulah nasib Pangeran Diponegoro, sudah berada di titik nadir.
Pada 21 September 1829 Pangeran Ngabehi, panglima senior yang tersisa, bersama dua putranya, terbunuh dalam pertempuran sengit di Pegunungan Kelir, yang ada di perbatasan Bagelen-Mataram.
Tak berselang lama, pada 11 November 1829 Pangeran Diponegoro, nyaris tertangkap di Pegunungan Gowong, oleh pasukan gerak cepat ke-11 yang dikomandoi oleh Mayor A.V. Michiels.
Pangeran Diponegoro akhirnya memutuskan untuk masuk ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen, dengan hanya ditemani dua punakawan atau pengiring terdekat, yakni Bantengwareng dan Roto, yang melayani segala kebutuhan Pangeran Diponegoro dan bertindak sebagai penunjuk jalan serta penasihatnya.
(eyt)